Wafat di Budaya Cepat

Wafat di Tanah Suci. AntaraFoto/Wahyu Putro A

UINSGD.AC.ID (Humas) — Menurut Imam Syafi’I, ada lima hal yang dirukunkan dalam ibadah umrah, yakni; ihram, thawaf, sa’i, tahalull dan tertib. Rukun yang kelima, tertib, memiliki makna bahwa seluruh hal yang dirukunkan harus ditunaikan secara berurutan tidak boleh zigzag apalagi acak. Jangan karena ingin cepat, sa’i didahulukan lalu thawaf diakhirkan. Atau tahalullul didahulukan lalu ihram dibelakangkan. Bila tidak tertib, maka ibadah umrahnya tidak sah.

Rukun tentang tertib, dalam narasi para ulama mengajarkan tentang keharusan menghormati dan menghargai empat nilai penting dalam kehidupan, yakni; keteraturan, kedisplinan, proses dan kesabaran. Menghormati hal itu jelas dibutuhkan untuk terjaganya kualitas sebuah ibadah bahkan kehidupan secara luas.

Dalam telaah seksama para pegiat kajian cultural studies, hari ini, di sini, di negeri ini. Masyarakat Indonesia tengah tenggelam pada kolam fast culture, budaya cepat. Budaya ini merujuk pada gaya hidup yang serba cepat, serba kilat, serba konsumtif, dan serba instan. Budaya cepat ditandai oleh perioritas hidup dimana klimaksnya adalah kesenangan dan kepuasan.

Dianatara hal yang nampak kontras dari fenomena budaya cepat, adalah lahirnya ghirah untuk prioritas mencari kesenangan dan kepuasan secara instan, tanpa mempertimbangkan dampak jangka panjang. Ini sangat berbahaya. Secara fisik, hasrat mengejar kesenangan dan kepuasan instan bisa menyebabkan ketergantungan pada zat adiktif. Bisa memantik munculnya penyakit kronis, bahkan bisa menyebabkan berbagai cedera akibat kecelakaan akibat lalu lintas atau olah raga yang ekstrim.
Dari sudut sosial, hasrat mengejar kesenangan dan kepuasan instan, bisa berdampak pada hilangnya nilai-nilai; kebersamaan, kekeluargaan, kemanusiaan yang bisa memantik budaya konflik. Bila dilihat dari sudut spiritualitas, hasrat mengejar kesenangan dan kepuasan instan, bisa membuat abrasinya keimanan bahkan bisa menafikan eksistensi Tuhan.

Berikutnya, budaya cepat ditandai oleh “Hyper-Consumerism“, hasrat mengkonsumsi segala sesuatu secara cepat. Fokus kesadaran manusia hari ini, bukan lagi tertuju pada perbaikan intelektualitas, moralitas, apalagi perbaikan ibadah. Tetapi terpusat pada tiga hal. Pertama, belanja. Kedua belanja, dan Ketiga belanja.

Belanja, hari ini menjadi ukuran keberadaan diri. Karena itu, filsafat hidup manusia hari ini “Aku belanja maka aku ada”, atau “aku belanja maka aku bahagia”. Karena begitu adanya, fakta tentang kecanduan untuk belanja, ketergantungan pada belanja, stres kalau tidak belanja, adalah hal yang tak terbantahkan.

Hal lain dari budaya cepat adalah ketergantungan berlebihan pada teknologi. Dimulai dari yang sifatnya fisik seperti ketergantungan pada smart phone, smart watch, fitness tracker, dan komputer. Ketergantungan yang sifatnya psikologis; seperti stres bila habis paket, emosional bila tidak ada sinyal, fomo, bahkan teknologi dijadikan semacam coping mechanism, alat untuk menghindari stres. Ketergantungan pada teknologi yang takterelakan terutama pada teknologi yang sifatnya social dan layanan.

Dalam telaah Aldous Huxley (Brave New World). Bila perioritas hidup hanya pada kepuasan dan kesenangan instan. Hal ini bisa mengakibatkan hilangannya kualitas hidup dan kebahagiaan sejati. Karl Marx, (Manuscript Ekonomi dan Filsafat 1844), menyimpulkan, karena konsumsi cepat dan ketergantungan pada teknologi, maka budaya cepat bisa menyebabkan alienasi dan isolasi sosial. Pada ujungnya, bila budaya cepat tidak bijak dijajaki dan ditapaki, Herbert Marcuse, (Manusia Satu Dimensi, 1964), berpendapat manusia kini akan terjebak pada fakta “Victim of Fast Culture”, wafat di budaya cepat. Naudzubillah.

Aang Ridwan, Dosen Fakultas Dakwah dan Komunikasi (FDK) UIN Sunan Gunung Djati Bandung.

WhatsApp
Facebook
Telegram
Print
Twitter

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *