HAJI SEBAGAI PERJALANAN IMPIAN

(UINSGD.AC.ID)-Eric Tagliacozzo, dalam bukunya The Longest Journey: Southeast Asians and the Pilgrimage to Mecca, (Oxford University Press: 2013), menggambarkan ibadah haji sebagai the longest journey, perjalanan terjauh atau terlama. Sebuah deskripsi yang menggambarkan betapa para jemaah haji harus menempuh perjalan paling jauh dari pusat agama Islam di kawasan Shibhul Jazirah.

Bagi sebagian Muslim Nusantara, pergi jauh untuk melaksanakan ibadah haji adalah perjalanan untuk mengais pahala dan berkah di Kota Suci Mekkah dan Madinah. Berbalut keberkahan, hidup dalam shibgoh dan itegritas kesholehan adalah harapan. Bahkan bila kematian menjemputnya di dua kota suci itu, adalah sebuah akhir perjalanan yang dirindukan. Dus, perjalanan haji adalah “perjalanan impian.”

Sebagai perjalanan impian, Ibadah haji merupakan rukun, ritual, sekaligus tradisi penting yang memuat nilai-nilai sakral sekaligus eksistensial. Ali Syaria’ti, dalam Hajj-The Pilgrimage menggambarkan esensi ritual haji sebagai evolusi eksistensial manusia menuju Allah. Haji, menurutnya, adalah drama simbolik dari filsafat penciptaan anak-cucu Adam. Dalam ibadah haji terdapat pertunjukan tentang banyak hal, mulai dari proses penciptaan, pertunjukan sejarah, pertunjukan kesatuan, pertunjukan ideologi Islam, dan pertunjukan umat.

Menafsir apa yang dimaksud Syari’ati, bahwa esensi ibadah haji sesungguhnya merupakan pemaknaan ulang para peziarah atau pelakunya atas drama simbolik yang mengawali tradisi haji. Dalam drama simbolik tersebut, tema yang diproyeksikan adalah movement dengan karakter pelaku: Adam, Ibrahim, Hajar, Ismail dan Iblis.
Lokasi-lokasi pertunjukannyanya dilakukan di tempat suci: Mesjid Haram, Mas’a, Arafah, Masy’ar dan Mina. Simbol-simbolnya adalah Ka’bah, Shafa dan Marwa, siang dan malam, terbit dan tenggelamnya matahari, berhala-berhala, dan pengorbanan. Pakaian dan ornamennya adalah Ihram, Halq dan Taqshir.

Lalu siapa aktornya? Bagi Syari’ati, aktornya hanya satu, yaitu pelaku haji itu sendiri. Dan setiap muslim yang melakukan perjalanan haji akan memainkan semua peran dalam drama simbolik tersebut. Seseorang bisa berperan sebagai Adam, Ibrahim, Ismail dan ataupun Hajar. Karena itu, setiap orang yang melakukan ibadah haji akan menjadi tokoh utama dalam drama simbolik tersebut.

Dalam perjalanan haji, setiap orang sama. Tidak ada perbedaan dan kekhususan berdasarkan latar belakang kedaerahan, ras atau suku bangsa, status sosial dan ekonomi, profesi duniawi, dan lainnya. Setiap peziarah di tanah suci akan mendapatkan kewajiban pelaksanaan ibadah yang sama. Hal itu menjdi penanda yang menunjukkan kesatuan mereka sebagai umat Islam.

Sebagai perjalanan eksistensial, ibadah haji tentu sangat esensial bagi umat Islam, sebagai mansuia ia seringkali terjebak dalam rutinitas keseharian yang membuatnya hilang arah. Tujuannya hanya bertahan hidup. Manusia sudah lama menjadi makhluk tak bernyawa dalam raga yang bergerak. Namun, jika seseorang mau terlibat dalam perjalanan suci, seperti haji, maka ia akan mendapatkan pengalaman yang akan mengubah hidupnya.

Terlepas dari pemaknaan apapun yang diberikan para ulama terkait haji, orang yang melakukan ibadah haji pada akhirnya harus terlibat dalam kesadaran tentang drama kosmik eksistensial yang bisa menggugah kesadaran dan akhirnya mengubah sikap dan perilaku menjadi lebih baik dari sebelumnya. Kehidupan dunia dipenuhi dengan tipu daya, dan perjalanan suci haji adalah cara untuk kembali pada kesejatian diri sebagai manusia. Karena membibing manusia kembali kepada kesejatian, Ibadah haji adalah perjalan impian.

Dr. H. Aang Ridwan MAg, Dosen Fakultas Dakwah dan Komunikasi (FDK) UIN Sunan Gunung Djati Bandung.

Sumber, Pikiran Rakyat 14 Maret 2023.

WhatsApp
Facebook
Telegram
Print
Twitter

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *