Aktivitas dakwah bagi umat Islam merupakan kewajiban yang taken for granted dalam rangka merealisasikan ajaran-ajaran-Nya, terutama yang berkaitan dengan aspek-aspek kemasyarakatan. Perwujudan ini adalah bagian dari refleksi Islam sebagai agama yang memberikan rahmat bagi seluruh alam semesta dengan kesediannya memberikan garansi hidup yang penuh dengan kebahagian dan kesejahteraan. Garansi ini dalam konteks sosiologis merupakan proses perubahan sosial yang linier, yakni pola perubahannya berdasarkan proses yang alami dengan kemestian yang tak terelakkan. Dengan kata lain, bahwa proses perubahan sosial yang diusung oleh Islam senantiasa mengikuti sunnatullah yang berlaku dari masa ke masa. Untuk itu, diperlukan piranti lunak (metodologi) yang up to date dalam merespon setiap proses perubahan sosial.
Bertolak dari perangkat metodologi inilah, setiap organisasi kemasyarakatan Islam yang sekaligus sebagai lembaga dakwah diharapkan dapat mengembangkan prakarsa, peran serta swadaya selruh masyarakat dalam memenuhi kebutuhan dan kepentingannya melalui proses tertentu. Sehingga setiap perkembangan dan pencapaian masyarakat merupakan momentum dari masyarakat itu sendiri. Oleh karena itu, setiap lembaga penyelenggara dakwah idealnya merupakan kelembagaan yang profesional dalam persoalan-persoalan keumatan. Dengan arti lain, lembaga tersebut didukung oleh sarana dan manajemen modern yang mencakup pemihakan kepada umat secara keseluruhan. Seperti halnya Persatuan Islam (Persis), mengalami dinamika dalam pertumbuhannya sesuai dengan perkembangan zaman, terbukti sampai sekarang masih mengalami keberadaannya meski tidak sebesar NU dan Muhammadiyah. Realitas penyebaran ajaran atau dakwah yang seringkali dapat menciptakan adanya out-group dan in-group dalam komunitas muslim di Indonesia. Hal in semakin menambah hiruk pikuknya dinamika umat Islam di Indonesia yang secara kultural mempunyai ciri khas tersendiri.
Perihal yang menarik dari pola dakwah yang dikembangkan Persis adalah, upaya para pemukanya (pemimpin atau asatidz) dalam mensosialisasikan ajaran melalui pendekatan yang unik bila dibandingkan dengan lembaga dakwah lainnya (NU, Muhammadiyah dan ormas Islam sejenis). Di masa tertentu, Persis lebih mengutamakan pola pengkaderan kepada sanak saudara dan kerabat dekat (internal) dari pada ekspansi ke masyarakat luas (eksternal), sehingga terkesan eksklusif dan tertutup. Tetapi dari hal ini pula yang membuat kader Persis menjadi militan dalam melaksanakan ajaran-ajarannya terutama yang berkenaan dengan masalah-masalah aqidah dan fiqh.
Penelitian tentang pola dakwah Persis ini dibatasi dari tahun 1990 sampai 2000. Hal ini karena ada tiga alasan, pertama, adanya pergantian pimpinan puncak (PP) dari kalangan “akademisi” meski berbeda gaya dan cara (style) – dari Latief Muchtar ke Shiddiq Amien. Kedua, pada masa-masa itu terjadi proses perubahan sosial-politik yang signifikan dalam konteks nasional, dan yang ketiga, dikarenakan untuk memudahkan dalam pencarian data sehingga penelitiannya lebih terfokus dan lebih signifikan terkait dengan model dakwah Persis yang kekinian dan kedisinian.
Islam dan Perubahan Sosial: Studi Kritis tentang Orientasi Program dan Kegiatan Dakwah PP. Persis dari tahun 1990-2010
WhatsApp
Facebook
Telegram
Print
Twitter
Artikel Populer
-
-
5 Februari 2020 Dekan, Kolom Pimpinan
-
18 Desember 2019 Dekan, Kolom Pimpinan
Inspiratif
Pojok Rektor
Berita Utama
-
Hari Ibu: Menag Harap Kaum Perempuan Makin Berdaya
22 Desember 2024 -
20 Desember 2024
-
Pentingnya Peran Ibu dalam Mewujudkan Generasi Emas 2045
19 Desember 2024