UINSGD.AC.ID (Humas) — Pancasila merupakan kesepakatan dari para pendiri bangsa (founding fathers) yang sampai saat sudah terbukti mampu menjaga bangsa Indonesia tetap dalam naungan NKRI.
Dalam kehidupan beragama, Pancasila sangat mengedepankan hidup rukun antarumat beragama. Bahkan bisa dikatakan Indonesia menjadi contoh bagi bangsa-bangsa lain dalam keberhasilan mengelola keragaman budaya dan agamanya, serta dianggap berhasil dalam memposisikan secara harmoni bagaimana cara beragama dengan bernegara.
Konflik atau permasalahan sosial memang terkadang masih kerap terjadi, namun kita selalu dapat memecahkan hal tersebut dan kembali kepada kesadaran atas kepentingan persatuan dan kesatuan sebagai sebuah bangsa yang besar. Tetapi, kewaspadaan harus ada terkait ancaman yang muncul dalam memecahkan bangsa terutama agamalah yang dijadikan alasannya.
Radikalisme adalah sebuah aliran yang memiliki pemahaman keras, sehingga beranggapan bahwa dirinya merasa benar dari yang lainnya sampai orang radikal melakukan pendirian tentang tempat ibadah yang khusus. Ajaran tersebut di dalam Islam bertolak belakang dan bertentangan karena sejatinya Islam yang memiliki sifat universal, penyebar persaudaraan, penyebar perdamaian, serta memiliki toleransi. Seperti firman Allah dalam QS. Al-Anbiya ayat 107:
”Dan Kami tidak mengutus engkau (Muhammad) melainkan untuk (menjadi) rahmat bagi seluruh alam.” (QS. Al-Anbiya‟; [21]: 107).
Salah satu kunci penting dalam menciptakan kerukunan maupun toleransi dalam tingkat nasional, local atau global adalah moderasi beragama. Penolakan terhadap liberalisme dan ektremisme dilakukan dalam pilihan pada moderasi beragama demi tercapainya keseimbangan, perdamaian, dan peradaban yang terpelihara. Dalam hal ini, generasi milenial yang menjadi salah satu komponen penting yang berperan dalam menumbuhkembangkan sikap moderasi beragama ini.
Pembahasan Milenial
Adalah generasi milenial yang akan menjadi generasi penerus atau sebagai komponen utama penerus pembangunan bangsa. Oleh karena itu perlu dibekali berbagai kompetensi. Bukan hanya kompetensi intelektual yang ditandai dengan kemampuan untuk menjalankan nalar dan pemikirannya, tetapi juga membutuhkan kompetensi moral yang ditujukkan oleh perilaku yang sejalan dengan kaidah, norma, kepribadian dan jati diri bangsa. Karena pintar saja tidak cukup, namun harus berperilaku dan berkarakter baik. Sesuai penelitian (Irham, 2015) yaitu sebuah pemahaman agama yang eksklusif dan sempit akan lebih cenderung keragaman tidak diterimanya dan mudah tertutup.
Milenial adalah generasi yang lahir antara tahun 1981 hingga 1996, dan saat ini mereka telah berusia rentang 28 sampai 43 tahun. Mereka sudah menjadi bagian penting dalam kehidupan berbangsa dan bernegara. Generasi ini tumbuh dalam era teknologi digital, globalisasi, dan informasi yang cepat.
Dalam konteks agama, banyak milenial menghadapi tantangan unik dalam menjalankan keyakinan mereka. Salah satu isu yang semakin relevan adalah moderasi beragama di kalangan milenial. Moderasi beragama adalah pendekatan yang mengedepankan toleransi, kerukunan, dan pemahaman antaragama. Meskipun pendekatan ini dianggap positif, terdapat beberapa problematika yang perlu dipahami lebih dalam.
4 Problematika
Ada beberapa problematika yang harus menjadi perhatian terkait implementasi moderasi beragama di kalangan milenial, di antaranya : Pertama, perubahan nilai-nilai tradisional. Banyak milenial menghadapi konflik nilai ketika nilai-nilai agama mereka bertentangan dengan nilai-nilai modern yang lebih inklusif. Ini dapat menghasilkan ketidakpastian dan kebingungan, serta memicu perasaan terisolasi. Bagi mereka, moderasi beragama mungkin menjadi solusi yang lebih menarik.
Kedua, pengaruh media sosial. Media sosial memiliki potensi besar untuk mempromosikan toleransi dan pemahaman antaragama. Namun, sebaliknya, media sosial juga dapat memicu radikalisasi dengan memperkuat filter bubble dan membiarkan narasi yang radikal menyebar dengan cepat. Edukasi media dan kritisisme online perlu ditingkatkan untuk membantu milenial memilah informasi agama dengan bijak.
Ketiga, tantangan interaksi antaragama. Dalam masyarakat multikultural, milenial sering berinteraksi dengan individu dari berbagai agama. Hal ini dapat menjadi tantangan, terutama jika mereka tidak memiliki pemahaman yang memadai tentang agama lain. Promosi dialog antaragama dan program pendidikan agama lintas-agama dapat membantu mengatasi masalah ini.
Keempat, Peran pendidikan yang memainkan kunci dalam membentuk pemahaman milenial tentang moderasi beragama. Kurikulum harus mencakup materi yang mempromosikan toleransi, pemahaman, dan penghargaan terhadap berbagai agama. Selain itu guru juga perlu dilengkapi dengan pelatihan yang memadai untuk mengajar materi ini.
Problematika moderasi beragama di kalangan milenial adalah isu yang semakin relevan dalam masyarakat kontemporer. Dengan perubahan nilai-nilai tradisional, pengaruh media sosial, tantangan interaksi antaragama, dan peran pendidikan, milenial dihadapkan pada banyak kompleksitas dalam menjalankan keyakinan mereka. Untuk mengatasi masalah ini, perlu ada upaya lebih lanjut dalam mempromosikan toleransi, pemahaman, dan pendidikan yang lebih baik terkait agama. Hal ini akan membantu milenial mengembangkan pemahaman moderasi beragama yang lebih baik, memastikan kerukunan antaragama, dan menghadapi masa depan yang lebih inklusif dan harmonis.
Dr. Aep Saepuloh, M. Si., Sekretaris Ma’had Al-Jami’ah dan Dosen Fakultas Sains dan Teknologi UIN Sunan Gunung Djati Bandung.