Ekonomi Zakat Bisa Turunkan Angka Kemiskinan

[www.uinsgd.ac.id] Aktivitas Zakat, yang dilakukan sebagian besar masyarakat muslim di Indonesia, dinilai menjadi peluang besar dalam penurunan angka kemiskinan. Hal tersebut disampaikan pakar ekonomi zakat, Muhammad Anton Athoillah.

Dia mengatakan, berdasarkan hasil penelitian yang telah dilakukannya di enam provinsi, yakni Jawa Barat, Jawa Tengah, Jawa Timur, DKI Jakarta, Banten, dan Yogyakarta (pada 2001-2012), diketahui perolehan dana zakat yang meningkat tajam, menjadikan data penduduk miskin mengalami penurunan.

Menggunakan model analisis data, lanjut Anton, diperoleh temuan bahwa zakat berpengaruh positif dan signifikan terhadap pertumbuhan ekonomi. Selain itu, dari penelitian tersebut diketahui zakat berpengaruh negatif tetapi tidak signifikan.

“Temuan penelitian ini menyimpulkan bahwa zakat bisa dijadikan salah satu instrumen pengentasan kemiskinan pada enam provinsi di Pulau Jawa,” ungkapnya usai menjalani Sidang Doktoral untuk Program Doktor Ilmu Ekonomi Jalur Ekonomi Terapan, di Pascasarjana Universitas Padjajaran, Selasa (10/2/2015).

Dia menyebutkan, persentase terbesar dari sebaran penduduk miskin Indonesia, juga milik pulau Jawa. Jika dibandingkan dengan jumlah penduduk miskin Indonesia, persentase jumlah penduduk miskin di Pulau Jawa tercatat sebesar 15.822.600 jiwa, atau 54,3% dari jumlah penduduk miskin Indonesia.

Untuk itu, potensi zakat yang mencapai ratusan triliun ini karena berbagai hal hanya bisa tercatat hingga ratusan juta saja. Menurutnya, hal ini dikarenakan tidak ada pencatatan yang tepat dalam perolehan pengelolaan zakat. Pasalnya, karena nilai zakat yang besar maka zakat harus dicatat sebagai salah satu pendapatan nasional, karena berpengaruh terhadap penurunan angka kemiskinan.

“Dalam beberapa penelitian pun disebutkan, bahwa dalam batas-batas tertentu, zakat menjadi instrumen pengentasan kemiskinan. Hal ini bersama-sama dengan pendidikan, kesehatan, investasi, dan peluang kerja,” ujarnya.

Dia menyebutkan, Badan Penyelenggara Statistik (BPS) harusnya juga mencatat perolehan dana zakat. Karena, nilainya yang besar harus dicatat secara akuntabel dan transparan.

Menurut Anton, lembaga zakat yang ada saat ini belum distandarisasi baik secara nasional maupun internasional. Harus ada lembaga yang mengaudit bahkan mengakreditasi lembaga zakat. Pasalnya, zakat merupakan hak publik yang harus dilindungi secara payung hukum.

Ke depan, pengembangan zakat bisa dilakukan dengan cara memperkuat living-values yang selama ini sudah terjalin antar sesama anggota masyarakat, sebagai wujud social-captal atau lebih tepatnya faith-based social capital. Adanya temuan bibliografis bahwa pendistribusian dana zakat tidak harus selalu dikhususkan bagi mustahik muslim, telah menambah peluang perekat bangsa Indonesia yang plural dan majemuk.

Sementara itu, kata Anton, untuk melindungi segenap aktivitas yang terkait dengan zakat, diperlukan kepastian hukum yang bisa memayungi aspek penghimpunannya dan pendayagunaannya yang dilakukan oleh lembaga ataupun perorangan; pemerintah ataupun swasta. Saat ini, produk hukum yang ada, baik undang-undang maupun peraturan terkait dengannya, dirasakan masih kurang.(dmd)

Sumber, Sindo Rabu,  11 Februari 2015  −  00:46 WIB

WhatsApp
Facebook
Telegram
Print
Twitter