Maulid Nabi: Ekspresi Kultural Mencintai Rasulullah SAW

Ilustrasi mencintai sosok Nabi Muhammad SAW / foto NU Online

UINSGD.AC.ID (Humas) — Ekspresi kultural dari umat Islam dalam mencintai Nabi Muhammad saw. sangat universal dan variatif di berbagai wilayah muslim dari masa ke masa. Karenanya, Louis Massignon (1883-1965) pernah berujar bahwa penghidmatan umat Islam terhadap Nabinya berada pada posisi kedua setelah “ritual ibadah penyembahan terhadap Allâh”. Dalam tradisi Muslim, penghormatan terhadap Nabi saw. tidak harus dipertentangkan dengan “penyembahan terhadap Allâh”, tetapi menjadi satu kesatuan utuh sebagai ajaran Islam yang kâffah.

Tradisinya sendiri mewujud dalam berbagai bentuk dari mulai pembacaan sholawat Nabi saw (dengan berbagai liturgi atau susunan redaksi sholawatnya), pembacaan biografi Nabi saw. (dalam bentuk prosa maupun dalam bentuk sya’ir), hingga tabligh akbar dalam memperingati kelahiran Nabi Muhammad saw. Semuanya membentuk tradisi pengkhidmatan terhadap sang Rasul mulia nan agung, Muhammad saw, sebagaimana ditulis oleh Annemarie Schimmel (1922-2003) dalam “Dimensi Mistik dalam Islam” (1975). Ekspresinya ada yang sama sebagai bagian dari “Tradisi Besar” (the great tradition), tetapi ada bagian yang berbeda sebagai “Tradisi Kecil” (the little tradition).

Saat diminta memegang mik di Fakultas Adab dan Humaniora UIN Sunan Gunung Djati Bandung pada peringatan Maulid Nabi saw tahun 2024.

Menjaga Tradisi

Karena tradisi kecintaan terhadap Nabi Muhammad saw ini begitu ekspresif dan semarak, maka tidaklah aneh jika banyak kalangan non-muslim melabeli umat Islam dengan sebutan “Mohammadenism”. Penyebutan ini disebabkan pengidentikkan dari kalangan non-muslim (Yahudi dan Nasrani, khususnya abad pertengahan) yang memberi nama ajaran berdasarkan pembawa risalahnya, serta karena tradisi pengagungan terhadap Kanjeng Nabi Muhammad sangat massif dan semarak.

Aktivitas penghormatan terhadap Nabi saw. bukanlah hal yang baru dalam Islam. Puja-puji terhadap Nabi saw diajarkan oleh Allâh swt, terutama dalam konteks “keimanan terhadap Nabi dan ajarannya”, sebagaimana digariskan dalam al-Qur’an. Begitu pula pujian para sahabat terhadap perilaku Rasulullâh sangat intens disampaikan, karena mereka merupakan saksi hidup dari keberadaan Nabi dan uswah hasanahnya. Mereka lakukan hal tersebut di saat Nabi hidup maupun saat sang Panutan Ummat telah kembali ke haribaan Allâh swt.

Dari masa ke masa, segala sisi kehidupan Nabi saw terus dinarasikan dan disampaikan antar generasi, sehingga sosok Nabi saw selalu “hidup” dan “aktual” di masyarakat Muslim, baik melalui tulisan maupun lisan. Ada saatnya segala ucapan, perbuatan, dan keinginan Nabi saw dikompilasi melalui tradisi tadwîn hadis (pembukuan hadits) dan aktivitas turunnya. Begitu juga dengan aspek karakter fisik, psikologi, dan akhlak Nabi ditulis secara rinci dalam tradisi penulisan “Syamâil Muhammadiyyah” dan “Sîrâh Muhammadiyyah”.

Begitu pula dengan madah-madah (pujian-pujian) terhadap sang Nabi saw ini terus lahir dari kantong tradisi kultur Muslim, terlebih ketika tradisi maulid Nabi saw mulai “terlembagakan” dalam budaya Muslim pada abad pertengahan hingga kini. Sebagian kalangan menisbahkan lahirnya tradisi peringatan maulid Nabi saw ini kepada zawiyah-zawiyah atau halaqah-halaqah sufi (atau tarekat), sedangkan sebagian lain menyebutkan tradisi ini dilembagakan secara “religio-politis” pada dinasti Fatimiyah (909-1171 M) dan Dinasti Ayyubiyah (1171-1250); kekuasaan keduanya berpusat di Mesir. Kedua dinasti ini memilki kesamaan strategi dalam menggunakan tradisi Maulid Nabi saw. Dinasti Fatimiyah menggunakannya untuk “mengukuhkan dimensi ahl al-bait dalam kekuasaannya”, sedangkan Dinasti Ayyubiyyah menggunakannya untuk membangkitkan semangat persatuan umat Islam dan sentimen anti-salibis.

Saat berziarah ke Makam Imam Bushiri pengarang Qashidah Burdah di Mesir bersama KH Mawardi, M.Ag dan KH Rizaldy. 07 Agustus 2024.

Merajut Ukhuwah Islam

Salah satu madah terhadap Rasulullâh adalah “Qashidah Burdah” karya Imam Bushiri (1213-1294). Sâhibul Qasidah menarasikan perjalanan hidup manusia agung dan uswah hasanah yang menginspirasi kebaikan hidup dan kehidupan manusia. Pada saatnya, Qasidah ini tidak hanya ekspresi kerinduan sang pengarang (author) terhadap sosok Nabi saw, tetapi mampu menjadi “perekat” untuk mempertahankan diri dari kehancuran umat Islam dari pasukan Mongol dan kaum Salibis. Imam Bushiri termasuk di antara ulama yang menjadi saksi perpindahan pusat kekuasaan Abbsiah dari Baghdad ke Mesir pasca Baghdad dikuasai oleh pasukan Mongol pada tahun 1258 M.

Saat itu, identitas ritual dan tradisi Muslim diperlukan untuk merekatkan kembali persatuan Islam yang retak akibat konflik internal dan gangguan pihak eksternal. Salah satu upayanya adalah melalui “gerakan kultural” dan “gerakan struktural” untuk menyatukan kekuatan muslim yang berserakan. Salah satunya adalah membangkitkan kembali “prophetic spirit”, yakni pembacaan sirah nabawiyah dan tradisi peringatan kelahiran Nabi Muhammad saw. Tentunya, pembacaan Qashidah Burdah adalah salah satu di antara kegiatan tersebut. Dari masanya hingga kini, Qasidah ini masih terus dibaca termasuk di Indonesia, terkhusus di kalangan pesantren dan masyarakat tradisional.

Setelah Qashidah Burdah lahir juga “Qashidah al-Barzanji” yang disusun oleh Syeikh al-Barzanji al-Kurdi (1716-1763 M). Qasidah ini pun menjelaskan riwayat hidup kanjeng Nabi Muhammad saw. dalam bentuk syair. Selain riwayat hidup, qasidah pun menarasikan berbagai akhlak mulianya, terutama pada sisi kemanusiaan dan kehumanisan sang panutan agung. Seratus tahun kemudian, Syeikh Habib Ali bin Muhammad bin Husin al-Habsi (1843-1915 M) menyusun “Simtud Durar”. Isi (substansi) kitabnya hampir sama dengan isi dari Kitab al-Barzanji dengan redaksi yang berbeda.

Kedua karya inipun banyak pembacanya di kalangan pesantren dan masyarakat muslim di Nusantara. Hampir dalam setiap peringatan kelahiran Nabi saw, karya-karya tersebut dibaca atau disenandungkan dengan penuh kekhusyuan dan penghayatan.

Dalam konteks masyarakat Sunda-Muslim, karya yang mengisahkan kehidupan Nabi Muhammad juga ditulis oleh beberapa orang. Di antaranya adalah “Syi’r Hisan” yang ditulis oleh Ajengan Juwaini bin Abdurrahman, seorang ajengan yang berasal dari Sukabumi. Karya ini ditulis pada tahun 1930an, namun populer pada tahun 1960an. Selain itu terdapat pula karya berjudul “Riwajat Kangjeng Nabi Moehammad” karya Wiranatakusumah ke V (atau dikenal juga dengan sebutan Dalem Haji, 1888-1965). Kedua karya ini memiliki akar tradisi literasi dan segmen pembaca yang berbeda. Syi’rul Hisan dianggit berdasarkan tradisi “historiografi pesantren” dan lebih diorientasikan untuk kalangan santri. Sedangkan, Riwajat Kangjeng Nabi Moehammad berangkat dari tradisi “historiografi Barat” dan segmen pembacanya adalah para priyayi (ningrat) dan kalangan Barat yang ada di Hindia Belanda.

Dadan Rusmana, Wakil Rektor I UIN Sunan Gunung Djati Bandung.

WhatsApp
Facebook
Telegram
Print
Twitter

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *