Pengaturan Pengeras Suara di Tengah Masyarakat Plural

(UINSGD.AC.ID)-Dalam Islam, adzan merupakan cara menyeru Muslim untuk segera bergegas menunaikan shalat berjamaah. Tentu saja, hendaknya dilanjutkan pula dengan memakmurkan masjid melalui berbagai aktivitas produktif yang memberdayakan umat. Dengan begitu, masjid tidak sekedar menjadi tempat yang ramai saat waktu shalat saja, tapi menjadi tempat gerakan keagamaan, sosial, ekonomi, pendidikan dan pada akhirnya menjadi pusat peradaban. Tidak hanya ibadah mahdlah, tapi juga ghair mahdlah.


Toa atau merk apapun itu, merupakan alat untuk mengeraskan suara agar terdengar oleh jamaah di lingkungan. Hendaknya digunakan secara bijak, tidak saling mengganggu satu sama lain. Dalam praktiknya, kadang pengeras suara di masjid sebelah mengganggu kekhusyuan saat menjalankan ibadah shalat atau mendengarkan khutbah di masjid tetangganya. Suaranya seperti saling berlomba. Berlomba-lomba dalam kebaikan sangat dianjurkan. Namun suara yang kerap saling mengganggu, tentu saja sangat tidak menyenangkan. Dengan demikian, surat Edaran Menteri Agama Nomor 05 Tahun 2022 tentang Pedoman Penggunaan Pengeras Suara di Masjid dan Musola itu sangat relevan.


Berkaitan dengan menghangatnya diskusi tentang aturan toa di masjid dan musola, ada sisi lain yang luput dari pembahasan. Sesungguhnya kita sedang belajar untuk lebih menguatkan toleransi beragama. Di satu sisi, juga memastikan agar kualitas kehidupan beragama semakin baik lagi.


Membangun harmoni antar umat se-agama dan beragama karena itu lah sejatinya elan vital dalam sejarah bangsa Indonesia. Bangsa ini terbentuk, terikat dengan kuat dan terawat hingga kini sebagai sebuah negara karena semangat saling bertoleransi hingga pada tingkat yang paling asasi. Dideklarasikan dalam dasar negara dan pembukaan Undang Undang Dasar 1945. Hilangnya frasa menjalankan syariat Islam menjadi bukti kongkrit komitmen toleransi sejak negeri ini didirikan. Kini, umat Islam hanya diminta untuk mengatur suara toa, agar tak ada pihak yang seagama dan berbeda agama merasa terganggu. Bukankah esensi Islam adalah keselamatan dan kedamaian.


Memastikan kualitas kehidupan beragama semakin baik mengandung makna, keras atau pelannya suara adzan dari toa tidak berpengaruh, karena semua umat Islam selalu tergerak hatinya untuk berjamaah. Bahkan kini berkembang gerakan komunitas, berkunjung ke masjid-masjid sambil melakukan bakti sosial dan shalat berjamaah. Aktivisnya anak muda yang bertaubat dan haus ilmu agama. Menjadi penanda bahwa sudah banyak hati tergerak untuk segera memenuhi masjid dan musola di tempatnya masing-masing. Adzan dikumandangkan, berjamaah ditunaikan. Setelah itu, dibahas dan dilakukan berbagai program untuk pemberdayaan. Masjid tak pernah sepi, tidak pula digembok atau hanya dibuka saat waktu shalat tiba saja.


Esensi moderasi beragama adalah setiap pemeluk agama berhak mendapatkan kesejukan dan kedamaian. Karena itu, pengaturan pengeras suara tersebut sangat baik. Pengeras suara merupakan alat untuk menginformasikan. Jauh sebelum ada perangkat ini, dulu ada kentongan, bedug dan berbagai alat yang menginformasikan telah masuk waktu shalat. Kini dengan jam ada di tangan, tersedia pula di telepon genggam dan jam dinding di rumah masing-masing, hatilah yang harusnya tergerak begitu waktu shalat tiba, agar shalat di awal waktunya. Hatilah yang rindu segera mengunjungi masjid untuk shalat berjamaah.


Tentu saja konteks yang dimaksud oleh Menteri Agama dalam surat edaran tersebut adalah di lingkungan masyarakat yang plural, di mana di sana terdapat pemeluk agama yang beragam. Dalam konteks yang plural dan heterogen itu pula, Menteri Agama memisalkan kebisingan dengan suara gonggongan anjing. Pesan yang dipahami, bahwa yang dimisalkan adalah suara bisingnya, bukan anjing yang mengeluarkan kebisingan itu. Jadi, tidak sedang membandingkan suara adzan dengan suara gonggongan. Tetapi sedang memisalkan kebisingan. Buktinya, di wawancara yang sama, toh beliau tidak melarang penggunaan toa, termasuk untuk adzan.

Komunitas Plural
Islam merupakan agama yang menjadi rahmat bagi seluruh alam. Salah satu bentuk nyatanya adalah menghormati kaum minoritas. Bukan hanya menghormati, malah melindungi. Demikianlah teladan yang dicontohkan Nabi. Piagam Madinah salah satu isinya adalah penghormatan terhadap minoritas, termasuk hak mendapat ketenangan dan ketentraman dalam beragama.


Sedari awal, pendiri bangsa menyadari kemajemukan penduduk negeri. Dasar negara Pancasila diikat oleh sabuk Bhinneka Tunggal Ika. Kain kebangsaan dijaga agar tidak robek dan rapuh. Tugas dan amanah dari sejarah yang semangatnya hingga kini terpatri dalam sanubari. Walau bukan perkara mudah, karena banyak pula yang tak ingin negeri ini tentram dan jaya. Segala celah selalu dipergunakan untuk menyudutkan, dicari-cari kesalahan, saling beradu, membenci dan berhadapan.


Kini, bergandengan tangan itu terkesan susah, sementara berceraiberai seolah sangat mudah. Terlalu mahal risiko dari saling caci maki bahkan membenci. Jangan pernah lelah menjahit kain toleransi di bumi pertiwi. Ayo jaga agar tak ada yang menggunting atau merobeknya. Seluruh anak bangsa, satukan energi memajukan negeri. Bergandengan tangan memajukan Indonesia yang salah satunya dengan terus meningkatkan kualitas kehidupan beragama dan menguatkan toleransi. Wallaahu’alam

H. Mahmud, Rektor UIN Sunan Gunung Djati Bandung

WhatsApp
Facebook
Telegram
Print
Twitter

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *