Dasar-dasar Epistemologi Islam

Epistemologi atau teori ilmu pengetahuan merupakan kajian yang berguna, karena ia membahas aspek kehidupan manusia yang amat fundamental yaitu ilmu pengetahuan. Epistemologi mengkaji secara filosofis tentang asal, struktur, metode, validitas dan tujuan ilmu pengetahuan. Ia menjelaskan apa yang disebut kebenaran serta kriterianya dan menjelaskan cara yang dapat membantu diperolehnya kebenaran itu.

Epistemologi mempunyai tempat yang cukup sentral dalam bangunan filsafat ilmu, sehingga epistemologi telah menarik perhatian para pemikir baik di Barat maupun di bangunan pemikiran Islam modern.

Pertama, Di dunia Barat, epistemologi menjadi suatu disiplin ilmu baru di Eropa yang dipelopori oleh Descartes (1596-1650), dan dikembangkan oleh filosof Leibniz (1646–1716), kemudian disempurnakan oleh John Locke di Inggris. Epistemologi berkembang sejak gagasan renaissance dibangkitkan.     

Renaissance adalah produk dari gerak individualisme yang kuat yang menggoncang tatanan yang sudah mapan pada abad k-14 dan ke-15. Pada abad ke-18 dimulailah suatu zaman baru, yang memang telah berakar pada Renaissance, serta yang mewujudkan potensi diri manusia dalam mengindera, berpikir dan melakukan berbagai eksperimen dalam mengolah alam, sehingga lahir dua aliran rasionalisme dan empirisme. Abad ke-18 disebut abad Pencerahan (Aufklarung). Sementara itu, abad ke-19, dimulai Gerakan Neo-Positivisme, yang dimotori oleh Lingkaran Wina (Wiener Kreis, Vienna Circle) adalah suatu kelompok yang terdiri dari sarjana-sarjana ilmu pasti dan ilmu alam di Wina. Aliran ini mendapat pengaruh dari tiga arah: (1)dari empirisme dan positivisme, terutama Hume, Mill, dan Ernst Mach; (2)dari metodologi ilmu empiris yang dikembangkan oleh para ilmuwan semenjak abad ke-19, seperti Einstein; (3) perkembangan logika simbolik dan analisa logis yang dikembangkan terutama oleh Frege, Whitehead, Russell serta Wittgeinstein.[1] Salah satu maksud gerakan ini ialah ingin memperbaharui positivisme klasik ciptaan Comte. Pada awal abad ke-20 ini berkembang juga filsafat fenomenologi, dan penggagas dasar aliran filsafat fenomenologi ialah Edmund Husserl (1859-1938). Husserl adalah seorang filsuf Jerman yang pernah mengajar filsafat di Halle, Gottingen, dan Freiburg.

Bersamaan dengan itu pula berkembang filsafat eksistensialisme, yaitu filsafat yang menolak pemutlakan akal budi dan menolak pemikiran-pemikiran abstrak murni. Eksistensialisme berupaya untuk memahami manusia yang berada di dalam dunia, yakni manusia yang berada pada situasi yang khusus dan unik. Blackham mengatakan bahwa eksistensialisme adalah suatu filsafat keberadaan, suatu filsafat pembenaran dan penerimaan dan suatu penolakan terhadap usaha rasionalisasi pemikiran yang abstrak tentang kebenaran. Selanjutnya, Mazhab Frankfurt dan Marxisme, nama “Mazhab Frankfurt” (Die Frankfurter Schule) digunakan untuk menunjukkan sekelompok sarjana yang bekerja pada Institut fur Sozialforschung (Lembaga untuk Penelitian Sosial) di Frankfurt am Main.[2] Lembaga ini didirikan pada tahun 1923 oleh Felix Well, dimaksudkan untuk membentuk sebuah pusat penelitian sosial yang independen.[3]

Kedua, Permasalahan epistemologi dalam filsafat Islam tidak dibahas secara tersendiri, akan tetapi, begitu banyak persoalan epistemologi dikaji secara meluas dalam pokok-pokok pembahasan filsafat Islam, misalnya dalam pokok kajian tentang jiwa. Begitu pula hal-hal yang berkaitan dengan epistemologi banyak dikaji dalam pembahasan tentang akal, objek akal, akal teoritis dan praktis, wujud pikiran, dan tolok ukur kebenaran dan kekeliruan suatu proposisi. Dalam perkembangan filsafat Islam, epistemologi menjadi suatu bidang disiplin baru ilmu yang mengkaji sejauh mana pengetahuan dan makrifat manusia sesuai dengan hakikat, objek luar, dan realitas eksternal.

Dinamika epistemologi dalam pemikiran keagamaan di dunia Islam telah berlangsung  sejak  periode klasik (650-1250), periode pertengahan (1250-1800) dan periode modern (1800-sekarang).[4] Periode  perkembangan pemikiran modern sebagai periode ketiga dipandang sebagai periode kebangkitan kembali umat Islam setelah tenggelam selama abad pertengahan. Namun demikian, kehadiran modernisme telah menyebabkan respons yang beragam dan memunculkan ketegangan di kalangan umat islam. Dengan adanya modernisasi di segala bidang di beberapa Negara, seperti Mesir memasuki masa liberal (liberal age). Paham liberalisme tumbuh mekar yang mengakibatkan munculnya sejumlah gagasan tentang pemisahan antara agama, kebudayaan dan politik[5]. Dengan berkembangnya pemahaman liberatif di Mesir, lahirlah apa yang disebut an-nahdah (renaissance), yang kemudian melahirkan beberapa trend pemikiran

(1) Trend pemikiran ke arah tradisionalisme ini disebut The Islamic Trend (kecenderungan pada Islam). Pandangan ini dimulai sejak pengajaran-pengajaran Ibn Hanbal yang mengalami keberhasilan puncak melalui Muhammad ibn Abd al-Wahhâb (1703-1992).

(2) Kelompok The Syntetic and The Rational scientific and Liberal Trend (sintesa secara rasional ilmiah dan pemikiran bebas), kelompok yang berusaha memadukan antara Islam dan kebudayaan Barat. Kelompok ini diwakili oleh Qâsim Amîn (1865-1908), dan ‘Ali ‘Abd. ar-Râziq (1888-1966), Tâha Husein (1883-1973), Lutfî as-Sayyid (1872-1972), Zakî Najîb Mahmûd (1905-1993), Salamah Mûsa, Farag Fawdah, Fu’ad Zakariya, Hassan Hanafî (1935), Mohammed Arkoun, Muhammad Syahrur, Seyyed Hosein Nasr dan Nasr Hâmid Abû Zaid.

Epistemologi yang telah tumbuh sejak ratusan tahun silam, kini berada pada posisi perkembangan yang semakin menggairahkan. Kehadiran perguruan tinggi di berbagai belahan dunia, termasuk di Indonesia sesuai dengan fungsi utamanya untuk mengembangkan ilmu, telah memberikan kontribusi signifikan dalam memelihara semangat perkembangan ilmu. Berbagai temuan dalam bidang sains, teknologi dan seni telah ikut memperkaya khazanah intelektual, sekaligus memberikan kontribusi penting bagi kehidupan manusia.

Hampir semua disiplin ilmu yang saat ini berkembang baik di dunia pendidikan maupun di lingkungan para penggunanya, pada dasarnya bermula dari buah pemikiran para penggagas atau penemunya. Mereka telah memberikan sumbangan besar dalam proses transformasi budaya masyarakat dunia. Informasi para penggagas dan penemu teori yang telah memperkaya ilmu pengetahuan itu, kini tersebar dalam berbagai literatur khususnya berkaitan dengan sejarah perkembangan sesuatu ilmu. Perkembangan ilmu pengetahuan, baik di lingkungan lembaga pendidikan maupun dalam lingkup wilayah pemanfaatannya di dunia praktis, selalu membuka peluang untuk ditelaah, dikritik, atau bahkan dibantah sesuai dengan perbedaan perspektif yang digunakannya. Namun demikian, secara filosofis, pertumbuhan dan perkembangan ilmu pengetahuan pada gilirannya akan berujung pada tema-tema kemanusiaan, kealamsemestaan, dan ketuhanan. Ilmu pengetahuan kemudian muncul dan berkembang sebagai jawaban atas berbagai pertanyaan di seputar ketiga tema tersebut.

Dalam perspektif epistemologi Islam, tidak dikenal adanya dikhotomi antara ilmu agama dengan ilmu non-agama (umum). Ilmu adalah ilmu, Ia berasal dari sumber yang sama, kemudian berkembang sesuai dengan wilayah obyeknya masing-masing, baik menyangkut obyek material maupun obyek forma. Ia terus bersentuhan dengan fenomena alam, manusia dan apapun yang berada di luar keduanya. Melalui persentuhan itulah ilmu pengatahuan terus berkembang memasuki ruang sejarah dari waktu ke waktu.

Jika sains dan teknologi ini ditelusuri kembali ke masa-masa pertumbuhannya, hal itu tidak lepas dari sumbangsih para ilmuwan muslim. Tidak berlebihan jika dikatakan bahwa asal-usul sains modern atau revolusi ilmiah berasal dari peradaban Islam. Memang sebuah fakta, umat Islam adalah pionir sains modern. Jikalau mereka tidak berperang di antara sesama mereka, dan jika tentara kristen tidak mengusirnya dari Spanyol, dan jika orang-orang Mongol tidak menyerang dan merusak bagian-bagian dari negeri-negeri Islam pada abad ke-13, tentulah mereka akan juga mampu melahirkan seorang Descartes, seorang Gassendi, seorang Hume, seorang Copernicus, dan seorang Tycho Brahe, karena kita telah menemukan bibit-bibit filsafat mekanika, emperisisme, elemen-elemen utama dalam heliosentrisme dan instrumen-instrumen Tycho Brahe dalam karya-karya al-Ghazali, Ibn al-Shatir, para astronom pada observatorium margha dan karya-karya Takiyudin.

Peradaban Islam pernah memiliki khazanah ilmu yang sangat luas dan menghasilkan para ilmuwan yang begitu luar biasa. Ilmuwan-ilmuwan ini ternyata jika kita baca, mempunyai keahlian dalam berbagai bidang. Sebut saja Ibnu Sina. Dalam umurnya yang sangat muda, dia telah berhasil menguasai berbagai ilmu kedokteran. Magnum opusnya al-Qanun fi al-Thib menjadi sumber rujukan primer di berbagai universitas Barat.[6] Selain Ibnu Sina, al-Ghazali juga bisa dibilang ilmuwan yang representatif untuk kita sebut di sini. Dia teolog, filosof, dan sufi. Selain ia juga ahli fiqih terkenal sebagai orang yang menganjurkan ijtihad kepada orang yang mampu melakukan itu. Al-Mushtasfa adalah bukti keahliannya dalam bidang ushul fiqih. Tidak hanya itu, al-Ghazali juga ternyata mempunyai paradigma yang begitu modern. Dia pernah mempunyai proyek untuk menggabungkan, tidak mendikotomi, ilmu agama dengan ilmu umum. Baginya, kedua jenis ilmu tersebut sama-sama wajib dipelajari oleh umat Islam.[7]

Selain para ilmuwan di atas, Ibnu Rusyd layak kita sebut di sini. Dia filosof ulung, teolog dan menguasai kedokteran. Bahkan dia juga bisa disebut sebagai faqih. Kapabalitasnya dalam bidang fiqih dibuktikan dengan karya  Bidayah al-Mujtahid. Filosof ini juga menjadi inspirasi gerakan-gerakan di Barat. Tidak sedikit idenya yang diadopsi oleh orang Barat sehingga bisa maju seperti sekarang. Ilmuwan lainnya seperti Fakhruddin al-Razi, selain seorang teolog, filosof, ahli tafsir, dia juga seorang yang menguasai kedokteran. Al-Khawarizmi, Matematikawan dan seorang ulama. Dan masih banyak lagi para ulama sekaligus ilmuwan yang dihasilkan dari Peradaban Islam.[8]

Buku ini mengangkat kembali diskursus di seputar epistemologi yang dikembangkan dan diaktualisasikan oleh para pemikir muslim, mulai  dari Syuhrawardi, Syahrur, Nasr Hamid Abu Zaid, Hassan Hanafi, Seyyed Hosein Nasr, Muhammad Abed Al-jabiri, dan Mohammed Arkoun.

sSemua itu menunjukkan, bahwa suatu peradaban bisa maju dan unggul, meskipun tetap dilandasi oleh agama dan kepercayaan terhadap Tuhan (Allah SWT), dengan cara mengembangkan epistemolog. Karya ini menjelaskan bahwa di dunia Islam epistemologi berkembang dengan berbagai trend dan corak pemikiran yang beragam. Buku ini akan memberikan sumbangan pemikiran yang besar bagi pengembangan metodologi ilmu di berbagai bidang ilmu-ilmu keislaman.  

[1] C. Verhaak dan R. Haryono Imam. Filsafat Ilmu Pengetahuan Telaah Atas Kerja Ilmu-Ilmu (Jakarta : Gramedia, 1991), hlm. 154

[2] Istilah madzhab Frankfurt (Frankfurt School) tidak hanya untuk kelompok Horkheimer, Adorno dan Marcuse, tetapi juga figur-figur seperti Habermas dan Wellmer. Lihat Raymond Geuss, The Idea of A Critical Theory Habermas & the Frankfurt School (Cambridge : Cambridge University Press, 1989), hlm. 1.

[3] K Bertens, Filsafat., hlm. 176.

[4] Harun nasution, Pembaharuan dalam islam: sejarah Pemikiran dan aliran  (Jakarta: Bulan Bintang, 1975), hlm. 12-14.

[5] Ibrahim M. Abu Rabi’. “Islam Liberalism in The Muslim Middle East Viable ?” dalam Hamdard Islamicus (Baltimore: The John s Hopkins University Press, 1991) vol. XII, no. 4, hlm. 50.

[6] Taufiq Yusuf al-Wa’i, Al-Islam fi al-‘Aqli al-‘Alami (Kairo: Dar al-Wafa li Thaba’ah wa an-Nasyr wa at-Tauzi’, 1990), hlm. 47.

[7] Hery Sucipto, Ensiklopedi Tokoh Islam: dari Abu Bakr sampai Nashr dan Qardhawi (Bandung: Hikmah, 2003), hlm. 163.

[8] Ibid., hlm. 183.

WhatsApp
Facebook
Telegram
Print
Twitter