Shaum itu Pengembangan Diri dan Masyarakat

UINSGD.AC.ID (Humas) — Dari Abu Hurairah radhiyallahu ‘anhu, bahwasanya Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Puasa adalah perisai. Maka (orang yang melaksanakannyajanganlah berbuat kotor (rafatsdan jangan pula ribut-ribut.” Dalam sebuah riwayat disebutkan, “Dan jangan berbuat bodoh.” “Apabila ada orang yang mengajaknya berkelahi atau menghinanya maka katakanlah aku sedang shaum (ia mengulang ucapannya dua kali).” (HR. Al-Bukhari No. 1894; HR. Muslim No. 1151).

عَنْ أَبِي هُرَيْرَةَ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُ، أَنَّ رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ، قَالَ: الصِّيَامُ جُنَّةٌ فَلاَ يَرْفُثْ وَلَا يَصْخَبْ. وَفِي رِوَايَةٍ: وَلاَ يَجْهَلْ، وَإِنِ امْرُؤٌ قَاتَلَهُ أَوْ شَاتَمَهُ فَلْيَقُلْ: إِنِّي صَائِمٌ مَرَّتَيْنِ

Dalam hadis di atas, melalui kalam agungnya, Nabi Muhammad saw sedang menasihatkan tentang makna dan fungsi dari shaum, yakni pengendalian diri (self control), pertahanan diri (self defence) dan pengembangan diri (self-development). Dalam hadis di atas, shaum diibaratkan sebagai “perisai” atau “pelindung diri”.

Tentunya, jenis shaum di sana bukan hanya terkait dengan Shaum Ramadhan saja, melainkan mencakup shaum sunnah di luar Ramadhan. Namun, Shaum Ramadhan menjadi core (inti) pembicaraan dalam hadis Nabi saw di atas.

Terkait denga fungsi dan makna shaum ini, hadis di atas sejalan dengan sabda Nabi saw lainnya, yakni:

الصِّيَامُ جُنَّةٌ كَجُنَّةِ أَحَدِكُمْ مِنَ الْقِتَالِ

“Shaum adalah perisai seperti perisai salah seorang dari kalian dalam peperangan.” (HR. An-Nasa’i No. 2230; HR. Ibnu Majah No. 1639; HR. Ahmad, 26/205; dan lainnya. Hadits ini sanadnya shahih)

Sebagaimana “perisai” yang memiliki dua fungsi, yakni a) memastikan keamanan dan kenyamanan tubuh pemakainya serta b) dapat melindungi diri dari ancaman eksternal, maka shaum seorang muslim yang ikhlas pun berfungsi ganda, yakni a) menjaga kesehatan jasmani dan jiwa secara total, dan b) melindungi diri dari keburukan dan kejahatan.

Selain melindungi dari hal-hal yang buruk (self defence), maka shaum pun dapat mengondisikan dan menumbuhkan kebaikan ruhani orang yang melaksanakannya (self development). Dengan demikian, efek shaum sebagai junnah (perisai) berifat holistik dari jasmani hingga ruhani, menumbuhkan kebaikan dan mencegah keburukan.

Shaum sebagai Perisai Jasmani dan Ruhani

Terkait jasmani, shaum dapat bermanfaat bagi pengendalian diri dari kebutuhan jasmani, seperti makan, minum, dan kebutuhan penyaluran libido seksualitas. Dari hal-hal yang diperbolehkan saja (halal atau mubah) dilarang untuk dikonsumsi pada saat siang hari, apalagi dari dari hal-hal yang haram (muharramât).

Pelaksanaan shaum pun dapat menjadi proses recovery ragawi orang yang melaksanakannya, karena tubuhnya dibiasakan untuk mengadaptasi kebiasaan baru yang bermanfaat dari sisi kesehatan. Selain itu, ia ditransisikan  untuk mengonsumsi “asupan gizi” yang proporsional agar proses metabolisme tubuh menjadi seimbang dan terbarukan (renewal).

Pada sisi ruhani, shaum dalam mengendalikan pikiran dan “jiwa”. Pikiran orang yang shaum dikondisikan untuk memikirkan hal-hal yang positif (positive thinking). Pikiran ditarik dari “aras negatif” ke “domain positif” sesuai fitrah sucinya, melalui upaya-upaya retret (penarikan diri) dan tazkiyatun nafs (katarsis; pembersihan diri), seperti memaknai secara mendalam dari aktivitas shaumnya, memaknai eksistensi dirinya di antara Allah dan alam, mentadabburi kalam Tuhan dan sabda suci dari Nabi Saw, serta merenungi makna kehidupan agar tumbuh kesadaran ilahiyyahnya.

Pikiran kotor dan pesimis dikendalikan bahkan dijauhi, supaya terjadi keseimbangan (tawazun) dan selalu husnul dzan kepada Sang Pencipta. Sedangkan pada sisi jiwa, shaum dapat menjadi proses tazkiyatun nafs (pembersihan diri) dengan upaya mengondisikan jiwa ke arah jiwa muthmainnah (jiwa yang tenang), naik level dari jiwa lawwamah, serta menjauhi dari jiwa amarah.

Inilah makna dari “fa la yarfus” (mengikuti hawa nafsu, berkata kotor, bertindak yang keliru [salah]) dan “wa la yashkhab” (jangan berselisih, ribut, atau konflik), yakni orang berpuasa dianjurkan melakukan pengendalian diri (self control) untuk menghindari perbuatan-perbuatan buruk. Apabila ada “bisikan dari dalam diri” dan “ajakan dari yang lain” untuk melakukan hal-hal yang buruk, maka secepatnya untuk mengembalikan kesadarannya dengan menguatkan kembali eksistensinya “Inni Shaim” (aku adalah orang yang shaum).

Perbedaan Kualitas Perisai

Sebagaimana sebuah perisai, kekuatan shaumnya sangat tergantung pada kualitas perisainya sendiri. Bila kualitas bagus dan kuat, maka sahaumnya akan dapat tahan terhadap segala macam tantangan, godaan, dan hambatan kehidupan. Namun, apabila kualitas perisainya biasa-biasa saja, maka ia akan rentan bobol walau hanya satu sabetan senjata tajam pun.

Demikian pula dengan kualitas shaum dan fungsinya sebagai junnah (perisai). Jika shaumnya masih pada tataran fisik (jasmani), maka ia akan hanya berfungsi minimal yakni melindungi fisik saja. Misalnya, ia belum mampu meninggalkan berbohong atau ghibah, maka shaumnya hanya bersifat fisik, belum sampai pada shaum ruhaniyah. Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,

مَنْ لَمْ يَدَعْ قَوْلَ الزُّورِ وَالْعَمَلَ بِهِ وَالْجَهْلَ فَلَيْسَ لِلَّهِ حَاجَةٌ أَنْ يَدَعَ طَعَامَهُ وَشَرَابَهُ

Barang siapa yang tidak meninggalkan perkataan zûr (perkataan dusta), mengamalkannyaatau tindakan bodohmaka Allah tidak butuh atas usahanya dalam menahan rasa lapar dan dahaga.” (HR. Al-Bukhari No. 6057).

Namun, jika kualitas shaumnya sudah mencapai shaum ruhiyah atau terkategori khawashul khawas, maka ia akan mampu melindungi jasmani dan ruhaninya dari keburukan, serta mengembangkan jiwanya dengan kebaikan-kebaikan dalam upaya mendekati sang khaliq (taqarrub ila Allah).

Kebermanfaatan dari “perisai” shaum tidaklah hanya bersifat individual, namun juga haru bersifat sosial. Sebagai pelindung (perisai), shaum yang dilakukan oleh umat Islam harus mampu menjadi pelindung bagi banyak kehidupan dalam benteng yang kokoh tersebut. Shaum Ramadhan merupakan masa pembangunan benteng jiwa dan raga orang muslim, baik sebagai individu maupun sebagai ummat. Sebagaimana sebuah benteng, ia dibuat untuk melindungi umat dari serangan musuh di kala masa konflik atau peperangan.

Namun, benteng juga harus memberikan kenyamaan dan keamanan, agar masyarakat dapat tumbuh berkembang di dalamnya untuk mencapai keadilan, kemakmuran, dan kesejahteraan bersama. Benteng yang kokoh tidaklah dibangun dalam sekejap, tetapi dibangun dalam proses yang lama. Ia pun harus dipelihara dan dijaga bersama agar tetap kokoh, serta tidak ada kebocoran.

Oleh karena itu, keberhasilan shaum haruslah terefleksikan pada kehidupan sosial melalu amal-amal sosial, seperti zakat, infak, sedekah untuk membantu sesama, termasuk takjil bersama dan sahur bersama. Pada saat ini, orang-orang yang diberikan kelebihan harta dan kuasa dapat menunjukkan empati dan kedermawanananya, sementara pada sisi lain orang-orang yang sedang diberi “kesempitan” merasa diperhatikan dan dimanusiakan oleh sesamanya.

Pada konteks ini pula, seorang pegawai atau pelayan publik tidaklah harus bermalas-malasan untuk memberikan pelayanan prima kepada yang membutuhkannya karena alasan shaum. Tetapi sebaliknya, dengan motivasi “shaum”, maka ia seyogyanya melipatgandakan “spirit” pelayanan prima dengan tujuan meraih ridha dan cinta Allah sebanyak dan seluas-luasnya, mumpung sedang pada bulan Ramadhan yang disebut sebut sebagai bulan “obral kasih sayang Allah” kepada siapapu yang mendekat dengan-Nya.

Demikian juga, para pencari ilmu seyogyanya melipatkan semangat dan usahanya untuk memanfaatkan waktu dan kesempatannya untuk menunaikan salah satu kewajiban sebagai hamba Allah, yakni thalabul ilmi. Semoga semuanya mendapatkan Ridha dan Kasih Allah pada Ramdhan dan bulan-bulan setelahnya (kullu ‘am bi khair).

Dadan Rusmana, Wakil Rektor I UIN Sunan Gunung Djati Bandung.

 

WhatsApp
Facebook
Telegram
Print
Twitter

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *