Pandemi wabah ini bukan hanya saat ini terjadi di dunia ini. Bila kita membuka lagi berbagai sumber sejarah akan diketahui sejumlah wabah yang pernah terjadi di dunia ini. Dari mulai zaman Rasulullah, abad petengahan, abad modern hingga sekarang bisa dilihat dalam lembaran-lembaran arsip sejarah.
Dalam setiap episode kehidupan tersebut, tercatat dalam sejarah sejumlah dinamika berupa respon dari setiap orang atau kelompok masyarakat terhadap wabah yang sudah endemi maupun pandemi. Kekuatan nalar, spiritual, dan magis mengiringi dinamika tersebut. Bisa parsial ataupun beriringan ketiga kekuatan ini mewarnai dinamika masyarakat dalam merespon setiap wabah. Tiga kekuatan ini, senada dengan apa yang dijelaskan oleh Prof. Oman Fathurahman, dalam sebuag sesi Webinar yang dilaksanakan oleh Bappenas.
Prof. Oman menyebutkan ada tiga pendekatan untuk memahami wabah. Pertama, pendekatan medis. Kedua, pendekatan teologis. Ketiga pendekatan magis atau kearfian lokal.
Pendekatan medis memahami wabah dari kacamata medis atau kesehatan. Setiap wabah yang terjadi disebabkan oleh masalah medis yang terjadi pada satu orang individu yang sifatnya bisa menyebar melalui kontak. Solusinya pun bisa dilakukan dengan pendekatan medis pula, seperti minum obat, vitamin, dan lain-lain. Kedua, pendekatan teologis. Pendekatan ini menjelaskan bahwa setiap wabah yang terjadi pada satu individu ataupun kelompok masyarakat disebabkan oleh terlepasnya sesorang dengan aturan main yang sudah dituliskan dalam ajaran agama.
Dalam hal ini, manusia yang melakukan kedzaliman menjadi sebab utama terjadinya wabah. Umat beragama yang tidak pandai bersyukur pun bisa menjadi sebab musabab datang nya wabah pada sekelompok orang atau masyarakat. Oleh karena itu, solusinya pun sangat bergantung sejauhmana ada ketaatan dari setiap orang terhadap ajaran yang tertulis dalam kitab suci. Selalu bersyukur terhadap berbagai nikmat yang diberikan oleh sang pencipta, menjadi faktor agar terhindar dari segala musibah. Ketiga, adalah pendekatan magis atau kearifan lokal.
Dalam acara “ngabuburit’ yang digelar oleh PPSI, dengan tema “Wabah dan Kearifan Lokal” dibincangkan sejauhmana keberadaan kearifan lokal dalam mengahadapi berbagai wabah. Menarik apa yang dijelaskan oleh para pembicara berdasarkan pengetahuan yang dimilikinya di setiap daerah.
Dr. Ida Liana Tanjung mengatakan ‘bahwa wabah yang sudah menjadi pandemi bisa diberikan solusinya melalui potensi kearifan lokal yang dimiliki oleh sebuah daerah. Menurutnya, pandemi bisa menjadi memori kolektif yang ada di pikiran masyarakat. Pandemi bukan hal yang baru bagi masyarakat. Bila dilihat dari berbagai sumber sejarah, kelompok etnis di Indonesia memiliki memori kolektif pandemi. Menurutnya, kearifan lokal merupakan memori kolektif dalam mengahadapi pandemi. Keraifan lokal bisa berupa nilai, norma, gagasana yang berimplikasi pada teknologi, penanganan kesehatan dan estetika. Salah satu bentuk dari kearifan lokal yang bisa dijadikan solusi untuk menangani wabah ini adalah ritual dan ramuan tradisional. Orang-orang Melayu saat ini mempunyai kebiasaan mengusir wabah dengan melakukan ritual mengelilingi kampung dan membacakan ayat ayat suci Al Qur’an.’
Selain ritual, ‘ramuan tradisional pun seperti jamu yang terbuat dari jahe, temulawak dan sereh menjadi andalan orang jawab dalam mencegah terjangkitnya wabah. Sirih dan jeruk purut menjadi ramuan tradisional Melayu dan Batak d Sumatera. Yang menarik dari gagasan Doktor Ida ini, adalah mengapa masyarakat masih mempercayai bentuk kearifan lokal tersebut. Dijelaskannya bahwa dua bentuk kearifan lokal tersebut sudah menjadi memori kolektif yang diwariskan secara turun temurun. Sementara berbagai upaya pemerintah yang diterapkan saat ini dalam menangani Corona seakan diabaikan oleh masyarakat disebabkan belum menjadi memori kolektif bagi masyarkatnya.’
Senada dengan Doktor Ida, Basrin Malemba menjelaskan bahwa ‘dinamika wabah pada tingkat lokal memiliki keunikan setiap masyarakat dalam mengahadapi dan merespon wabah tersebut. Pendekatan etnobotani dengan menggunakan racikan dari daun atau tumbuhan lebih dipercayai oleh masyarakat untuk mengobati berbagai penyakit, termasuk wabah. Hal ini pernah terjadi di masyarakat Tolaki Sulawesi Tenggara.’
Dari paparan di atas, tampak bahwa keberadaan kearifan lokal sangat penting keberadaannya di masyarakat. Bahkan pada konteks saat ini, yang nota bene dalam kondisi modern, masyarakat masih mempercayainya bahkan mengabaikan titah-titah tenaga medis maupun pemerintah. Oleh karena itu, sudah selayaknya pemerintah berupaya untuk membuat kebijakan bahwa pelestarian kearifan lokal yang dimiliki oleh setiap etnis bangsa ini memang penting dilakukan. Apalagi bila kearifan lokal tesebut sudah menjadi memori kolektif di masyarakat tersebut. Tantangannya adalah akan terjadi tabrakan dengan sikap masyarakat yang sudah terpengaruh oleh nalar modern.
Menurut saya, perlu dilakukan kolaborasi dua kekayaan yang dimiliki oleh bangsa ini. Seperti halnya dilakukan kajian lebih lanjut, tentang berbagai kekayaan kearifan lokal yang dikolaborasikan dengan pengetahuan modern. Penelitian etnobotani merupakan upaya real yang harus dilakukan oleh para peneliti yang berbeda disipilin keilmuan. Kolaborasi disiplin keilmuan botani, sosiologis dan antropologi bisa dilakukan. Selain itu, rekomendasi dari Basrin penting juga diwujudkan. Perubahan kurikulum dalam lembaga pendidikan dengan memasukan materi ajar/kuliah keraifan lokal merupakan usulan yang perlu diperhitungkan. Pengetahuan kearifan lokal seharusnya dimiliki oleh setiap anak didik sebagai upaya pelestarian dan solusi terhadap berbagai bentuk persoalan. Dalam setiap kearifan lokal terdapat berbagai pesan yang bisa dijadikan pemaknaan dalam setiap realitas yang terjadi pada konteks kekinian. Dari kekayaan kearifan lokal ini, bisa dijadikan bahan penawar bagi sejumlah persoalan yang terjadi, salah satunya wabah penyakit yang sekarang sedang melanda berbagai negara. Wallahualam.
Dr. H. Setia Gumilar, M.Si, Dekan Fakultas Adab dan Humaniora (FAH) UIN Sunan Gunung Djati Bandung.