Qurban dan Kesantunan

Ketika Ibrahim bertanya kepada Ismail tentang perintah mengorbankan dirinya, pada dasarnya dia sedang mengajarkan kepatuhan dan kesantunan kepada anaknya. Ibrahim ingin menanamkan komitmen pada aturan dan kesiapan berkorban dalam diri keturunan-keturunannya. Sementara itu, sikap Ismail yang begitu tegap dan siap dalam membantu Ibrahim untuk menunaikan perintah Tuhannya adalah sebuah ekspresi budi luhur seorang anak kepada orangtuanya.

Dalam diri Ibrahim dan Ismail tercetak karakter keteguhan dan kesantunan yang tinggi. Mereka berhasil mengalahkan ego dan kepentingan materialnya. Ibrahim rela kehilangan anak semata wayangnya demi sebuah keteguhan pada aturan, sedangkan Ismail rela kehilangan raga dan jiwanya demi memuluskan misi agung orangtuanya.

Kesebangunan jiwa untuk suatu pengorbanan yang luhur terpatri dalam diri dua manusia agung tersebut. Keduanya telah berhasil menghilangkan kungkungan ego dan nafsunya.

Harus kita akui bahwa kepatuhan pada aturan telah banyak hilang dari lingkungan bangsa ini, bahkan dari diri kita sebagai individu. Sementara itu, kesantunan telah hilang dari keturunan kita. Tawuran di kalangan pelajar dan mahasiswa, bahkan di masyarakat sekalipun, seakan-akan tiada henti. Sekadar untuk menjadi  penonton yang santun dalam suatu pertandingan olahraga pun kita belum bisa melakukannya.

Kita begitu miris. Pelajar dan mahasiswa tawuran, sementara orang-orangtuanya menganggap biasa melanggar aturan, korupsi, dan bertengkar memperebutkan kekuasaan.

Ada dua sumber pokok kesantunan. Sumber pertama adalah ajaran agama. Dalam sejarahnya, manusia pernah membangun kesantunan atau  akhlak mulia melalui beberapa sumber. Di antaranya mereka mengambil dari ajaran mitos, filsafat, pandangan sekte, dan ideologi buatan manusia. Namun, ternyata sumber-sumber tersebut tidak berhasil menjadikan manusia berakhlak secara objektif.

Mitos tidak dapat bertahan lama dalam membangun akhlak manusia; terhapus seiring dengan tingkat nalar manusia yang semakin tinggi. Filsafat tidak dapat dipahami oleh banyak orang. Hanya masyarakat tertentu yang bisa bersentuhan dengannya. Pandangan sekte tidak bisa dijadikan pegangan yang menyeluruh, sebab terkait dengan kepentingan sekte yang bersangkutan. Sedangkan, ideologi yang dibuat oleh manusia lebih banyak muatan kepentingan politik (kekuasaan).

Agama merupakan sumber ajaran akhlak mulia yang objektif, sebab merupakan kiriman Tuhan tanpa kepentingan apapun dengan apa yang dikirimkan-Nya. Ketika Tuhan membuat aturan kesantunan, baik melalui wahyu maupun utusan-Nya, tidak dibuat demi suatu kepentingan kekuasaan diri-Nya. Aturan kesantunan tersebut benar-benar diperuntukkan bagi kebaikan atau kemaslahatan manusia.

Sumber kedua adalah kearifan lokal, dalam hal ini tradisi kesantunan yang menjadi karakter asli masyarakat kita. Dalam tradisi lokal Sunda, sebagai contoh, terdapat sejumlah ajaran kesantunan, seperti kudu akur jeung sasama, hormat ka saluhureun, nyaah ka sahandapeun, someah hade ka semah, handap asor, dan lain-lain.

Sangat disayangkan tradisi kesantunan semacam itu telah mulai sirna dari lingkungan kita saat ini. Hal ini akibat kita tidak berhasil mengenalkan tradisi kesantunan yang baik kepada keturunan kita. Kita hampir, bahkan saudah, lupa mengajarkan kepada anak bagaimana menyapa tetangga, menghormati orang yang telah lanjut usia, dan sikap-sikap santun lainnya. Kata-kata punteun hari ini telah banyak sirna dari anak-anak muda kita, dengan alasan bahwa kata itu sudah jadul.

Masyarakat yang tidak santun, bukan hanya tidak terhormat, tetapi mudah hancur eksistensinya. Kita melihat bagaimana beberapa negara yang terpuruk ekonominya di dunia, seperti beberapa negara di kawasan Afrika. Ternyata, masyarakatnya merupakan bangsa yang tidak santun, senang rusuh, dan antikerukunan.

Jarang ada investor asing  yang bersedia menanamkan uang di negara yang mutu kesantunannya rendah. Apabila kesantunan sudah tidak dijungjung tinggi oleh suatu masyarakat, mereka akan hancur dengan sendirinya, tidak perlu menunggu dihancurkan oleh bangsa lain.

Hari Raya Qurban kali ini kita jadikan momentum untuk membangun kesantunan bangsa dan mengembalikan citra masyarakat Indonesia yang dikenal religius. Masyarakat yang religius adalah masyarakat yang menjaga kesantunan; masyarakat yang menghargai sesamanya; masyarakat yang menghargai prestasi orang lain; dan masyarakat yang menghargai budayanya. Sangat istimewa, bila masyarakat kita menjadi bagian dari masyarakat dunia yang maju, sejajar dengan bangsa-bangsa lain di dunia, sementara citra religiusnya tetap bertahan.

Mari kita bangun kembali komitmen pada tradisi kesantunan yang telah banyak terkikis. Kita tiru apa yang dilakukan Ibrahim ketika menanamkan keluhuran budi pekerti dalam diri keturunannya. Selain itu, kita jadikan Hari Raya Qurban untuk menumbuhkan rasa simpatik dan empatik kepada mereka yang membutuhkan uluran tangan kita. Kita hanya akan dapat bertahan dalam keunggulan, bila orang lain sama-sama kita unggulkan harkat dan martabatnya.

Selamat Idul Adha 1433 H!

Sumber: Pikiran Rakyat

 

WhatsApp
Facebook
Telegram
Print
Twitter

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *