(UINSGD.AC.ID)-Salam. Ucapan selamat hari raya Idul Fitri pasti disertai dengan permohonan dimaafkan lahir dan batin. Ya, permohonan tersebut tidak lepas dari esensi Idul Fitri, kembali kepada kesucian, yang salah satunya suci dari dosa kepada sesama, di samping tentunya suci dari dosa kepada Allah SWT.
Ajaran meminta maaf dan memaafkan tidak terlepas dari ajaran Islam tentang tobat dari dosa yang berhubungan dengan sesama, yang mana salah satu syaratnya adalah memohon maaf dari orang yang pernah menjadi obyek dosa. Adapun memaafkan adalah salah satu karakter orang yang beriman.
Yang menarik, di dalam al-Qur’an tidak ditemukan ayat yang secara tersurat memerintahkan meminta maaf dari kesalahan kepada sesama, yang ada adalah ayat yang memerintahkan untuk memaafkan. Boleh jadi di antara hikmahnya adalah bahwa memberi maaf itu tidak selalu harus didahului dengan permohonan maaf. Atau, memaafkan sebelum diminta merupakan sebuah keutamaan dalam beragama.
Akhlak terpuji memaafkan merupakan pesan utama al-Qur’an. Salah satunya adalah firman Allah SWT.:
وَلَا يَأْتَلِ أُولُو الْفَضْلِ مِنْكُمْ وَالسَّعَةِ أَنْ يُؤْتُوا أُولِي الْقُرْبَىٰ وَالْمَسَاكِينَ وَالْمُهَاجِرِينَ فِي سَبِيلِ اللَّهِ ۖ وَلْيَعْفُوا وَلْيَصْفَحُوا ۗ أَلَا تُحِبُّونَ أَنْ يَغْفِرَ اللَّهُ لَكُمْ ۗ وَاللَّهُ غَفُورٌ رَحِيمٌ
“Dan janganlah orang-orang yang mempunyai kelebihan dan kelapangan di antara kamu bersumpah bahwa mereka (tidak) akan memberi (bantuan) kepada kaum kerabat(nya), orang-orang yang miskin dan orang-orang yang berhijrah pada jalan Allah, dan hendaklah mereka memaafkan dan berlapang dada. Apakah kamu tidak ingin bahwa Allah mengampunimu? Dan Allah adalah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang.” (Q.S. an-Nur/24:22).
Kita fokus pada penggalan terakhir ayat di atas, mulai dari ungkapan “walyafu….” Perintah untuk memaafkan pada ayat itu diungkapkan dalam bentuk kata kerja (fi
il) mudhari yang diawali dengan “lam amar”, lam yang memberikan fungsi perintah, sehingga terjemahannya “hendaklah mereka memaafkan”.
Di dalam bahasa al-Qur’an, secara umum, perintah itu diungkapkan dalam beberapa bentuk, di antaranya terkadang dengan bentuk fiil amr dan terkadang dalam bentuk fi
il mudhari yang didahului dengan “lam amr”. Tentu ada perbedaan di sana. Jika tidak ada penyerta keterangan (qarinah) yang mengindikasikan konsekuensi keberlangsungan, keberlakuan fiil amr bisa jadi terbatas pada saat perintah itu keluar. Misal, kita katakan kepada teman kita “iqra’” (bacalah!). Perintah membaca ini hanya berlaku pada saat itu. Ini berbeda jika sebuah perintah dibunyikan dalam bentuk fi
il mudhari yang didahului dengan “lam amr”. Di sana, keberlakuan perintah tersebut berlaku saat itu juga dan terus berlangsung ke depannya.
Pada ayat di atas, sekali lagi, perintah memaafkan diungkapkan dalam bentuk yang kedua. Ini artinya, memaafkan—baik didahului dengan permohonan atau tidak—sejatinya menjadi karakter seorang muslim. Perbuatan memaafkan tidak boleh bersifat musiman, misalnya hanya pada saat lebaran, atau hanya pada momen-momen tertentu saja.
Perintah memaafkan pada ayat di atas disertakan dengan perintah berlapang dada (walyashfahu). Kedua perintah ini diikat dengan preposisi “dan” (wawu athaf), yang salah satunya berfungsi untuk memberikan makna keserta-mertaan. Artinya, memaafkan itu harus disertai dengan kelapangan dada. Memaafkan yang tidak disertai dengan kelapangan tidak akan sampai pada tujuan dasar ajaran memaafkan, yaitu terjalinnya kasih-sayang antar sesama.
Lawan lapang dada adalah sempit/rupek dada. Adalah sebuah kewajaran jika seseorang merasakan kesempitan dada tatkala dizalimi atau disakiti orang lain. Perasaan inilah yang boleh jadi mengakibatkan seseorang enggan memaafkan kesalahan kepada orang yang menzalimi dan menyakitinya. Tiba-tiba ada perjuangan untuk melawan/meniadakan kesempitan ini dan menggantinya dengan kelapangan. Inilah perjuangan yang mendapatkan apresiasi dari agama, yang karenanya memaafkan disertai dengan kelapangan dada adalah karakter yang dimiliki seorang muslim.
“Akhlak paling mulia seorang muslim adalah memaafkan,”Seseorang tidak disebut memiliki keutamaan sebelum ia memiliki karakter menyambung tali persaudaraan dengan orang yang memutuskannya, memaafkan orang yang pernah menzaliminya, dan berbuat baik kepada orang yang menyakitinya,” demikian sabda Nabi.
Perintah memaafkan dan melapangkan pada ayat ini diungkapkan dalam bentuk jamak. Sekali lagi, ini dapat dibaca bahwa kedua sifat terpuji ini tidak terlepas dari konsekuensi kontak sosial atau kontak interaksi. Memaafkan dan melapangkan dada pasti terkait dengan orang lain, terkait dengan sisi sosial manusia. Dapat pula dibaca bahwa kedua sifat ini merupakan perekat persaudaraan antar sesama.
“Apakah kamu tidak ingin bahwa Allah mengampunimu?” Ini sebuah sindiran bagi orang yang bersikukuh untuk tidak memaafkan dan tidak melapangkan dadanya. Di sana ada pertanyaan (istifham) yang sangat retorik: Menyindir sekaligus menjanjikan. Seolah pesannya begini: Mau diampuni Allah, tapi tidak mau memaafkan! Atau, jika engkau memaafkan, Allah mengampuni.
Keberadaan ungkapan “Apakah kamu tidak ingin bahwa Allah mengampunimu?” dibaca oleh para mufasir sebagai penegasan bahwa ampunan Allah tidak akan diberikan sebelum seseorang memaafkan dan melapangkan dada. Bisa saja, pembacaan ini maksudnya terkait dengan dosa kepada sesama.
Ayat ini diakhiri dengan penyebutan sifat Allah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang. Uslub ayat seperti ini memberikan penegasan hendaklah hamba mencontoh sifat-sifat Allah tersebut. Ya, jadilah orang yang memaafkan sebagaimana Allah pun mengampuni dosa hamba-hamba-Nya. jadilah orang yang menyayangi sebagaimana Allah pun menyayangi hamba-hamba-Nya. Takhalaqu bi akhlaqillah.
Di momen lebaran sekarang ini, marilah kita isi keimanan dan ketakwaan kita dengan karakter memaafkan dan melapgkan dada. Hiasi perayaan Idul Fithri kita dengan kedua sifat terpuji tersebut.
Subhanallah. Begitu dalam dan indah makna yang diperlihatkan ayat di atas. Wallahu a`lam bish-shawab.
Prof. Rosihon Anwar, Wakil Rektor I UIN Sunan Gunung Djati Bandung.