Isra Miraj sebagai ritus yang selalu diperingati umat Islam setiap tahun interaksi simboliknya bukan hanya sebagai pragmen religi kenangan tentang peristiwa kenabian masa silam, namun memiliki tautan maknanya dengan penghayatan keagamaan kita hari ini.
Relevansinya justru terletak ketika sejarah pengalaman keberagamaan sekarang jauh panggang dari api dengan nilai-nilai universal dan pesan substansial yang di gemakan sang Nabi. Isra Miraj menjadi semacam interupsi dari sikap “anomali” kita, dari perilaku keseharian yang semakin jauh dari khittah agama yang otentik.
Tentu saja khittah agama itu menanamkan keinsafan tentang fitrah kemanusiaan untuk berserah diri secara total hanya kepada Tuhan (transendensi) dan terlibat aktif membangun bumi manusia yang santun berkeadaban (humanisasi).
Hikayat kelahiran agama selalu dimulai ketika masyarakat sudah jatuh dalam kutub ekstrem pendewaan terhadap benda dan kuasa. Agama (dengan para nabinya), lantang melakukan kritik sekaligus menawarkan hidup yang berjangkar pada haluan moralitas agar kehidupan menemukan marwahnya.
Demikian kisah itu kita dapatkan dari Ibrahim, Musa, Isa, dan penggalan metaforis miraj Muhammad saw. Dengan sangat heroik para Nabi itu bukan hanya menentang kekuasaan absolut namun juga mengkritisi watak masyarakat yang memuja kemegahan. Kritiknya menjadi sangat efektif karena seruannya itu diacukan kepada keteladanan, kepada satunya perbuatan dengan perkataan.
Punahnya daya kritis
Mendiskusikan khittah agama hari ini justru menjadi penting ketika agama sudah kehilangan daya kritisnya, sudah semakin terpinggirkan dari kancah dinamika nafas kemanusiaan. Andaipun agama hadir yang acapkali tampil ke permukaan adalah agama yang sudah “dibajak” oleh kepentingan golongan (ormas), agama yang sudah tersandera oleh penafsiran yang serba tertutup, ekslusif dan senantiasa melihat ke luar yang berbeda keyakinan dan penafsirannya sebagai musuh yang harus diwaspadai, sebagai “mereka” yang musti dicurigai.
Nyaris yang muncul bukan suara agama seperti digemakan sang Nabi, tapi lebih didominasi suara-suara yang sesungguhnya sama sekali tidak ada kaitannya dengan otentisitas agama kecuali hanya sekadar hasrat untuk meneguhkan keunggulan kelompok, organisasi dan laskarnya. Agama yang sudah direduksi.
Hari ini, saya melihat, agama tiba-tiba serupa dengan partai politik. Yang dikedepankan adalah perburuan memperbanyak jamaah, kegaduhan menyerang yang dianggap salah seperti perusakan rumah ibadah yang sering terjadi akhir-akhir ini. Tak ubahnya parpol yang dibangun adalah wajah-wajah militan, laskar berani mati, dan kecakapan mengorganisasikan diri.
Semakin militan, semakin dianggap religius, semakin berani “menyerang” ke luar kian dinobatkan sebagai pewaris para Nabi.
Tafsir yang direproduksi adalah wajah Tuhan yang maskulin, mencuatlah misalnya pemaknaan jihad yang serampangan, mengartikulasikan syariat secara dangkal. Padahal dalam penelitian Sachihiko Murata dalam The Tao of Islam, citra Tuhan yang feminim (maha pengasih, penyayang, pengampun) secara nominal jauh lebih banyak dari pada sisi atribut Tuhan yang maskulin.
Jangan-jangan sikap agresif seperti ini sebagai cermin ketidakpercayaan para pemeluk agama itu terhadap fungsi dan peran agama dalam maknanya yang benar. “Ketidakpercayaan” kemudian dipantulkan dalam bentuk peneguhan agama dalam peran-peran yang tidak sesuai dengan etik profetis agama dalam memperjuangkannya.
Persoalan internal sikap, tafsir dan tindakan beragama belum terselesaikan di ranah bumi nusantara yang plural tiba-tiba di sisi lain kita dihadapkan kepada fenomena globalisasi yang telah menjadi bagian dari budaya dunia (world culture) yang mengusung “budaya pop”. Salah satu tawarannya yang tidak kalah membahayakan dibanding dengan fundamentalisme fanatik dan bahaya laten komunisme adalah “agama pasar”.
Pesona agama pasar
Tentu agama pasar yang menjadi poros kepercayaannya bukan lagi monotheisme dan kepasrahan kepada Sang Kuasa, tapi dengan sempurna berkiblat kepada daulat uang, “moneytheisme”. Tema risalahnya tidak lagi alur cerita seputar fitrah, ibadah, itikaf, kesederhanaan, dan akhirat tapi hal ihwal yang berhubungan dengan bagaimana kita bisa menyalurkan hasrat kebendaan, ketamakan, politik pragmatisme, dan gemuruh kebudayaan yang berujung pada hedonisme.
Dalam agama pasar yang dibincangkan bukan lagi kharisma Tuhan apalagi kehadiran-Nya (presence) yang “mengawasi” kita, tapi tubuh dengan segenap aksesorisnya. Tempat ibadahnya tentu tidak lagi di masjid, vihara dan gereja tapi di mall, supermarket, hypermarket dan swalayan.
Uang dipuja, kemegahan ditadaruskan dan manusiapun kemudian menjadi homo consumers. Manusia tidak lagi memburu kesejatiannya dengan cara “mengada” melainkan, meminjam tafsir Fromm, obsesi tidak pernah henti untuk memiliki benda dan kuasa dengan agresif, penuh kedengkian, dan keserakahan. Manusia yang tidak pernah puas, terus mengakumulasi benda walaupun harus dengan cara korupsi dan menghalalkan segala cara.
Membeli bukan lagi karena nilai guna memenuhi kebutuhan namun karena keinginan, walaupun tidak faham untuk apa dibeli. Urusannya tidak lagi untuk belanja tapi identifikasi dirinya yang selalu berfantasi tentang simbol kekayaan. Merasa terpuaskan kalau “orang lain” berdecak kagum tentang asesoris yang dipakainya, seandainya orang lain menganggapnya berani berjihad ketika telah merusak tempat ibadah dan sekian tempat yang dianggap sarang maksiat.
Jangan mendiskusikan ihwal keutamaan akal (Descartes), keheningan roh (Hegel), Ada transendental (Haidegger), kematangan iman (Kierkegaard), kedalaman cinta kasih (Levinas), kebersamaan (Gabriel Marcel), kehendak menuju kuasa etis (Nietzsche), kesunyataan (Ibnu Arabi) dan kemenyatuaan dengan Sang Kuasa (Syekh Siti Jennar), sebab dalam konteks fenomena “agama pasar” yang menjadi tema bahtsul masa’il (kajian masalah) adalah benda, target politik dan kebencian kepada iman yang tidak sama.
Alhasil, di tengah fenomena keberagamaan kita yang sedang dikepung pemahaman fanatik, tertutup dan ekslusif ditambah kolonialisasi kultural dan tirani kognitif yang mengusung agama pasar, maka merenungkan pesan-pesan ruhaniah miraj menjadi amat penting untuk disimak.
Miraj sejatinya menginjeksikan kepada kita ihwal kesadaran bahwa menaikkan kualitas ruhani jalannya tidak lain dengan membangun harmoni dengan sesama. Inilah khittah agama. Ini pula pembuktian kebenaran miraj seperti tercermin dalam sabdanya, “Mereka yang mengharap kasih dari langit, harus menebar damai di bumi”
Sumber, Kompas 16 Juni 2012