‘Ngaji Budaya’, Menjaga Nilai Budaya dengan Memahaminya

Budaya kadangkala termarjinalkan dan bukan menjadi hal yang diprioritaskan. Ini bisa terjadi karena kita gagal paham atau mungkin kurang bisa memahami itu. Misalnya, masih ada sebagian dari masyarakat yang menganggap budaya sebagai suatu tradisi, kampungan dan lain-lain. “Padahal kita hanya belum paham dan mengerti saja maknanya,” ujar seniman Budi Dalton.

Pendapat ini mengemuka pada acara “NGAJI BUDAYA” – Senja Budaya di Bumi Nusantara, Senin (11/11). Diskusi ini menjadi bagian dari VORS PART II (Voice of Religious Studies) yaitu rangkaian kegiatan terakhir dari beberapa acara yang dilaksanakan untuk memperingati Milad ke-51 jurusan Studi Agama-Agama UIN Sunan Gunung Djati, Bandung. Tahun ini, mereka memilih tema “Humanity for Harmony”.
Menurut Dalton, budaya sama dengan ilmu pengetahuan, ada metodologi-metodologi yang harus dipahami sebelumnya. Misalnya dalam budaya Sunda, ada istilah Panca Curiga yang berarti lima titian ilmu; Sindir, Silib Siloka, Simbol, Sasmita, Sunyata. “Metodologi ini digunakan untuk membantu mengartikan dan memaknai sesuatu sehingga mudah untuk dimengerti,” ujarnya.

Panca Curiga ini, kata dia, biasa didampingi oleh Panca Niti. Yaitu lima titian laku berupa Niti Harti, Niti Surti, Niti Bukti, Niti Bakti, dan Niti Sajati.

Dalton mencontohkan, penggunaan bahasa sebagai cara berbudaya. Menurut dia, bahasa yang disampaikan atau dikatakan oleh satu orang akan memiliki arti dan pemahaman yang berbeda dengan orang lain, karena setiap orang punya pengetahuan dan pemahaman sendiri-sendiri. Dengan begitu sikap toleransi dalam berbudaya juga harus tetap dijunjung. “Beberapa kejadian di Indonesia saat ini menunjukkan bahwa mereka telah kehilangan Bahasa dalam berbudaya sehingga muncul perselisihan pertengkaran dan lain-lainnya,” katanya.

Dalton tidak menampik jika budaya Nusantara mulai terkikis seiring perkembangan jaman. Beberapa malah mengalami pendangkalan makna. Ini karena budaya leluhur yang punya filosofi dan makna mendalam sudah mulai banyak ditinggalkan karena minimnya orang-orang yang mau dan ingin melestarikan.
“Masih banyak yang berpikir kalau budaya leluhur itu sesuatu yang primitif, padahal sebenarnya teknologi itu sudah ada dari jaman dulu hanya saja bentuk dan istilahnya yang berbeda dengan saat ini,” katanya.

Contoh lain, tambah Dalton, yaitu Sajen (sesajen), Jampe dan Pineja yang merupakan bagian dari budaya leluhur. Banyak dari masyarakat menganggap kalau ini adalah ilmu hitam, ilmu yang tidak baik dan pandangan orang negatif.
“Padahal sebenarnya budaya itu tergantung bagaimana cara kita menggunakan dan memanfaatkan. Kalau untuk sesuatu hal yang positif dan baik ya itu adalah budaya,” katanya.

Selain diskusi, kegiatan diisi dengan pengumuman pemenang beberapa perlombaan yang sebelumnya sudah dilaksanakan. Kemudian dilanjutkan dengan penampilan seperti tari tradisional, dan musikalisasi puisi. Lalu “Ngaji Budaya” menjadi acara penutup. (Inf/Ninis)

Sumber, Kumparan 13 November 2019 13:48

WhatsApp
Facebook
Telegram
Print
Twitter

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *