Nasab, Nisab, dan Nasib

UINSGD.AC.ID (Humas) — Pertemuan silaturrahmi keluarga besar Dzuriyat Eyang Hasan Maolani seorang ulama Jawa Barat asal Kabupaten Kuningan yang diasingkan Belanda pada tahun 1837 dan wafat pada tanggal 30 April 1874 di Manado Sulawesi Utara, berjalan syahdu penuh haru bercampur rindu.

Pertemuan pada tanggal 25 Agustus 2024 di Pondok Pesantren Al-Masthuriyah Sukabumi tampak keturunan ulama ini juga didominasi para kyai, hujaj, ilmuwan dan santri.

Pepatah mengatakan “buah tak jauh jatuh dari pohonnya”, artinya anak dan keturunan akan memiliki kemiripan dengan orang tuanya. Tidak dapat dipungkiri bahwa persoalan nasab menjadi bagian dari salah satu tujuan syariat yaitu hifdz al-nasl (menjaga keturunan).

Akhir-akhir ini pun mengemuka wacana mengenai silsilah atau nasab keturunan. Uniknya, wacana yang mengemuka menjadi perbincangan publik yaitu nasab dari kalangan ulama dan nasab keturunan umara atau pemerintah.

Wacana ini memberi pesan tersendiri bahwa kehidupan manusia dipengaruhi oleh faktor nasab atau keturunan, jikapun saat ini bukan termasuk keturunan yang baik, maka ada challenge untuk memperbaiki keturunan dengan menyemai ketaqwaan kepada Allah SWT sebagaimana firman Nya: “Wahai manusia, sesungguhnya Kami telah menciptakan kamu dari seorang laki-laki dan perempuan. Kemudian, Kami menjadikan kamu berbangsa-bangsa dan bersuku-suku agar kamu saling mengenal. Sesungguhnya yang paling mulia di antara kamu di sisi Allah adalah orang yang paling bertakwa. Sesungguhnya Allah Maha Mengetahui lagi Maha Teliti”. Q.S.Al-hujurat [49]:13.

Dalam perjalanan ibadah umrah sering disaksikan anak-anak dari berbagai negara, berlarian melaksanakan thawaf dan sa’i bersama orang tuanya. Tampak terpancar dari wajah anak-anak tersebut penuh kebahagiaan karena dapat beribadah bersama orang tuanya. Fenomena ini menunjukkan peran strategis keluarga dan keturunan dalam menyemai cinta kepada Allah SWT dan menanam kebaikan.

Faktor lainnya, kebaikan dan keberuntungan dapat dipengaruhi kemampuan ekonomi (isthitha’ah), dalam istilah zakat disebut nishab. Ini menunjukan bahwa kemampuan seseorang dalam meraih sesuatu karena kemapanan duniawi. Seseorang dapat berangkat umrah atau haji didominasi oleh faktor ekonomi, sebagaimana dapat meraih suatu kepentingan atau cita-cita pun karena faktor kemampuan dan kemapanan ekonomi.

Selain faktor nasab dan nishab, ada faktor nasib yaitu suatu kondisi seseorang yang disandarkan pada keberuntungan takdir yang Allah SWT kehendaki. Sering ditemukan tayangan dalam berita, terdapat jemaah haji dan umrah mendapatkan rizki yang tidak disangka-sangka bahkan tidak masuk akal dapat menunaikan ibadah haji atau umrah. Namun kenyataannya, orang tersebut mendapat nasib ditakdirkan dapat menunaikan ibadah haji atau umrah.

Dalam pemaknaan yang lebih luas, istilah nasab, nishab dan nasib, menunjukkan alur cerita kehidupan manusia yang berbeda-beda sebagai sebuah ketetapan dari Allah SWT. Faktor apapun yang mempengaruhi keadaan kehidupan manusia bergantung pada sikap manusia tersebut dalam meresponnya.

Dengan demikian ada tiga tipologi keberuntungan seseorang. Pertama, orang yang bersandar pada nasab dengan membanggakan keturunan namun ada yang tetap berendah hati walaupun dari nasab yang mulia. Kedua, orang yang bersandar pada kemampuan ekonomi karena masuk kategori nishab, namun ada pula yang semangat berbagi dengan bersedekah. Ketiga, ada orang yang bersandar pada takdir ketetapan Allah SWT sebagai nasib yang harus ridla, diterima baik dan buruknya. Wallahu a’lam

Rohmanur Aziz, Pembimbing Tours & Travel Mumtaz Bandung dan Ketua Program Studi Pengembangan Masyarakat Islam (Islamic Community Development) FDK UIN Sunan Gunung Djati Bandung.

WhatsApp
Facebook
Telegram
Print
Twitter

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *