Hari Santri dan Kepemimpinan Profetik

(UINSGD.AC.ID) — Ada yang berbeda dengan peringatan Hari Santri Nasional (HSN) tanggal 22 Oktober tahun ini. Pada tahun yang sama, bahkan di bulan yang sama, terdapat jadwal pendaftaran calon presiden dan calon wakil presiden Republik Indonesia periode 2024-2029. Inilah yang membuat HSN tahun ini sering dikaitkan dengan momentum politik tersebut.

Tentu saja wajar-wajar saja jika ada yang mengaitkan HSN dengan kepemimpinan nasional tersebut. Di tengah sejutan asa lahirnya pemimpin yang benar-benar memikirkan kepentingan bangsa dan rakyat, ada harapan pemimpin yang akan dipilih nanti adalah orang yang memiliki karakter santri, yaitu pemimpin yang teguh dengan nilai-nilai profetik, pemimpin yang menjadikan agama sebagai sumber nilai, dan pemimpin yang menjadikan jabatan sebagai wasilah memperoleh rekognisi agama, yaitu keridaan Tuhan.

Menarik apa yang disampaikan Menteri Agama, Gus Yaqut, ketika meresmikan logo HSN 2023 beberapa hari yang lalu. Beliau menegaskan, agama sejatinya dijadikan sebagai rujukan dan tujuan politik, bukan agama yang diperalat untuk tujuan politik. Memang merupakan dua hal yang berbeda. Jika agama dijadikan sebagai rujukan dan tujuan politik, maka tidak akan ada upaya untuk menjadikan agama sebagai justifikasi tujuan-tujuan politik.

Dalam konstruksi ajaran agama, dalam Islam umpamanya, pemimpin merupakan alat dan instrumen untuk tujuan agama. Munculnya ajaran kepemimpinan seiring dengan tujuan agama itu sendiri untuk menghadirkan kemaslahatan bagi sebanyak-banyaknya orang. Dan tujuan itu tidak dapat terwujud tanpa hadirnya seorang pemimpin yang mengorganisasi segalanya. Itu sebabnya, kata “khalifah” yang disebut dalam Alquran sering dimaknai sebagai wakil Tuhan, dalam arti perpanjangan untuk mewujudkan nilai-nilai dan ajaran-ajaran Tuhan di bumi.

Di sinilah kita menemukan semangat kepemimpinan profetik, yakni kepemimpinan yang diinspirasi oleh nilai-nilai kenabian, kepemimpinan yang mencontoh kepemimpinan Nabi, kepemimpinan yang bertujuan menghadirkan nilai-nilai ketuhanan di muka bumi, dan kepemimpinan yang bertujuan meraih rida Tuhan.

Maka, sangat tepat jika HSN tahun 2023 ini dijadikan momentum untuk menghadirkan kepemimpinan profetik. Momentum ini lebih tepat lagi jika melihat tema yang diusung, yaitu “Jihad Santri Jayakan Negeri”. Tema ini tentu saja menyasar santri dalam arti yang lebih luas. Santri, sebagaimana ditegaskan oleh Menteri Agama dalam acara peluncuran Logo HSN, bukan saja menunjuk person yang ada di pesantren, tetapi lebih luas lagi merujuk person yang memiliki jiwa santri. Dialah yang merujuk nasehat-nasehat kyai dan ulama. Jadi, santri lebih kepada perilaku nilai kesantrian, bukan saja person jasadi seseorang.

Seorang santri memang mendapatkan amanat dari kyai atau pengajar di pesantren untuk menjadi orang yang memberikan manfaat kepada sebanyak-banyaknya orang. Dia harus bermanfaat bagi siapapun, termasuk bagi negara.

Tidak harus melalui politik. Jihad santri untuk jayakan negeri dapat disalurkan melalui berbagai pintu. Gus Yaqut, pada acara peluncuran tersebut, menyebutkan secara lugas peran-peran jihad santri, termasuk di dalamnya jihad intelektual. Sejarah intelektual keagamaan di Indonesia sebenarnya memang tidak dapat dilepaskan dari peran santri. Lahirnya karya-karya intelektual di Indonesia lahir di antaranya dari buah intelektual kaum santri.

Pemilihan terma “jihad” dalam tema HSN tahun ini sangatlah tepat. Terma itu menggambarkan sebuah usaha sungguh-sungguh. Ini terkait kualitas pekerjaan jihad. Bukan itu saja, terma itu menggambarkan sebuah usaha yang sarat nilai ketuhanan. Kalau kita menelaah terma-terma “jihad” dalam Alquran, pasti selalu dalam konteks perjuangan mendapatkan rida Allah, perjuangan untuk membumikan ajaran-ajaran Tuhan. Jadi, jihad bukan hanya sekedar ikhtiar dan usaha keras, tetapi juga ikhtiar yang tujuan akhirnya adalah keridaan Allah.

Terlebih jika jihad yang dipilih santri adalah jihad politik. Maka, sejatinya nilai kesungguhan dan nilai ketuhan hadir dalam setiap perilaku politik, mulai dari niat, praktek, sampai tujuan. Ada satu kaidah yang sangat penting dalam konteks ini. Kaidah itu berbunyi: Tasharruful- imam alar-raiyah manuthun bil-mashlahah (kebijakan seseorang pemimpin terhadap rakyat harus sejalan dengan tujuan (agama itu sendiri, yaitu) memberikan kemaslahatan-kemaslahatan.”

Mengakhiri tulisan, marilah kita simak pidato kenegaraan Abu Bakar ketika dilantik sebagai khalifah:

“Wahai saudara-saudaraku, aku telah diangkat untuk mengendalikan urusanmu, padahal aku bukanlah orang yang terbaik di antaramu. Maka, jika aku dapat menunaikan tugas dengan baik, bantulah (ikutlah) aku, tetapi jika aku berlaku salah, maka luruskanlah!

Orang yang kamu anggap kuat, maka aku pandang lemah sampai aku dapat mengambil hak dari padanya. Sedangkan orang yang kamu lihat lemah, maka aku pandang kuat sampai aku dapat mengembalikan haknya kepadanya.

Maka hendakklah kamu taat kepadaku selama aku taat kepada Allah dan Rasul-Nya, tetapi bila mana aku tiada mematuhi Allah dan Rasul-Nya, kamu tidak perlu mematuhiku. Berdirilah (untuk) shalat, semoga rahmat Allah meliputi kamu.”

Jayalah santri, mari berjihad jayakan negeri. Selamat HSN 2023.

Prof. Dr. H. Rosihon Anwar, M.Ag., Rektor UIN Sunan Gunung Djati Bandung.

WhatsApp
Facebook
Telegram
Print
Twitter

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *