Gus Ulil dalam Seminar Hukumah Diniyah Beberkan Negara dan Agama Ibarat Saudara Kembar

UINSGD.AC.ID (Humas) — Ketua Pengurus Besar Nahdlatul Ulama (PBNU) KH Ulil Abshar Abdalla (Gus Ulil) menyebut hubungan antara negara dan agama ibarat saudara kembar. Agama merupakan dasar pokok dan negara adalah pelindung bagi dasar pokok itu.

“Negara dan agama itu saudara kembar. Agama itu adalah dasar pokok sementara negara fungsinya adalah penjaga, yang bertugas untuk melindungi pokok, supaya pokok ini tetap terjaga, berkembang dan terus hidup,” ujar Gus Ulil dalam Seminar Hukumah Diniyah dan Sistem Istinbath Hukum Islam dan Bahtsul Masail di Hotel Aryaduta, Bandung.

Seminar yang dilaksanakan berkat kerja sama, PBNU, DIKTIS (Direktorat Pendidikan Islam), UIN Sunan Gunung Djati Bandung dan Kanwil Kemenag Provinsi Jawa Barat ini menghadirkan 130 peserta dari unsur PWNU, PCNU dan Pimpinan Pesantren Jawa Barat.

Mengenai pengertian hukumah diniyah yaitu otoritas keagamaan, bukan teokrasi (pemerintahan yang berbasis agama).

“Hukumah diniyah itu kalau dalam bahasa Indonesia artinya adalah pemerintahan keagamaan. Gus Yahya (Ketua Umum PBNU) memiliki arti lain dari hukumah diniyah yaitu otoritas keagamaan (religious authority),” jelas Gus Ulil dikutip dari laman NU Online, Jumat (18/10/2024)

Menurutnya tugas politik atau otoritas pemerintahan negara, dalam konstruksi Imam Ghazali, yaitu negara atau kekuasaan sebagai penjaga agama, sehingga ulama menjadi representasi agama.

“Dalam konstruksi teoritik yang diajukan Imam Ghazali, negara atau kekuasaan adalah penjaga agama. Agama ini, representasinya atau wakilnya adalah ulama, jadi ulama itu punya peran penting dalam konstruksi kenegaraan,” ungkap Pendiri Ghazalia College itu.

Gus Ulil membeberkan peran ulama sebagai penafsir, sebagaimana yang tertera dalam teori Ibnu Rusyd dalam kitab Bidayatul Mujtahid wa Nihayatul Muqtashid.

“Perannya jelas, dia (ulama) adalah penafsiran wahyu yang termuat di dalam kitab suci yaitu Al-Qur’an karena seperti teorinya Ibnu Rusyd di dalam Bidayatul Mujtahid wa Nihayatul Muqtashid, bahwa nash-nash agama yang termuat di dalam Qur’an dan hadits itu terbatas. Hadits juga terbatas, nash-nash keagamaan itu terbatas, tetapi kejadian-kejadian sosial di dalam masyarakat berkembang terus,” jelasnya.

Ia menjelaskan jawaban Ibnu Rusyd mengenai peran ulama sebagai jembatan perantara dalam perkembangan-perkembangan sosial yang terus terjadi.

“Lalu jawaban Ibnu Rusyd, karena perkembangan-perkembangan sosial yang terus terjadi dibutuhkan peran perantara, peran penafsir yang bisa menjadi jembatan, jembatan ini adalah ulama,” katanya.

Gus Ulil menegaskan bahwa tugas ulama adalah melakukan penafsiran atau pemahaman untuk mengeluarkan hukum karena adanya peristiwa-peristiwa baru.

“Apa persis tugas ulama di sini? Tugasnya adalah melakukan penafsiran pemahaman atau istinbath. Tugas ulama adalah istinbath, ulama adalah orang yang mengeluarkan hukum karena ada peristiwa-peristiwa baru yang jelas hukumnya tidak ada di dalam Qur’an dan hadits,” ungkapnya.

Sementara itu, KH Tatang Astarudin mewakili Rektor UIN Sunan Gunung Djati, mengatakan bahwa NU harus tampil di masyarakat dengan menunjukkan otoritas keagamaan yang menjadi rujukan dalam berbagai aspek.

“Pergulatan NU hari ini setidaknya yang beliau (Gus Yahya) pernah sampaikan adalah pertama di pergulatan kemasyarakatan di tengah-tengah masyarakat NU harus menampilkan dirinya, menunjukkan otoritas keagamaan yang menjadi rujukan, bukan hanya pada aspek-aspek keagamaan tapi aspek-aspek yang lain,” jelasnya.

 

WhatsApp
Facebook
Telegram
Print
Twitter

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *