Masa Depan Digital Citizenship

Diskursus mengenai demokrasi dan kewarganegaraan (citizenship) bukanlah suatu hal baru. Akan tetapi di era modern ini, yang ditandai dengan masifnya digitalisasi telah memaksa warga negara sebagai pemberi mandat kekuasaan untuk mendaur ulang bentuk dan ruang yang baru guna mengkonseptualisasi dan mempraktikanya. Dalam hal ini juga memunculkan tantangan baru, peluang baru, dilema baru, serta menguatnya kekhawatiran kolektif.

Landasan teori dan memori sejarah yang berbeda menimbulkan fokus yang berbeda pula dari warga negara satu dengan warga negara yang lain dalam mendefiniskan konsep citizenship. Kendati demikan, ada semacam konsensus bersama bahwa citizenship itu acapkali didasarkan pada prinsip-prinsip kesetaraan (egaliter).

Dari hasil penelusuran literatur yang ada, terdapat konsepsi citizenship yang lebih kritis dari Moonsun Choi (2016) yang berfokus pada peran transformatif citizenship, di mana warga negara aktif bergerak menerabas status quo dan struktur sosial masyarakat yang ada. Pendekatan citizenship yang lebih komunitarian ini menekankan partisipasi aktif dan komitmen warga dengan institusi dan komunitas menuju terlaksananya keadilan sosial dan hak asasi manusia. Agar demokrasi dapat berjalan, warga negara harus berpartisipasi (Ribeiro et al, 2012).

Partisipasi ini lebih dari sekadar memilih saat pelaksanaan pemilu, mematuhi hukum dan taat membayar pajak, namun juga menambahkan perspektif yang lebih kritis, refleksif, dan deliberatif di mana suara, kesetaraan, dan akal sehat terlibat dalam debat dan aksi untuk menjaga kesehatan demokrasi.

Titik Kritis
Dalam dua dekade lebih paska Reformasi, wajah demokrasi di Indonesia semakin nampak pucat dan kelelahan. Hal ini terpotret dari semakin menguatnya antitesis nilai-nilai demokrasi di kehidupan real. Pembatasan hak-hak sipil meningkat serta beranak pinaknya budaya korup para pemegang mandat rakyat. Survey opini publik terbaru menunjukkan tren bahwa kepuasan warga atas pelaksanaan demokrasi di Indonesia terus mengalami penurunan (Indikator Politik Indonesia, 2021).

Diperburuk lagi dari banyaknya studi yang membuktikan bahwa terjadi pembajakan terhadap lembaga dan prosedur demokrasi, menjadikan citra demokrasi di Indonesia berwatak elit predatorial (elit pemangsa rakyat). Yang membawa dampak semakin takut dan gelisahnya warga negara untuk mengungkapkan ekspresi di ruang publik (LP3ES, 2021).

Alhasil, mencari alternatif buat jalan pulangnya demokrasi di Indonesia suatu hal yang realistis dan perlu disegerakan. Di era yang serba digital ini, warga negara dapat menggunakan media digital sebagai alat kontrol pelaksanaan kebijakan pemerintah. Tak aneh ketika kemudian media degital dinobatkan sebagai pilar keempat demokrasi karena kebebasan pers digunakan untuk melihat demokratisasi sebuah negara. Media digital muncul sebagai sarana untuk mengembalikan marwah demokrasi dan menggairahkan kembali kohesi sosial suatu bangsa. Hal ini bukan sekedar optimisme mata tertutup jika melihat data terkini bahwa Indonesia adalah negara dengan jumlah pengguna internet terbanyak keempat di dunia (Kominfo, 2021). Hampir 73.7 persen (202.7 juta) dari total populasi di Indonesia aktif menggunakan media sosial.

Revolusi digital telah secara signifikan mengubah cara warga berkomunikasi dalam menyampaikan aspirasi dan kritik serta memobilisasi gagasan yang di tujukan untuk mengevaluasi kebijakan pemerintah. Momentum ini tidak hanya menjadi ruang inovatif akan tetapi bisa menjadi jalan pintas untuk partisipasi warga Indonesia dalam aksi-aksi sosial politik. Tak hanya menyegarkan, tentunya juga memberi makna baru bagi demokrasi di Indonesia abad ke-21 yang ditandai dengan digitalisasi.

Inovasi Politik
Platform digital menjadi ruang untuk warga negara mengubah cara berpartisipasi dan melibatkan diri dalam mengadvokasi kebijakan-kebijakan publik yang berkelanjutan. Sehingga inovasi-inovasi politik melalui platform digital harus menjadi agenda bersama warga negara Indonesia.

Pertama, warga negara harus membangun demokrasi yang inovatif di era digital dengan mengembangkan keterampilan untuk melakukan advokasi melalui platform digital. Hal ini tentunya dipersiapkan guna menggoyang isu-isu krusial yang tidak pro rakyat dan menyalurkan suara mereka agar berdampak dalam menjaga kokohnya demokrasi. Agenda seperti penegakan kasus-kasus pelanggaran hak asasi manusia, desakan untuk menindaklanjuti janji-janji kampanye pejabat terpilih, teriakan-teriakan di ruang digital terkait eksploitasi sumber daya alam yang ditujuan bukan untuk kesejahteraan rakyat Indonesia dan isu krusial lainnya.

Kedua, warga negara harus memperkuat pengorganisasian sipil secara kolektif, nyata, sah dan menjalin kolaborasi antar organisasi. Dalam kolaborasi antar organisasi sipil didapat interaksi data yang akurat dan tercipta ruang untuk bertukar hasil analisis, sehingga warga negara dan organisasi dapat menekan politisi maupun pejabat negara untuk menunjukkan kepada mereka kenyataan yang terjadi dan dapat mengusulkan strategi untuk perubahan secara nyata. Hal ini tentunya mendorong komitmen bersama dalam merawat demokrasi.

Ketiga, warga negara harus menciptakan inovasi teknologi digital untuk memperkuat pelaksanaan demokrasi. Karya inovasi platform digital yang dibuat warga negara untuk memperkuat keterlibatan warga dalam proses musyawarah dan pengambilan keputusan kebijakan publik. Terobosan-terobosan aplikasi baru yang progresif tentang ruang voting secara digital dalam menentukan pemimpin-pemimpin saat baik di Pemilu maupun Pilkada.

Inisiatif-inisiatif seluruh warga negara Indonesia yang positif, inovatif, dan kolektif dengan menggunakan platform digital sebagai alternatif dalam menunjukkan jalan pulangnya demokrasi yang tengah tersesat, diharapkan dapat membawa Negara Indonesia menjadi negara yang ‘Baldatun thayibatun wa rabbun ghafur’.

Ramadhan Dwi Prasetyo, Dosen Ilmu Politik Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik (FISIP) UIN Bandung.

WhatsApp
Facebook
Telegram
Print
Twitter

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *