Madrasah di India: Politisi Boleh Genit

Berita ini datang dari India. Negerinya Shah Rukh Khan. Tetapi bukan tentang kembalinya sang aktor. Untuk syuting. Setelah vakum dua tahun. Dengan penampilan baru. Gondrong dan kepangan kecil.

Sekali lagi berita itu bukan tentang actor 55 tahun. Yang mau main film Pathan. Yang kembali akan berduet dengan Deepika Padukone.

Tetapi berita tentang madrasah. Tepatnya tentang terbitnya undang-undang. Yang memerintahkan madrasah melakukan konversi. Menjadi institusi pendidikan regular.

Setiap madrasah di Assam, harus melakukan konversi April 2021. Demikian kata Himanta Biswa Sarma, sang Menteri Pendidikan negara bagian Assam. Assam adalah salah satu negara bagian selain West Bengal, Bihar, Orissa dan uttar Pradesh. Di Assam, 34.22% penduduknya adalah Muslim.

Kontan saja kelahiran undang-undang itu dikaitkan dengan politik. Dihubungkan dengan Perdana Menteri Narendra Modi. Yang berasal dari Partai Nasionalis Hindu, Bharatiya Janata Party (BJP).

Para politisi oposisi mengkritik kebijakan itu. Mengkaitkannya dengan menguatnya anti_Islam. Di negara mayoritas Hindu.
Debabrata Saikia, seorang pimpinan oposisi senior di Assam, menyebut undang-undang itu dibuat BJP untuk mengkonsolidasikan pemilih Hindu. “Consolidate more Hindu votes,” kata Saikia.

Para politisi oposisi lainnya dari Indian Congress Party dan All India United Democratic Front bahkan melakukan walkout dalam pengesahan undang-undang tersebut.

Itulah politisi. Terlihat genit. Tapi memang itulah tugasnya. Apalagi labelnya oposisi.

Sarma, sang menteri, menjawab tuduhan itu. Tidak ada sangkut pautnya dengan politik peminggiran. Apalagi diskriminasi. Ini justeru untuk menguatkan posisi pendidikan umat Islam. Empowering katanya. Undang-undang itu untuk menjamin “hak yang sama dalam pendidikan”, terutama memudahkan muslim masuk ke perguruan tinggi.

Imran Hussain, ketua Assam’s Madrassa Education Board, nampaknya cukup percaya dengan penjelasan sang Menteri Sarma. “Jika orang tua menyekolahkan anaknya ke madrasa dan hanya belajar teologi, maka akan menjadi masalah di kemudian hari.” Saya percaya dengan pendidikan yang baik, kata Hussain. Jika pelajar Muslim diberikan pendidikan umum, akan lebih baik.

Kebijakan ini tidak ditujukan untuk mendiskriminasi dan merusak komunitas umat Islam di Assam. Nampaknya setujunya Hussain cukup beralasan.

Madrasah di India tidak monolitik. Ada madrasah yang diatur oleh pemerintahan negara bagian. Kebijakannya berbeda-beda. Ada madrasah yang silabusnya memakai silabus negara bagian. Ada madrasah yang disebut ‘azzad’ atau madrasah bebas. Kurikulumnya mayoritas belajar agama. Dengan undang-undang yang baru itu, kurikulum madrasah akan disamakan dengan kurikulum sekolah regular.

Kalau baca buku ‘Madrasas in the Age of Islamophobia’, karya Ziya Us Salam dan M. Aslam Parvaiz. Terbitan Sage. Awal tahun 2020. Memang madrasah di India saat ini perlu melakukan reformasi dan modernisasi.

Setelah penelitian ribuan madrasah, Ziya dan Parvaiz berpendapat bahwa lulusan madrasah lokal identik dengan akademisi yang kurung batok, kata orang Sunda. Kurang kenal dunia luar. Ignorant of the world, kata Ziya dan Parvaiz. Inilah tantangan pertama madrasah di India.

Ziya dan Parvaiz lebih jauh menyebutkan. Madrasah di India hanya mengajarkan doktrin madzhab Hanafi. Tidak ada perbandingan. Tidak mengajarkan pendapat madzhab Syafii, Hambali atau Maliki.
Problem lain, kurikulum madrasahnya out of date. Banyak yang masih menggunakan kurikulum tahun 1920, bahkan kurikulum tahun 1870.

Pembiayaan juga menjadi masalah madrasah. Kebanyakan madrasah hanya bergantung kepada uang sumbangan. Charity funding istilahnya. Kurang stabil dari sisi pendanaan. Administrasinya juga bermasalah. Tidak rapih. Apalagi lulusannya. Susah mencari kerja. Kebanyakannya mendirikan lagi madrasah yang setipe. Atau jadi imam dan muazzin di masjid.

Nampaknya, hal-hal di atas lah diantaranya yang melatarbelakangi lahirnya undang-undang tentang konversi. Tujuannya mengangkat martabat madrasah, demikian kata Mentri Sarma. Alasan politis mungkin juga ada. Siapa tahu.

Kalau politisi selalu mengaitkannya dengan politik. Biarkanlah. Itu memang tugas politisi. Kalau akademisi perlu terbuka. Kaji dan kaji terus. Alasan dan konteks lahirnya sebuah undang-undang. Jangan dahulukan prasangka. Jangan ikut-ikutan ‘genit.’ Politik memang penuh ‘kegenitan’. Apalagi di masa-masa ‘puber politik’. Jangan tanya saya arti istilah itu. Tanyalah Pak Ical. Atau tanya Kang Ujang yang menyebut sentilan Kang RK buat Pak Mahfud sebagai ‘kegenitan politik’ yang wajar.***

Prof. Ahmad Ali Nurdin, MA., P.hD., Dekan Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik (FISIP) UIN Sunan Gunung Djati Bandung.

WhatsApp
Facebook
Telegram
Print
Twitter

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *