(UINSGD.AC.ID)- Perjalanan musim haji dalam kalender hijriyah diapit oleh bulan muharam (bulan yang dimulyakan) yakni bulan rajab, syaban, romadhon, syawal, dzulkadah, dzulhijah dan muharam, tiga bulan secara berurutan syawal, dzulkaidah dan dzulhijah dalam al-qur`an 2:197 disebutkan sebagai ashur ma`lumat, yang berarti bulan yang dimaklumi, dan tidak identik dengan istilah waktu atau musim, hal ini memberi kesan bahwa setiap bulan yang disebutkan memiliki kemulyaan dan makna tersendiri, akibat terlaksananya prosesi haji, disamping bermakna bahwa memulyakan bulan-bulan tersebut, tidak hanya kewajiban jamaah haji semata, akan tetapi seluruh umat dapat melakukan penghormatan dibulan-bulan tersebut dengan cara menghindari pebuatan dzolim, maksiat dan bersengketa atau melakukan peperangan 9:36, oleh karenanya seluruh prosesi perjalanan haji memiliki hubungan yang sangat erat dengan ibadah yang dilakukan ditanah air, seperti puasa arafah dan melaksankan peyembelihan hewan qurban.
Penempatan suhur ma`lumat yang diletakan antara bulan rajab dan muharam, menunjukan bahwasanya perjalanan haji merupakan rangkaian perjalanan yang direncanakan secara matang, dengan syarat utama telah memenuhi standar istitoah finansial dan istitoah spiritual, istitoah finansial secara administratif telah melunasi biaya ONH yang telah ditentukan pemerintah, sedangkan bukti istitoah spiritual memiliki kesehatan jasmani dan rohani untuk melaksanakan seluruh rangkaian manasik haji di tanah suci.
Bacaan talbiyah secara substantif merupakan dzikir utama yang menunjukan kesiagaan untuk melaksanakan seluruh perintah dan larangan-Nya, hakekat tarbiyah sesungguhnya berkaitan dengan empat hal;
Pertama; Dzikir la syarikalah, melepaskan diri dari kemusyrikan finansial dimana seluruh fasilitas finansial yang disiapkan merupakan pendanaan yang halal, bukan dari pendapatan yang haram, sebagaimana yang disebutkan dalam Hadits Rosululoh SAW yang diriwayatkan at-Tbabrani, bahwasanya seseorang yang melaksanakan haji dengan bekal finansial yang baik, talbiyahnya akan disambut dari langit dengan jawaban hajjuka mabrurun ghoero ma`jurin (hajimu mabrur tidak tercampur dosa), berbeda sebaliknya, jika finansial yang digunakannya dari barang yang haram, maka akan dijawab hajjuka ghoero mabrurun (hajimu tidak mabrur), komitmen ini kemudian dijadikan salah satu petikan doa para jamaah haji dengan kalimat tijarotan lan taburo (perdagangan yang tidak sia-sia), dalam makna yang lebih lugas ya Allah jauhkan ikhtiar hidup kami dari kesia-siaan, atau dicabutnya keberkahan dalam hidup, dan dalam perjalanan haji kesia-siaan itu diperangi dengan symbol thowaf dan sai, sebagai mana yang disebutkan dalam al-Quran surat ke 9:35
Kedua; Dzikir Hamda lilah, memuji Allah dengan mengumandangkan talbiyah tahmid, sebagai bentuk pengakuan diri bahwa sesungguhnya segala puji milik allah semata, karena Allah dzat yang memiliki kesempurnaan dzat, sifat dan afal, oleh karenanya tidak ada yang berhak mendapatkan pujian kecuali Allah, sebagaimana yang disebutkan dalam talbiyah dengan kalimat inal hamda, kalimat ini secara spiritual merupakan ungkapan bahwasanya sifat kemanusiaan yang selalu ingin dipuja dan dipuji, merupakan penyakit kronis yang melahirkan sifat merasa sempurna, potensi lahirnya kesombongan kemudian dikritik dengan kalimat wala jidala fil Haji (dilarang bertengkar, debat kusir, saling menghardik, angkuh, memandang orang sebelah mata, dsb), karena dengan jidal dalam haji berpeluang membuka sifat-sifat syetaniyah dalam diri manusia, yang dalam ibadah haji karakteristik syetaniyah menjadi musuh utama yang dipererangi melalui symbol lempar jumroh ula, wustho. dan aqobah.
Ketiga; Dzikir Annimatu lilahi, berarti seluruh fasiltas hidup merupakan titipan dari Allah yang harus terus disyukuri, dinikmati dan berujung syukur dalam menjali kehidupan, perjalan ini disimbolisasikan dalam bentuk sai yang berarti lari-lari kecil dari bukit sofa ke bukit marwa, peristiwa ini berkaitan dengan peristiwa Nabi Ibrahim AS tatkala menempatkan siti hajar dan Ismail di padang pasir yang tandus disisi baetullah, sebagaimana yang terdapat dalam al-Qur`an 14:37, Ibnu Katsir menjelaskan ayat ini dengan beberapa hal; pertama; Ismail pada saat itu adalah seorang anak yang masih kecil, kedua; sebelum di tempatkan di padang pasir terjadi dialog antara Nabi Ibrahim AS dan Siti Hajar, dimana pada saat itu Siti hajar menayakan pertimbangan suaminya menempatkan istri dan anaknya di padang pasir yang sangat tandus yang tidak ada makan dan minum, akan tetapi tatkala Nabi Ibrahim menyampaikan bahwasanya itu adalah perintah Allah SWT, maka pada saat itu juga Siti Hajar menerima keputusan tersebut, hikmah yang terbesar dalam peristiwa ini bahwasnya perjuangan hidup dan ujianya, jika disikapi dengan keimanan dan keiklasan akan berbuah kebaikan yang tidak pernah terseumbat dan habis, sebagaimana memencarnya air zamzam sebagai sumber kehidupan yang tidak pernah akan habis, begitupun nikmat Allah dalam diri manusia tidak perbah habis, jika dipahami dengan keimanan.
Keempat; Dzikir Al-Mulku lilah, menunjukan bahwasanya kekuasaan atau kepemilikan sepenuhnya adalah milik Allah, kesadaran dzikir ini sesunggunya mendudukan kembali status manusia sebagai makhluk yang tidak berdaya, jika Allah tidak memberikan sebagian kekuatanya kepada manusia, sebagaimana yang sering diungkapkan dalam kalimat lahaula wala quata ila billah, dalam perjalanan haji kekuatan Allah adalah kekuatan tanpa batas yang bisa didapatkan oleh para jamaah haji dengan cara meningkatkan kepasrahan diri kepada Allah dan tidak menyandarkan seluruh kegiatan manasiknya pada hawa nafsu kemanusiaan, fakta ini dapat dirasakan melalui kegembiraan para jamaah haji dalam melaksanakan seluruh rangkain ibadahnya, mulai dari persiapan, pelaksanaan dan kepulangan.
Empat dzikir ini kemudian dirumuskan dalam uraian kalimat talbiyah, labaeka allohuma labaeka, labaeka la syarikalaka laka labaek, inalhamda, wa nikmata, laka wal mulku, la syarikalaka, yang berarti memenuhi panggilan Allah SWT untuk melaksanakan seluruh rangkain manasik haji, agar dapat mencapai target mabrur, syukur, diampuni kesalahan, dan terhindar dari kesia-sian hidup.
Chaerul Shaleh, Pembimbing Haji dan Umroh PT Qiblat Tour Islami, Dosen Fakultas Syariah dan Hukum UIN SGD Bandung.
Sumber, Pikiran Rakyat 6 Juni 2023