UINSGD.AC.ID (Humas) — Nyaris setiap musim haji selalu diiringi dengan kabar duka dari jemaah yang wafat baik sebelum keberangkatan, diperjalanan, maupun saat tiba di tanah suci. Dengan pendekatan empati, rasa kehilangan atas kematian seseorang yang dicintai merupakan suasana psikologis yang menyedihkan, maka merasakan kesedihan bersifat relatif dan subjektif.
Prof. Komarudin Hidayat menulis buku Psikologi Kematian sebagai ikhtiar untuk menjelaskan kepada khalayak bahwa kematian itu kepastian yang perlu dipandang sebagai peluang untuk membangun optimisme hidup. Pengetahuan, pemahaman dan kesadaran tentang makna kematian merupakan unsur penting dalam berempati dan mengambil pelajaran dari kematian.
Dalam dictionary.com kematian didefinisikan tindakan sekarat, akhir kehidupan, penghentian total dan permanen semua fungsi vital suatu organisme. Ini menunjukkan bahwa kematian sebagai fenomena biologis saat manusia sudah tidak memiliki daya sama sekali hingga diidentifikasi dari hilangnya frekuensi aliran energi pada batang otak.
Namun dalam pandangan Islam, kematian merupakan peristiwa peralihan alam dari alam dunia ke alam barzakh atau alam kubur, sehingga seolah kematian itu tidak ada sebagaimana firman Allah SWT: “Dan janganlah kamu mengira bahwa orang-orang yang gugur di jalan Allah itu mati; bahkan mereka itu hidup, disisi Tuhannya mereka mendapat rezeki” (Q.S. Al-Baqarah: 154).
Syaikh Muhammad Sulaiman Al Asyqar mengomentari ayat ini dalam tafsir Zubdatut Tafsir Min Fathil Qadir dengan ungkapan: “Akan tetapi mereka hidup namun kalian tidak merasakan kehidupan mereka saat ruh-ruh mereka dicabut dari tubuh mereka; sehingga kalian menganggapnya secara kasat mata telah mati padahal kenyataannya bukan seperti itu, akan tetapi mereka hidup di alam barzakh”
Bagi sebagian jemaah haji, kematian dipahami sebagai perpindahan alam untuk menjemput kenikmatan. Dalam hadits dari Anas bin Malik dan ditakhrij oleh Imam Baihaqi bahwa Rasulullah Saw bersabda: “Siapa pun yang meninggal di salah satu tanah suci; Mekkah dan Madinah, maka dia berhak mendapatkan syafaatku, dan kelak dia termasuk orang-orang yang selamat.” Dalil ini menjadi pijakan keyakinan yang menunjukkan totalitas Ikhlas tak berbatas untuk beribadah dengan tekad sampai akhir hembusan nafas.
Kabar wafatnya jemaah haji bagi orang yang mencintainya melahirkan rasa pilu bercampur rindu dan cemburu semua berbaur jadi satu. Fenomena waftanya jemaah haji seyogyanya menjadi nasihat besar dari tanah suci. Pertama, optimisme hidup harus dipelihara dan dikembangkan dengan ikhtiyar meraih predikat haji yang berkualitas mabrur sebagai bekal menghadapi kematian.
Kedua, kematian merupakan kepastian yang tidak dapat dihindari dan tidak perlu dikaitkan dengan penyakit atau tragedi karena hakikat kematian itu habisnya kuota hidup. Oleh karena itu, tidak perlu harap-harap wafat di tempat tertentu dan waktu tertentu apalagi melakukan upaya bunuh diri.
Ketiga, kematian merupakan misteri maka perlu dipersiapkan setiap saat dan disetiap tempat. Pilihan untuk senantiasa dzikir dan hadir pada tempat-tempat terbaik, berpeluang untuk wafat pada tempat dan waktu yang tepat untuk meraih husnul khatimah.
Keempat, haji merupakan miniatur kematian yang memberi pelajaran kepada umat manusia agar mempersiapkan kematian dengan keaatan dan bermanfaat untuk umat dengan keayakinan bahwa segalanya dari Allah dan akan kembali kepada Allah, inna lillahi wa inna ilaihi ra’ji’uun. Wallahu a’lam
Rohmanur Aziz, Pembimbing Tours & Travel Mumtaz Bandung dan Ketua Program Studi Pengembangan Masyarakat Islam (Islamic Community Development) FDK UIN Sunan Gunung Djati Bandung.