Langkanya Kenegarawanan

Budaya politik para elit di negeri ini masih belum mengutamakan moralitas dan saling menghormati. Ingin menang sendiri lebih menonjol dibandingkan fair dalam berkompetisi. Kenegarawanan yang salah satunya dicirikan dengan lebih mengutamakan kepentingan bangsa di atas kepentingan pribadi dan golongan menjadi sikap langka.          

Ada banyak sebab tentunya. Pertama, politik transaksional yang menggila. Bermainnya mafia dan bandar yang bertindak sebagai penyandang dana, menjadikan kepentingan pemodal lebih utama. Bilapun rakyat diperbincangkan, hanya masuk dalam janji manis kampanye dan bagian dari skenario pencitraan. Kabarnya ada ratusan triliun rupiah yang digelontorkan para bandar dalam perhelatan pemilihan presiden 9 Juli 2014 lalu.

Kedua, etika dan ketaatan hukum belum diresapi dan dilaksanakan oleh para petugas penyelenggara Pemilihan Umum (Pemilu). Buktinya Dewan Kehormatan Penyelenggara Pemilu (DKPP) menjatuhkan sanksi berupa pemberhentian tetap kepada lima komisioner KPU Dogiyai, memberikan peringatan karena adanya pelanggaran kode etik kepada para komisioner KPU di pusat dan daerah. Pragmatisme yang hinggap pada penyelenggara pemilu, menjadikan kualitas demokrasi di negeri ini makin memburuk.

Ketiga, tidak tegasnya penegakkan hukum. Akibatnya banyak kontestan pemilu bermain api, mengambil celah dan mencari untung. Aturan tak tegak, permainan menjadi tidak sehat. Pemenang berdiri di atas kecurangan, yang kalah merasa kecewa dan terluka.

Keempat, sikap menghalalkan segala cara untuk meraih kemenangan dari para kontestan. Moralitas dan etika politik baru diucapkan lidah dan sebatas khutbah. Karena “tuhan” yang menjadi tujuan adalah kemenangan.

Situasi ini diperparah oleh lingkungan yang terkesan mendukung. Budaya malu semakin hilang dan disertai sikap permisif masyarakat kepada penjahat politik. Tak ada sanksi sosial bagi petugas penyelenggara pemilu yang curang, padahal mereka telah merampok hak politik rakyat. 
 
Kebaikan Bersama
Mungkin ada baiknya melakukan kritik ke dalam. Apabila kenegarawanan masih langka, ini merupakan lampu kuning, indikator tidak banyaknya pemimpin dan warga bangsa yang berorientasi kepada kebaikan bersama. Indonesia yang pandangan hidupnya Pancasila nyatanya lebih banyak diisi oleh elit politik yang egois, individualis, materialis dan mementingkan kepentingan golongan di atas kepentingan dan kebaikan bersama. Panggung politik keseharian diisi oleh dagelan citra, tanpa aksi nyata untuk bangsa.

Tujuan esensial dari demokrasi adalah menengahi, mengakomodasi dan menghormati perbedaan. Sedari awal disadari bahwa setiap orang memiliki tujuan, keinginan, harapan dan pendapat yang berbeda.

Demokrasi adalah wahana menyeimbangkan kepentingan pribadi dengan kepentingan bersama. Ekuilibrium harapan setiap manusia dalam sebuah ikatan dan imaji kebangsaan. Semuanya setara, mendapatkan kesempatan dipilih dan memilih dengan dinilai sama, tanpa melihat latarbelakang pendidikan, pangkat, jabatan, harta dan kasta. Suara rakyat suara Tuhan, satu suara sangat berharga, harapan individu yang harus dihormati walau pilihan berbeda.

Tenggang rasa, saling menghormati, santun dan mentaati aturan harus membingkai semua perilaku berdemokrasi. Bagi penyelenggaranya, harus memiliki kesadaran ultim, bahwa melaksanakan musyawarah atau bahkan pemilihan umum merupakan tugas suci untuk kebaikan manusia.

Faktanya, intrik, ikut bermainnya para bandar karena ada gula “proyek” di belakangnya, telah menjadi “nila” bagi “air murni”demokrasi. Hanya karena kecewa kepada demokrasi, tentu tak harus patah arang, apalagi bersedia kembali ke rezim otoriter. Jika pun bagi sebagian kelompok Islam kanan dituding sebagai berhala dari Barat yang harus dihancurkan, bukankah karena demokrasi mereka masih mendapat kebebasan untuk menyampaikan ide-idenya secara terbuka, walau menyerang ideologi negara. 
 
Kedewasaan Politik
Bingkai etika politik lainnya yang kerap diabaikan para elit politik adalah belajar menerima kekalahan, walaupun dicurangi. Hanya saja, pada saat bersamaan, pemenang harus mendahulukan untuk merangkul yang kalah, dengan segala ikhtiar terbaiknya. Sikap seperti ini belum pernah sekalipun terlihat. Situasi paradoks, karena hakikatnya politik dilakukan untuk memuliakan manusia meraih cita-cita bersamanya sebagai sebuah bangsa.

Tentu saja, pertemuan Jokowi-JK dengan Prabowo-Hatta tak harus diliput media. Boleh jadi awalnya ada penolakan, namun lakukanlah dengan tulus. Apabila telah bertemu, baru sampaikan terbuka, sebagai pesan bahwa kompetisi telah selesai, kini pemenang bersama dengan yang kalah akan duduk bersama membangun bangsa. Gerbong penyelenggara pembangunan itu tak lagi berisi kelompok pendukung, namun ada kelompok lawan yang telah berubah menjadi kawan.

Boleh jadi ini utopia dan sikap politik seperti ini butuh kedewasaan. Meski langka, namun buktinya masih ada. Calon Gubernur yang kalah, proaktif mau  bekerjasama dengan pemenang untuk membangun masyarakat. Misalnya apa yang dilakukan Dede Yusuf, dia tetap santun, begitu kalah langsung mengucapkan selamat dan hingga kini duduk berdampingan. Dia pun meraih dua penghargaan dari Presiden dan Gubernur Jawa Barat, 14 Agutus 2014 lalu. Untuk itu semua dibutuhkan kesiapan mental dan kecerdasan emosional. Menerima kekalahan bukan perkara mudah, apalagi jika ketakpuasan menyertai.

Dede tidak mutung, terus berjuang dan kini menjadi wakil rakyat dari Kabupaten Bandung di DPR-RI. Oase di tengah gersangnya alam politik nasional yang penuh iri dengki, dendam, luka dan kebencian. Christopher F Achua dan  Robert N Lussier dalam bukunya Effective Leadership menyebut hal tersebut sebagai etika kepemimpinan utama, dimana fokus kepada tujuan yang lebih tinggi mendapat prioritas. Pemimpin dengan etika kepemimpinan yang tinggi mampu menggunakan frustasi dan kemarahan menjadi energi kebaikan. Wallâhu’alam.  
 
Iu Rusliana, Dosen Fakultas Ushuluddin UIN SGD Bandung, bergiat di Mien R Uno Foundation Jakarta.
 
Sumber, Pikiran Rakyat 27 Agustus 2014

WhatsApp
Facebook
Telegram
Print
Twitter