RAMADHAN (30): LEBARAN

Salam. Sama seperti halnya mudik, lebaran pun terkait erat dengan usainya pelaksanaan puasa di bulan Ramadhan. Lebaran atau lubaran (bahasa Jawa) sesungguhnya simbol pensucian diri setelah proses pensucian selama kurang lebih satu bulan. Lebaran seolah sebuah deklarasi harapan kembali kepada fitrah, yang artinya bersih dari dosa, baik kepada Allah Swt. maupun kepada sesama.

Secara umum, lebaran dalam arti proses pensucian diri dari dosa sesungguhnya mendapatkan perhatian yang banyak dari al-Qur’an. Konsep tazkiyah al-nafs yang selama ini dikenal sebenarnya kurang lebih merupakan ajaran keniscayaan seseorang membersihkan dirinya dari noda dan mengembalikan dirinya kepada kesucian (fitrah). Dalam al-Qur’an kecerdasan diri untuk segera mensucikan diri setelah melakukan kesalahan adalah salah satu karakter orang yang bertakwa. Allah SWT. berfirman:

وَالَّذِينَ إِذَا فَعَلُوا فَاحِشَةً أَوْ ظَلَمُوا أَنْفُسَهُمْ ذَكَرُوا اللَّهَ فَاسْتَغْفَرُوا لِذُنُوبِهِمْ وَمَنْ يَغْفِرُ الذُّنُوبَ إِلَّا اللَّهُ وَلَمْ يُصِرُّوا عَلَىٰ مَا فَعَلُوا وَهُمْ يَعْلَمُونَ

“Dan (juga) orang-orang yang apabila mengerjakan perbuatan keji atau menganiaya diri sendiri, mereka ingat akan Allah, lalu memohon ampun terhadap dosa-dosa mereka dan siapa lagi yang dapat mengampuni dosa selain dari pada Allah? Dan mereka tidak meneruskan perbuatan kejinya itu, sedang mereka mengetahui.” (Q.S. Ali Imran/3:135).

Ayat ini—dan ayat-ayat sebelumnya—sedang bertutur tentang ciri-ciri orang-orang yang bertakwa, di antaranya segera mengingat Allah dan memohon ampunan kepada-Nya ketika melakukan kesalahan, dengan kesadaran tidak akan mengulanginya dan kesadaran bahwa hanya Allah yang dapat mengampuni dosa.

Kata “al-ladzina” (orang-orang) pada awal ayat di atas tentu saja maksudnya adalah orang-orang yang bertakwa. Preposisi “dan” (wawu athaf) yang berada di depannya yang memberikan pemahaman seperti ini, karena kata itu disambungkan (di-athaf-kan) kepada kata yang sama di ayat sebelumnya, yang berarti juga orang-orang yang bertakwa. Pemahaman ini perlu disampaikan untuk menegaskan bahwa ampunan Allah itu berkaitan dengan keimanan. Dengan kata lain, keimanan adalah salah satu prasyarat turunnya ampunan Allah.

Kata “apabila” pada ungkapan “apabila mengerjakan perbuatan keji atau menganiaya diri sendiri” menunjukkan bahwa mengerjakan perbuatan keji atau menganiaya diri sendiri sesungguhnya bukanlah karakter atau jati diri orang yang bertakwa. “Apabila” mengindikasikan kemungkinan. Kata ini biasanya dipakai untuk menjelaskan munculnya kejadian yang boleh jadi tidak direncanakan. Namun, orang yang bertakwa—karena faktor-faktor tertentu—mungkin saja melakukan hal itu. Namun, ia akan segera membersihkannya.

Kata yang digunakan pada ayat ini adalah “fahisyah”, diterjemahkan dengan “perbuatan keji”. Lalu apa bedanya kata itu dengan “dzanb” (dosa), “itsm” (dosa), “wazr” (dosa), “ma’shiyah” (maksiat), “khathiah” (kekeliruan/dosa), dan “sayyi`ah” (kesalahan/dosa)? Untuk diketahui, kata-kata itu semuanya dipakai oleh al-Qur’an untuk menunjuk “kesalahan/dosa” yang dilakukan seseorang.

Mari kita simak penjelasan Dr. Mahmud Abd al-Rahman Abd al-Munim dalam kitab Mujam al-Mushthalahat al-Fiqhiyyah dan Ayyub al-Kafawi dalam kitab al-Kulliyyat.

“Dzanb” adalah dosa yang disengaja atau tidak disengaja, sedangkan “itsm” adalah dosa yang disengaja. Dalam hal ini “itsm” sama dengan “khathiah”.

“Itsm” adalah dosa yang dilakukan seseorang untuk memberikan kenikmatan/kelezatan bagi dirinya, sedangkan “wizr” adalah ekses negatif dari dosa yang harus dirasakan seseorang yang melakukannya. Itu sebabnya kata “wizr” biasa diterjemahkan dengan “beban dosa”.

“Ma’shiyah” dan “dzanb” merujuk kepada makna kesalahan/dosa yang dilakukan seseorang, disengaja atau tidak.

“Sayyi`ah” adalah dosa yang dilakukan hari ini, tetapi siksa/akibatnya dirasakan belakangan.

“Fahisyah” adalah dosa besar, sama dengan “kaba’ir”. Dalam satu ayat, kata ini dikaitkan dengan perbuatan zina.

Jadi, pada ayat ini yang disinggung adalah dosa besar/perbuatan keji. Tentu saja jenis kesalahan-kesalahan lainnya disinggung oleh ayat-ayat yang lain.

Bukankah menzalimi diri sendiri dengan melakukan perbuatan keji memiliki sisi-sisi kesamaan, kenapa mesti disebutkan dua-duanya di sini? Pengarang kitab al-Kasysyaf menjelaskan bahwa keduanya memiliki perbedaan dari sisi makna, meskipun dua-duanya memiliki arti dosa. Fahisyah untuk menunjuk dosa besar, sedangkan menzalimi diri sendiri untuk menunjuk dosa kecil. Pesan utamanya, dosa besar dan dosa kecil harus segera dibersihkan.

Ada tiga tuntutan bagi orang yang mau melebarankan dirinya dari dosa. Pertama, mengingat Allah. Kata yang digunakan adalah bentuk kata kerja (fi`il) madhi “dzakaru”. Dalam banyak konteks, bentuk kata kerja ini untuk memberikan penekanan penegasan dan kemantapan. Mengingat Allah secara mantap dan benar, baik dalam arti mengingat ancaman Allah maupun dalam arti menyebut kebesaran/pujian-pujian kepada Allah sebelum bertobat, merupakan prasyarat diterimanya tobat.

Kedua, memohon ampunan. Preposisi “maka” (fa) pada ungkatan “fastaghfaru li dzunubihim” memiliki fungsi makna kesinambungan yang bersifat segera (ittishal). Ini artinya bahwa bertobat atau memohon ampunan dari dosa harus segera dilakukan begitu dosa itu terlanjur diperbuat, tidak boleh ditunda-tunda.

Ketiga, bertekad tidak akan mengulanginya. Ungkapan yang digunakan pada ayat adalah “yushirru”, bentuk kata kerja (fi`il) mudhari’. Ini memberikan pemahaman bahwa tekad tersebut harus ditanamkan dalam hati saat itu juga dan akan tetap dipelihara sampai seterusnya.

Mau lebaran yang sesungguhnya? Ya ikuti proses-proses sebagaimana dijelaskan di atas. Mudah-mudahan kita semua sudah menjalaninya.

Subhanallah. Begitu dalam dan indah makna yang diperlihatkan ayat di atas. Wallahu a`lam bish-shawab.

Prof. Dr. H. Rosihon Anwar, M.Ag, Wakil Rektor I UIN Sunan Gunung Djati Bandung.

Tulisan ini merupakan Kajian ke-60 dalam Gerakan Peduli Bahasa Al-Qur’an

WhatsApp
Facebook
Telegram
Print
Twitter

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *