Dan Rasul pun Marah

(UINSGD.AC.ID) — Dalam sebuah kesempatan menunggu jadwal keberangkatan kereta cepat dari Madinah menuju Mekkah. Seorang jemaah haji bertanya, “apakah Rasulullah Saw pernah marah?”.

Bila melihat petunjuk Qs. Ali Imran: 134, disebutkan diantara indikasi orang yang bertaqwa adalah mereka yang pandai menahan amarah.

Rasul menegaskan, “amarah itu datangnya dari setan” (HR. Abu Daud, no. 4784). Disisi lain, dari Abu Ad-Darda’ ra, ia berkata, “Wahai Rasulullah tunjukanlah kepadaku amalan yang dapat memasukkan kami ke dalam surga.” Rasulullah bersabda, “janganlah marah, maka surga untukmu” (HR. Thabrani).

Namun dalam beberapa kasus tertentu Rasul justeru mengekpresikan kemarahannya. Suatu ketika, seorang lelaki menghadap Rasulullah Saw sembari berkata,“Sesungguhnya aku memperlambat shalat Shubuh disebabkan Si Fulan (imam shalat) selalu memanjangkan shalat dengan kami.” Maka tidaklah aku melihat Nabi Saw marah dalam memberikan nasihat melebihi kemarahan beliau pada hari itu.

Lalu beliau bersabda, “Wahai manusia, sesungguhnya di antara kamu itu ada orang-orang yang membuat manusia lari (dari agama)!  Siapa saja di antara kamu yang mengimami orang banyak, hendaklah dia meringkaskan. [Sholat tidak panjang]. Karena sesungguhnya di belakangnya [yang menjadi makmum], ada orang yang sudah tua, orang yang lemah, dan orang yang memiliki keperluan.” (HR Muslim no. 466).

Dalam petunjuk hadits ini, Rasul marah kepada sahabat ketika mempraktikkan sholat sebagai ibadah utama menjadi ibadah yang memberatkan, hingga umat kehilangan rasa hormat kepada sholat. Kemudian meninggalkan salat berjamaah di masjid atau bahkan meninggalkan sholat sama sekali. Ketika  kepentingan kesholehan individual mengalahkan kepentingan kesholehan sosial dan ketika ajaran  Islam yang ringan menjadi berat karena ego para pembawanya, maka Rasulallah marah.

Dijelaskan pula dalam hadits yang diriwayatkan Imam Bukhari No. 6788 dan Muslim No. 1688. Ada seorang wanita terhormat dari Bani Makhzumiyyah, klan terkemuka di suku Quraisy. Perempuan itu tertangkap tangan mencuri dan dilaporkan pada Rasulullah. Hal ini menjadi preseden buruk bagi Bani Makhzumiyah. Bila perempuan itu dihukum potong tangan oleh Rasulullah. Maka wibawa klan terhormat di suku Quraisy itu akan jatuh.

Para tokoh Bani Makhzumiyaah mengatur siasat untuk melobby dan negosiasi dengan Rasulullah. Maka diutuslah Usamah bin Zaid, sahabat yang dicintai oleh Nabi untuk menjdi negosiator. Ketika Usamah menyampaikan hajatnya, agar perempuan itu tidak dijatuhi hukum potong tangan. Rasulullah marah kepada Usamah sembari berkata, “Apakah Engkau akan memberi syafa’at kepada orang yang melanggar hukum Allah?’.

Rasulullah Saw pun berdiri dan berkhutbah, ‘Wahai manusia, sesungguhnya yang membinasakan orang-orang sebelum kalian adalah jika orang yang mulia dan memiliki kedudukan mencuri, maka mereka tidak dihukum. Namun jika yang mencuri orang lemah, rakyat biasa, maka mereka dihukum. Demi Allah, sungguh jika Fatimah binti Muhammad mencuri, maka aku sendiri yang akan memotong tangannya’”.

Ketika dimainkan, apalagi ketika hukum hanya tajam ke bawah namun tumpul ke atas, Rasul  saw marah besar. Sebab hukum hadir untuk keadilan dan kesetaraan semuanya. Bukan untuk kepentingan sekelompok saja.  Orang yang bertakwa harus memiliki kendali diri untuk bisa menahan amarah. Syekh Ja’far bin Muhammad berkata, “Amarah adalah kunci dari setiap keburukan”. Namun dalam kasus tertentu dan dalam dosis yang tepat kita boleh mengekpresikan amarah.

Aang Ridwan, Dosen Fakultas Dakwah dan Komunikasi (FDK) UIN Sunan Gunung Djati Bandung.

Sumber, Pikiran Rakyat 21 November 2023.

WhatsApp
Facebook
Telegram
Print
Twitter

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *