“Sein-Zum-Tod”

“If I take death into my life, acknowledge it, and face it squarely, I will free my self from the anxiety of death and the pettiness of life -and only then will I be free to become my self” (Martin Heideger)

(UINSGD.AC.ID)-Datang dan pergi. Tiba dan Kembali. Lahir dan mati.

Biner opisisi ini seumpama menjadi hukum “baja sejarah” yang tak bisa ditampik. Keniscayaan kehidupan seakan menetapkan fakta yang tak bisa digugat bahwa “kepergian”, “Kembali”, dan “mati” adalah faktisitas yang pasti ditemui.

Tak ada yang sanggup mengelak. Tak satupun manusia yang bisa menghunus pedang untuk bertarung melawan dan merobohkan hukum kehidupan itu. Tak ada juga benteng kokoh yang bisa dibuat perlindungan untuk menghindari dari kepastian itu. Segera setelah manusia lahir, di lehernya seolah tergantung kalung keniscayaan yang menetapkan takdir dan “das umgreifende” (batas-batas yang melingkupi) kehidupannya.

Dengan itu, manusia seumpama berjalan dari titik yang satu untuk selesai dan mengakhiri misi kesejarahan dan petualangannya di titik berikutnya. “Pergi”, “kembali” dan “mati” itulah titik akhir itu. Manusia seumpama berjalan dalam garis linear; membuat patok sebagai titik berangkat untuk kemudian  mengakhirinya di ujung patok berikutnya.

Kematian mengakhiri seluruh eksistensi manusia, begitu menurut Heidegger. Kematian adalah zenit dari totalitas Ada manusia selaku Dasein, tetapi persis pada titik itu pula manusia selaku Dasein kehilangan Adanya. Dalam bahasa yang keren, inilah yang disebut sebagai “titik nadir ontologis”, karena Dasein berhenti sebagai “Ada-di-dalam-dunia”. Simpulnya, kematian adalah momen yang paling otentik dan eksistensial bagi Dasein. Kematian adalah “Jemeinigkeit” (dalam segala hal milikku).

Menurut Heideger, “begitu seorang manusia lahir, ia sudah terlalu tua untuk mati”. Manusia adalah “Ada-menuju-kematian” (Sein-zum-Tode).

Dan hari-hari ini, kita kembali dikepung oleh berita tentang kematian itu. Mungkin saudara, orang tua, teman, kerabat, atau yang terkasih harus menjemput takdirnya yang pasti, mati.

“Akh, jangan terlalu dipikirkan! Semua orang pasti mati”, begitu kata teman saya. Lalu kembali dia sibuk dan fokus dengan gawai di tangannya. Teman saya benar, bahwa semua orang pasti mati, tapi menurut Heideger, inilah ciri-ciri “das Man”. Sosok manusia yang tenggelam dalam anggapan umum yang niscaya dan tak perlu mencemaskannya.  Teman saya ini tidak hanya lupa akan Adanya, melainkan juga lupa akan kemungkinan ketiadaannya.

Bagaimana mengkhidmati kematian secara otentik? Bagaimana memandang tibanya titik nadir ontologis yang mengakhiri eksistensi manusia?

“Vorlaufen”, begitu kata Heideger.  Arti kata ini adalah “lari ke depan”. Sederhananya, ia bisa kita artikan sebagai “antisipasi”. Mengantisipasi kematian terjadi ketika kita sedang diselimuti kabut krisis dan seolah kehilangan petunjuk untuk mengambil keputusan penting yang menentukan arah hidup.

Di titik ini, saya lalu ingat nasihat agama, “isy kariman au mut syahidan”.  “Lari ke depan untuk mengantisipasi”, saya kira adalah “hidup mulia atau mati syahid”. Nasihat agama ini pasti ada gunanya tidak hanya untuk saya tapi juga bagi Anda sekalian. Mungkin saja.

Allahu a’lam[]

Tabik.

RADEA JULI A HAMBALI, Wakil Dekan I Fakultas Ushuluddin UIN Sunan Gunung Djati Bandung

WhatsApp
Facebook
Telegram
Print
Twitter

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *