Ancaman paling nyata yang siap merenggut legitimasi Pilkada Serentak 9 Desember 2020 adalah rendahnya tingkat partisipasi pemilih. Pada Pilkada Serentak 2015, 2017, dan 2018, kendati belum sesuai ekspetasi ideal, tingkat partisipasi pemilih cukup lumayan kisaran rata-rata 70 persenan. Namun pada 2020, angka tersebut terancam melorot tajam karena pemilih masih dalam ketakutan penularan covid-19.
Problem tersebut sudah diketahui, dipahami, bahkan disadari banyak pihak, terutama penyelenggara Pilkada. Bahkan, KPU sempat menunda tahapan Pilkada Serentak 2020 melalui Keputusan KPU No:179/PL.02-Kpt/01/KPU/III/2020 tentang Penundaan Tahapan Pemilihan Gubernur dan Wakil Gubernur, Bupati dan Wakil Bupati, dan/atau Wali Kota dan Wakil Wali Kota Tahun 2020 dalam Upaya Pencegahan Penyebaran Covid-19.
Namun, keputusan tersebut “diralat” kembali dengan keluarnya Peraturan KPU No: 6 Tahun 2020 tentang Pelaksanaan Pemilihan Gubernur dan Wakil Gubernur, Bupati dan Wakil Bupati, dan/atau Wali Kota dan Wakil Wali Kota Serentak Lanjutan Dalam Kondisi Bencana Non-Alam Corona Virus Desease 2019 (Covid-19).
Apapun alasannya, komitmen KPU untuk tetap menyelenggarakan Pilkada Serentak 2020 merupakan keputusan super berani. Memang, bagi Indonesia Pilkada Serentak 2020 ibarat makan buah simalakama. Ada pertaruhan demokrasi elektoral bagi citra negara di mata dunia jika Pilkada diundur hingga pandemi usai, selain problem lainnya dalam internal penyelenggaraan Pemerintahan Daerah. KPU pun masih mempunyai pekerjaan rumah untuk mendongkrak tingkat partisipasi pemilih pada tiga gelombang Pilkada Serentak sebelumnya.
Di Jawa Barat saja, dari delapan daerah yang akan Pilkada 2020 (Kota Depok, Kabupaten Bandung, Sukabumi, Indramayu, Cianjur, Tasikmalaya, Karawang, dan Pangandaran), rata-rata angka partisipasi pemilih dalam tiga kali Pilkada (2005:69,63%, 2010:62,58%, 2015:62,48%) hanya 64,87%. Angka tertinggi 77,94% dalam Pilkada Pangandaran 2015 dan terendah dalam Pilkada Kota Depok 54,29%. Oleh karena itu, super berani KPU harus diikuti dengan super dalam penyelenggaraan. Kendati harus disadari, kesuksesan Pilkada bukan hanya tanggungjawab KPU, tetapi juga tanggung jawab seluruh elemen masyarakat. Namun, peran elemen masyarakat pun tetap harus didorong dengan regulasi dan iklim yang kondusif melalui “tangan terbuka” penyelenggara.
Seperti kesertaan peran media penyiaran. Jika dibandingkan dengan platform media baru (media sosial), media penyiaran memiliki tingkat keamanan dan efektivitas lebih baik: tidak mengandalkan proses interaksi fisik person to person secara massal, tapi dapat diakses semua orang; Konten siarannya pun diatur UU Penyiaran dan P3-SPS, sehingga kualitas effect-nya terjaga; Eksistensi telah dicintai mayoritas masyarakat, bahkan telah berkembang dalam bentuk akses digital, sehingga pesan dijamin masif.
Dalam Pilkada-Pilkada sebelumnya, media penyiaran pun sudah banyak berkontribusi untuk sosialisasi, debat, kampanye, dan diseminasi informasi, sehingga sebuah keniscayaan jika Pilkada Serentak 2020 harus optimal melibatkan media penyiaran. Apalagi, Pilkada 2020 dalam situasi pandemi covid-19, media penyiaran dapat menjadi pilihan utama dalam mengganti proses interaksi yang dibatasi protokol kesehatan. Terlebih, data membuktikan, selama masa pandemi kecenderungan akses khalayak terhadap televisi dan radio makin meningkat. Pembatasan sosial memiliki dampak kecenderungan masyarakat lebih intensif menggunakan media penyiaran melebihi waktu sebelumnya.
Komisioner KPI, Nuning Rodiah pada website KPI (2020) pun menegaskan, ada empat keuntungan jika menjadikan media penyiaran sebagai medium utama pilkada di masa pandemi. Pertama, informasi dapat diterima dengan cepat dan tepat. Kedua, informasi dapat diterima secara utuh, berimbang, dan adil, sehingga dapat menutup ruang black campaign yang lazim terjadi pada kampanye konvensional atau melalui platform media sosial. Ketiga, daya jangkau dan kepemirsaan luas, sehingga memudahkan penyelenggara dan peserta menyampaikan informasi dan gagasan. Keempat, media penyiaran diawasi dengan intensitas 24 jam/hari secara menyeluruh, integral, masif, dan langsung menyertakan partisipasi masyarakat.
Apalagi, terkait Pilkada, media penyiaran memiliki kewajiban dan tanggung jawab menaati UU Penyiaran dan P3-SPS yang beberapa pasal menyuratkan keharusan menyiarkan konten pilkada dalam berbagai program, baik siaran jurnalistik maupun non-jurnalistik. Media penyiaran harus menyampaikan informasi Pilkada pada era pandemi secara massif, dengan baik, berimbang dan adil. Media penyiaran harus taat pada regulasi yang dibuat penyelenggara. Kendati proses pengawasan tetap kewenangan KPI/KPID, termasuk ketidaktaatan media penyiaran akan berdampak pada jatuhnya sanksi.
Namun, potensi media penyiaran tersebut tampaknya belum “terbaca” oleh penyelenggara; masih dianggap “biasa-biasa saja”. Setidaknya hal itu tergambar dari substansi regulasi Pilkada Serentak pada masa pandemi. Kalau substansi UU Pilkada ekplisit sejak awal menyiratkan media massa, termasuk media penyiaran “hanya” diberi porsi berperan pada 14 hari masa kampanye. Hal yang sama ternyata terjadi juga pada PKPU No. No: 6 Tahun 2020.
Substansi PKPU sangat dominan “rasa” pandemi, nyaris setiap pasal yang mengatur tahapan Pilkada selalu dimunculkan protokol kesehatan. Namun, terkait peran media massa masih menggunakan pengaturan lama. Padahal tahapan Pilkada “rasa” pandemi harus segera dipahami seluruh penyelenggara dan peserta semua tingkatan, termasuk juga rakyat pemilih agar mereka dapat melaksanakan aturan tersebut.
Untuk mencapai tingkat pemahaman dan pelaksanaan yang merata sampai ke pemilih bukan pekerjaan mudah: KPU tidak akan mampu bekerja sendirian. KPU harus memiliki program kolaborasi yang maha super; harus mampu menggerakan semua potensi masyarakat, termasuk elemen strategis media massa. Namun, jika buktinya regulasi KPU tidak memberikan peluang banyak dalam optimalisasi peran media massa, maka ancaman rendahnya legitimasi pemilih berpotensi akan terjadi. ***
Mahi M. Hikmat, Dosen UIN Sunan Gunung Djati Bandung, Pengurus Ikatan Sarjana Komunikasi Indonesia (ISKI) Jawa Barat, Dewan Pakar ICMI Jawa Barat.
Sumber, Pikiran Rakyat 2 September 2020