YUK KENALI ULAMA KHARISMATIK PENCETUS KONSEP UNIVERSITAS ISLAM DI INDONESIA

(UINSGD.AC.ID)-Mewarisi darah keturunan dua ulama besar penyebar agama Islam di Pulau Jawa. KH Anwar Musaddad, ulama asal Garut, Jawa Barat, seolah ditakdirkan menjemput nasib menjadi pemimpin besar di jamannya. Dialah pencetus pertama terbentuknya Universitas Islam di Indonesia.

Pembawaan yang tegas namun penuh canda, laiknya guyonan khas masyarakat sunda, membuatnya gampang berinteraksi dengan siapa pun. Tak jarang, setiap pengajian dan dakwah yang disampaikan Abah Musaddad, demikian masyarakat Garut menyapa, selalu dipenuhi khalayak ramai.

Ummu Salamah, salah satu putri kesayangan KH Anwar Musaddad mengatakan, rintisan perjuangan sang ayah dalam meraih pendidikan tidaklah mudah.

“Bapak itu dari mulai SD,SMP hingga SMA justru sekolah di sekolah katolik,” ujarnya.

Mendapatkan pendidikan agama sebagai dasar, dari ustaz di kampung halaman, Jalan Ciledug, Kecamatan Garut Kota. Anwar Musaddad kecil justru mendapatkan pendidikan dasar dari pengetahuan umum, berawal dari HIS Christeljik (Setingkat SD), lembaga pendidikan milik katolik. “Tadinya mau masuk HIS Belanda tetapi tidak diterima,” ujarnya.

Namun tak patah arang, meskipun dengan didikan ketat khas Katolik, termasuk mengikuti kegiatan setiap minggu di Gereja, ia mampu menamatkan pendidikan dengan hasil sangat memuaskan. “Bapak itu dari kecil dikenal pintar dan cerdas,” ujarnya.

Kayuh berlanjut, Anwar kecil pun kemudian melanjutkan pendidikan ke sekolah MULO Christeljik (Setingkat SMP) di Sukabumi, sebuah pemandangan langka bagi seorang muslim, yang lagi-lagi harus bersekolah di lembaga pendidikan milik nasrani.

“Di sana bapak kembali menjadi siswa terbaiknya,” ujar Ummu bangga.

Selama di ‘Kota Rahasia’ merujuk pada salah satu julukan Jepang saat berkuasa di Indonesia, Anwar yang beranjak remaja, mulai mendapatkan bimbingan pelajaran agama secara rutin dari Ustaz Sachroni.

“Karena bapak berprestasi akhirnya mendapatkan beasiswa dan melanjutkan ke AMS Christeljik di Jakarta, milik Kristen juga,” ujar Dekan Fakultas Ilmu Komunikasi Universitas Garut tersebut.

Namun sayang karier pendidikan di Jakarta tidaklah mulus, dengan alasan kekhawatiran anaknya pindah keyakinan, karena seringnya bersinggungan dengan dunia gereja, pihak keluarga kemudian memutuskan membawa mudik Anwar ke kampung halaman di Garut.

“Tetapi sebenarnya banyak juga hikmahnya, salah satunya bapak menjadi jago bahasa Belanda dan Inggris yang justru keuntungan untuk melanjutkan pendidikan ke jenjang lebih tinggi,” paparnya.

Mondok di Makkah

Dede Masdiad, panggilan kecil Anwar Musaddad akhirnya melanjutkan pendidikan agama di pesantren Cipari, Wanaraja, langsung dibawah bimbingan KH Yusuf Tauziri, seorang ulama sekaligus pejuang kemerdekaan asal Garut.

“Beliau hanya dua tahun disana dan melanjutkan ke Jakarta untuk mempelajari ilmu agama di rumahnya Haji Oemar Said Tjokroaminoto,” kata Ummu.

Wataknya yang ulet dan pantang menyerah, mendorong Anwar remaja, yang saai itu masih berusia 21 tahun, mulai mengelana melanjutkan pendidikan di madrasah Al-Falah, Makkah, Arab Saudi.

“Beliau di sana sekitar 11 tahun lamanya,” katanya.

Selama di sana ia dengan tekun mempelajari seluruh multi disiplin ilmu agama dari berbagai ulama masyhur di jamannya, sehingga pengetahuan dan pemahanan agama yang dimiliki Anwar muda, semakin bertambah.

Namun bukan Anwar namanya jika tidak cerdik, memiliki kemampuan bahasa Belanda dan Inggris hasil didikan sekolah Katolik di tanah air, Anwar akhirnya lebih mudah mendapatkan ilmu agama.

“Karena selain belajar agama Islam, juga menjadi pengajar bahasa Inggris, jadi lebih mudah bertemu ulama terkemuka,” papar Ummu bangga.

Selama di sana ia mendapatkan gemblengan langsung para ulama besar Makkah di masanya, termasuk ulama dari Indonesia. Sebut saja Sayyid Alwi Al Maliki, Syeh Umar Hamdan, Sayyid Umar Kutubi, Syekh Janan Toyyib al Padangi yang berasal dari Padang, dan Syekh Abdul Muqoddasi yang berasal dari Solo.

“Akhirnya sekitar 1941 bapak kembali ke Indonesia atas permintaan ibu,” ujarnya.

Pola Dakwah yang Tidak Biasa

Setibanya di tanah air, Anwar muda langsung terjun di tengah masyarakat, membuka sejumlah pengajian di rumah orangtua. “Mereka bisa belajar tafsir, hadis, tasawuf dan faraid dan lainnya,” ujar Ummu.

Dengan segudang wawasan keagamaan, tak jarang pengajiannya selalu ramai dihadiri kiai, santri, ustaz dan warga lain untuk menimba ilmu. “Gaya bapak itu tidak menoton dan penuh humor, sehingga masyarakat senang,” ujarnya.

Ummu mengaku, di awal mula perjalanan dakwah Anwar, memang langsung mengundang decak kagum warga. “Selain humor, bapak selalu berdakwah membawakan gambar visualisasi hasil goresan tangannya dengan bantuan proyektor,” kata dia.

Dibantu Siti Atikah, sang istri yang selalu menemani Anwar berdakwah, keduanya nampak serasi menyampaikan materi. “Bapak yang nulis arabnya ibu yang bacakan, kemudian dijelaskan lagi oleh bapak,” ujarnya.

Dengan goresan gambar hasil olah tangan Anwar, plus bantuan proyektor untuk menyajikan, cara dakwah yang diberikan, langsung menjadi buah bibis warga. “Bayangkan tahun 1950-an, tapi dakwahnya sudah seperti itu, kan menarik,” kata dia.

Tak ayal dengan kemampuan komunikasi seperti itu, tawaran ceramah pun datang hingga ke luar negeri. “Saya sudah lupa negara mana saja yang pernah disinggahi dakwahnya bapak,” ujarnya.

Bahkan ada satu kejadian langka, saat didaulat menjadi pembimbing haji dua pemimpin dunia saat itu, Presiden Sukarno dan Presiden Mesir Gamal Abdul Nasser.

“Keduanya bahkan langsung meminta Bapak yang menjadi imam salatnya,” ujarnya.

Ummu mengakui meskipun dikenal tegas, namun soal kasih sayang tidak pernah berkurang. “Bapak itu kadang nyuapin ke 14 anaknya langsung dengan tangannya sendiri,” kata dia.

Pelopor Pendiri Universitas Islam Indonesia

Seiring bertambahnya aktifitas mengajar dan berdakwah, serta terus meningkatnya popularitas Anwar muda sebagai pendakwah, akhirnya sekitar 1951, KH Faqih Usman, Menteri Agama pertama saat itu, memintanya membantu pemerintah pusat di Jogjakarta.

“Selama di sana bapak difasilitasi rumah tinggal milik Prawiroyuono, salah satu kerabat Keraton Jogjakarta,” kata Ummu.

Suasana yang mendukung sebagai kota pelajar, ikut memancing hasrat Anwar membuat Gagasan. Ia kemudian mengajukan pendirian Perguruan Tinggi Agama Islam Negeri (PTAIN) terpisah dari perguruan tinggi lain.

“UIN pertama kan di Jogjakarta setelah itu baru menyebar ke seluruh Indonesia,” ujar dia.

Awalnya gagasan itu tidak berjalan mulus, namun dengan ide brilian dan pentingnya wadah khusus perguruan tinggi islam pencetak cendikiawan muslim, akhirnya masukan itu dikabulkan. “Saat pertama dibentuk bapak langsung ditunjuk menjadi dekan fakultas usuludin,” kata dia.

Kemampuannya sebagai ahli perbandingan agama, dinilai mampu memberikan sumbangsih dalam mencetak intelektual muda muslim tanah air.

“Ada kejadian lucu seorang pastor asal Jerman sengaja datang untuk berdebat soal agama dengan bapak, tapi dia kalah hingga akhirnya masuk islam,” ujar dia mengenang.

Namun pergolakan gerakan Partai Komunis Indonesia (PKI) saat itu, mulai merongrong keselamatan diri dan keluarga, hingga akhirnya memutuskan hijrah kembali ke Jawa Barat. “Bapak sempat dikabarkan sudah terbunuh, alhamdulillah ternyata tidak,” ujarnya.

Awalnya, ujar Ummu, permintaan itu ditolak Menteri Agama, namun akhirnya dikabulkan dengan syarat membuat PTAIN serupa di Jawa Barat. “Akhirnya ya membangun IAIN Sunan Gunung Jati itu,” ujarnya.

Bahkan dalam rencana pembangunan yang terbilang singkat tersebut, Anwar langsung didapuk menjadi orang nomor satu. “Pemerintah langsung menunjuk bapak menjadi rektornya,” ungkap Ummu..

Berjuang Melawan Belanda

Situasi keamanan dan politik yang tidak kondusif, mendesak Anwar ikut terjun langsung, bahu membahu mengangkat senjata dengan pejuang lainnya. “Waktu itu keluarga diboyong ke pesantren Cipari dan bergabung dengan Hizbulloh, ujar Ummu.

Dengan senjata seadanya, Anwar bersama pejuang lainnya kerap melakukan perlawanan dan merepotkan pertahanan Belanda di sekitar Wanaraja dan Pasir Jengkol. “Bersama KH Yusuf Tauziri, bapak pernah ditangkap Belanda,” ujarnya.

Namun kemampuan lobi yang didukung bahasa Belanda dan inggris yang fasih, akhirnya keduanya bersama pejuang lainnya kembali dibebaskan Belanda.

“Jadi sebenarnya menurut saya bapak sudah layak mendapatkan gelar pahlawan nasional, seluruh bukti ada,” kenang dia.

Ummu menambahkan, selain aktif di dunia pendidikan, peran lain yang tak kalah pentingnya yang dilakukan Anwar Musaddad adalah kiprahnya di organisasi kemasyaratan Nahdlatul Ulama (NU). Tak pekak jabatan Rois Aam PBNU pun pernah disandangnya pada 1980 silam.

Ia mengaku sudah beberapa kali diajukan menjadi salah satu Pahlawan Nasional dari Garut, namun takdir Tuhan belum berjodoh. “Saya juga tidak paham, padahal saat mensos Bu Khofifah sudah mau dibacakan (jadi Pahlawan Nasional),” ujarnya.

Menurutnya, dalam pengajuan itu, seluruh data dan dokumen pelengkap mengenai sosok dan kiprah Anwar Musaddad selama perjuangan kemerdekaan, telah rampung diberikan kepada pemerintah. “Nanti kita coba ajukan lagi lagi,” ujarnya.

Ia berharap dengan upaya tersebut, mampu memberikan motivasi dan kebanggan bagi masyarakat Garut. “Tentu yang bangga bukan hanya keluarga tetapi seluruh masyarakat Garut,” katanya.

Warisan Pendidikan di Garut

Lama berkarier di luar negeri, akhirnya pada 1975, Anwar Musaddad memutuskan untuk membuat lembaga pendidikan sendiri dengan kurikulum nyaris sama dengan beberapa Universitas Islam Negeri yang pernah digagasnya.

“Adanya lembaga pendidikan Musadaddiyah itu sebagai bentuk kecintaan bapak bagi masyarakat Garut,” kata dia.

Ketua Yayasan Al Musadaddiyah itu mengatakan, pembangunan lembaga pendidikan Musaddad memang tidak biasa, jika sebagian mayoritas diawali pembangunan pendidikan dari tingkat terbawah seperti PAUD, TK, SD hingga Perguruan Tinggi, namun yang dilakukan Anwar dengan Yayasan Musadaddiyah, justru sebaliknya.

“Kami Bangun dulu STAI Musadaddiyah baru SMA, SMK, Pesantren hingga paling bawah TK ada,” papar dia.

Bukan hanya itu, seluruh bangunan yang berdiri tegak di area seluas sekitar 4 hektare itu, seluruh konsep dan pengerjaanya dilakukan oleh seluruh putra-putri Anwar Musaddad. “Bapak ingin memberikan kesempatan kepada para putrinya,” ujarnya.

Menurutnya, komitmen Anwar Musaddad pada dunia pendidikan tidak terbantahkan. Upayanya membebaskan masyarakat dari belenggu kemiskinan, harus diawali dari perbaikan mutu pendidikan.

“Makanya buat kami Bapak adalah panutan, bagaimana gigihnya beliau dalam memajukan pendidikan di tanah air,” papar Ummu.

Bahkan dalam perkembangan selanjutnya, hampir seluruh keturunan Anwar Musaddad memiliki lembaga pendidikan sendiri, mulai dari pesantren hingga pendidikan umum.

“Karena dari awal bapak tidak pernah mengekang seluruh putranya dalam memilih pendidikan, silahkan pilih sesuai kemampuan,” ujarnya.

Sumber, Liputan6 14 Mei 2019, 22:40 WIB

WhatsApp
Facebook
Telegram
Print
Twitter

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *