UINSGD.AC.ID (Humas) — Ritual kurban yang biasa dilaksanakan umat Islam setiap Hari Raya Idul Adha yang dalam perspektif Alquran sebagai manifestasi rasa syukur atas nikmat-nikmat yang diberikan Allah secara melimpah (a’thaina al-kautsar) kepada hamba-hamba-Nya ternyata tidak hanya upacara religius yang terdapat dalam tradisi Islam. Momen ini juga mempunyai akar sejarah pada umat-umat terdahulu.
Dalam Alquran Surat al-Hajj ayat 34 dinyatakan: ”Dan bagi tiap-tiap umat telah Kami syariatkan penyembelihan (kurban) supaya mereka menyebut nama Allah terhadap binatang ternak yang telah direzekikan Allah kepada mereka, maka Tuhanmu ialah Tuhan Yang Maha Esa, karena itu berserah dirilah kamu kepada-Nya. Dan berilah kabar gembira kepada orang-orang yang tunduk patuh (kepada Allah).”
Bila kita menelusuri perjalanan kurban yang dilaksanakan oleh kedua anak Adam, Qabil dan Habil, di sanalah kita menemukan tradisi kurban bermula. Keduanya bersengketa tentang bakal calon istrinya. Sebagai penyelesaiannya, Adam menyuruh keduanya mengeluarkan kurban untuk Allah.
Kurban Qabil yang berupa hewan sangat tua ditolak-Nya, sedangkan kurban Habil berupa hasil-hasil tanaman yang baik diterima-Nya. Alquran merekam kisah perjalanan kurban mereka secara global pada Surat al-Ma’idah ayat 27: ”Ceriterakanlah kepada mereka kisah kedua putra Adam (Habil dan Qabil) menurut yang sebenarnya, ketika keduanya mempersembahkan kurban, maka diterima dari salah seorang dari mereka berdua (Habil) dan tidak diterima dari yang lain (Qabil). Ia berkata (Qabil): ”Aku pasti membunuhmu!” Berkata Habil: ”Sesungguhnya Allah hanya menerima (kurban) dari orang-orang yang bertakwa”.
Ritual kurban serupa dilaksanakan oleh Nabi Nuh beserta umatnya setelah bencana angin topan yang melanda umatnya yang durhaka reda. Mereka mengurbankan beberapa hewan yang langsung dibakar di tempat pengurbanan.
Ritual kurban juga dilaksanakan oleh Nabi Ibrahim yang sering dikait-kaitkan secara langsung dengan ritual kurban yang biasa dilaksanakan umat Islam sekarang. Satu riwayat mengatakan Ibrahim pernah berkurban 1.000 kambing, 300 sapi, dan 100 unta. Kebaikannya itu mengundang rasa kagum orang-orang di sekitarnya dan juga menurut kisah para malaikat yang berada di langit.
Menyikapi kekaguman mereka, Nabi Ibrahim berkata, ”Apa yang telah saya kurbankan sebanyak itu tidak berarti apa-apa bagiku. Demi Allah, seandainya saya punya anak, aku akan menyembelihnya untuk dipersembahkan kepada Allah.”
Allah menagih janji Ibrahim melalui mimpinya selama tiga malam berturut-turut untuk menyembelih putra tercintanya, Ismail. Melalui perenungan yang berkali-kali, akhirnya Ibrahim memutuskan melaksanakan perintah Allah yang akhirnya Ismail digantikan oleh Allah dengan seekor kambing dari surga. Secara berturut-turut Alquran Surat ash-Shaffat dari ayat 100 sampai 113 menuturkan perjalanan kisah pengorbanan Ismail tersebut.
Rentetan peristiwa penyembelihan Ismail dimulai dari bujukan Ibrahim terhadap putranya sampai pada detik-detik pelaksanaan penyembelihan yang akhirnya digantikan oleh seekor kambing, sebagiannya ditetapkan sebagai salah satu ritual dalam Islam. Lempar batu (jumrah) pada pelaksanaan haji, umpamanya, simbol pelemparan Ismail terhadap Iblis dengan batu yang terus membujuknya agar tidak menaati perintah bapaknya.
Hewan sembelihan (kurban) yang dilaksanakan oleh umat Islam yang sedang beribadah haji ataupun tidak juga simbol pengurbanan Ibrahim. Ucapan-ucapan suci (kalimah thayyibah) yang terus berkumandang tiga hari tasrik berturut-turut juga merupakan simbol tasbih, takbir, dan tahlil yang diucapkan Ibrahim, Ismail, dan Malaikat.
Ritual kurban yang dilaksanakan Ibrahim diikuti oleh keturunannya dengan praktik penyembelihan hewan-hewan kurban yang seterusnya dibakar. Tradisi mereka terus berlanjut sampai diutusnya Nabi Musa kepada mereka.
Dalam tradisi Musa dan kaumnya dikenal dua macam jenis kurban. Pertama, kurban berupa binatang yang diperuntukkan bagi Allah. Kedua, jenis kurban berupa hasil-hasil tanaman yang disimpangkan oleh sebagian pengikutnya untuk dipersembahkan kepada patung-patung.
Kurban jenis kedua ini nantinya dihapus habis oleh syariat Islam. Masih dalam tradisi umat Musa, jenis kurban yang pertama di atas dibagi pula menjadi tiga macam.
Dalam tradisi Yunani dikenal penaburan garam di atas pembakaran kurban sebagai simbol derma mereka. Dalam tradisi Romawi masih dipraktikkan penyembelihan hewan kurban bagi tuhan-tuhan mereka.
Orang-orang yang hadir dalam ritual pengorbanan Romawi tersebut dianjurkan mengambil daging sembelihan untuk dijadikan ‘tabarruk’ dari tuhan mereka. Selama upacara itu berlangsung, kahin-kahin memercikkan air madu dan air bunga kepada orang-orang yang hadir. Praktik semacam ini masih ditemukan pada upacara keagamaan sekarang di Romawi.
Dalam sejarahnya, ternyata tradisi kurban tidak hanya berupa hewan, tetapi juga sampai mengurbankan manusia. Praktik ini pernah menjadi tradisi di Faris, Rumania, dan Mesir Kuno. Bahkan, praktik anomali itu pernah berlangsung lama di daratan Eropa sampai dikeluarkannya UU Romanisa pada 657 M yang melarang tradisi itu.
Sebelumnya, raja Faris sering mempersembahkan kurban manusia untuk tuhannya dengan mempersembahkan seorang gadis. Sesembahan ini dihiasi sedemikian rupa untuk ditenggelamkan di tengah-tengah Sungai Nil yang dipercayainya sebagai sesembahan mereka. Tradisi pengorbanan Mesir akhirnya dihapuskan oleh Umar bin ‘Ash pada masa pemerintahan Umar bin Khattab.
Suruhan kurban dalam Islam secara nash bisa kita temukan secara eksplisit pada Alquran Surat al-Kautsar ayat 1-3: ”Sesungguhnya Kami telah memberikan kepadamu nikmat yang banyak. Maka dirikanlah shalat karena Tuhanmu dan berkurbanlah. Sesungguhnya orang-orang yang membenci kamu dialah yang terputus.”
Kata wanhar dalam ayat ini menurut ulama tafsir Ibnu Katsir adalah suruhan untuk melaksanakan ritual kurban. Kesimpulan ini seiring dengan pernyataan Nabi: ”Barangsiapa menyembelih kurban setelah Shalat Idul Adha, ia telah melaksanakan kurban”. (Lihat Tafsir Ibnu Katsir, juz IV, hal. 559).
Dari hasil studi komparatif kita terhadap praktik kurban pada umat terdahulu, kita bisa membuktikan umat Islam dengan berpijak pada Alquran dan Hadis adalah umat yang pertama kali melarang praktik kurban berupa manusia. Kurban yang dikeluarkan pun hanya sebatas pada binatang ternak, seperti unta, sapi, dan kambing.
Kurban dalam Islam dilaksanakan pada 10-11-12 Dzulhijjah dengan upacara religius tertentu yang tentu seiring dengan ajaran Islam sendiri. Daging sembelihan itu seterusnya tidak dibakar atau hanya konsumsi khusus bagi kahin-kahin tertentu seperti dalam tradisi umat terdahulu, tetapi dibagikan kepada orang-orang yang benar-benar sangat membutuhkan. Kurban dalam kebiasaan umat Muhammad tidak hanya berdimensi religius, tetapi juga berdimensi sosial.
Rosihon Anwar, Rektor UIN Sunan Gunung Djati Bandung.
Sumber, Republika 05 December 2008