Korban ‘Politik’ Vaksin

(UINSGD.AC.ID) Kabar ini datang dari negeri para pesepak bola berbakat. Bukan tentang rebutan harta warisan sang legenda Maradona. Yang diperebutkan oleh anak-anaknya. Karena sang ayah tak meninggalkan surat wasiat. Atas hartanya yang melebihi satu triliun itu. Bukan pula tentang kegalauan Lionel Messi. Apakah bertahan atau hengkang dari Barcelona. Tetapi berita tentang Gines Gonzales Garcia. Sang Menteri Kesehatan Argentina.

Gines adalah Menteri Kesehatan selanjutnya di dunia. Yang mundur, atau diminta mundur. Oleh presiden Argentina Alberto Fernandez. Minggu lalu, tepatnya Jum’at lalu. Sang Menteri membuat cela pemerintahan. Karena kasus pemberian vaksin. Konon katanya, memberikan vaksin kepada orang-orang yang belum berhak di vaksin. Ada activist ada pejabat negara dan orang-orang special yang dekat dengan pemerintahan.

Salah satu pemberian vaksin yang paling mencolok adalah kepada Horacio Verbitsky. Usianya tujuh puluh tahun. Horacio adalah seorang jurnalis. Yang pro pemerintah. Kolom, website dan radio yang diasuhnya banyak memberitakan sisi positif pemerintah. Sang jurnalis kebetulan teman lama sang Menteri. Belum waktunya giliran di vaksin. Tapi karena kedekatan dengan sang Menteri dia mendapat prioritas. Argentina memulai vaksinasi, Desember lalu. Vaksin yang dipilih dari Rusia, Sputnik V. Itulah kesalahan Menteri Gines. Memaksanya untuk mundur, atau mungkin dimundurkan.

Gines adalah politisi dan pejabat publik Argentina. Lahir 31 Agustus 1945. Jabatan menkes adalah periode keduanya. Setelah sebelumnya juga menjadi menkes di bawah Presiden Eduardo Duhalde dan Nestor Kirchner (2002-2007). Pernah juga menjadi Duta Besar Argentina di Chile (2007-2015).

Gines juga aktivis partai. Dari partai Justicialist, partai terbesar di Argentina. Partai ini dilahirkan tahun 1947 oleh Juan dan Evita Peron. Wajar jika sebutan partai ini, biasa disebut Peronism. Sebuah Gerakan politik yang didasarkan pada ide dan legasi sang legenda politik Argentina, Juan Peron (1895-1974).

Gines seperti saya sebut di atas, bukanlah politisi pertama. Yang tersengat kasus vaksin. Ada juga politisi Peru, Pilar Mazzetti sang Menteri Kesehatan. Mundur gara-gara terekspose media. Memberikan vaksin kepada mantan presiden Peru Martin Vizcarra Oktober 2020. Padahal program resmi vaksinasi di Peru dimulai Februari 2021.

Meskipun sang mantan presiden beralasan. Bahwa ia dan isterinya Maribel Diaz Cabello divaksin karena menjadi volunteer. Dalam ujicoba vaksin sebelum diedarkan. Pengakuannya itu dibantah. Oleh ketua program ujicoba vaksin dari Cayetano Heredia Universiti. Dari duabelas ribu sukarelawan riset ujicoba vaksin. Tak ada nama presiden Vizcarra dan isterinya, katanya.

Pengunduran diri Pilar Mazzetti diikuti pula oleh sang Menteri Luar Negeri Argentina, Elizabeth Astete. Ia mundur karena terungkapnya berita. Para pejabat negara sudah mendapatkan vaksin, sebelum secara resmi public di vaksinasi. Yang jadwalnya dimulai 8 Februari. Elizabeth mengakui bahwa ia sudah di vaksinasi tanggal 22 Januari. Sebelum jadwal resmi vaksinasi untuk public. ‘It is a serious mistake,’ katanya.

Covid 19 memang dahsyat. Banyak memakan korban. Termasuk para politisi dan pejabat. Bukan semata-mata karena terkena virusnya. Tapi juga ‘tersengat’ urusan vaksin. Mengurus kepentingan publik memang perlu integritas. Perlu komitmen. Perlu professionalitas.

Mari kita ambil pesan moralnya. Pesan moral cerita pengunduran diri di atas. Pesan moral itu bisa dilihat dari beberapa sudut. Tergantung interpretasi. Tergantung dari sudut mana memandang. Bebas saja. Tanpa perlu kontroversi. Tanpa perlu saling menyalahkan. Karena perbedaan sudut pandang. Dalam mengambil pesan moral itu. Bebas saja, bukankah kebebasan adalah prasyarat bahagia.

Anda bebas beraksi dan berinterpretasi. Asal tidak mengganggu orang lain. Tidak menyalahkan orang lain. Demi kebahagiaan anda. If I don’t hurt anybody else, I should be free to pursue my own will, demikian kata Thomas Jefferson. Tinggal ditambahkan doing what you like is freedom, liking what you do is happiness. Termasuk doing resignation, seperti yang dilakukan para politisi atau pejabat public yang diceritakan di atas.***

Prof. Ahmad Ali Nurdin MA., Ph.D., Dekan Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik (FISIP) UIN Sunan Gunung Djati Bandung.

WhatsApp
Facebook
Telegram
Print
Twitter

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *