Ingin Selamat Dunia-Akhirat, Yuk Tinggalkan 6 Perkara

Muslimah Berdoa di Masjid (Foto: Shutterstock.com)
Muslimah Berdoa di Masjid (Foto: Shutterstock.com)

UINSGD.AC.ID (Humas) — Imam Wahb bin Munabbih, Syekh Imam Nawawi dalam kitab Nashaihul Ibad, halaman 77, menyatakan, ada enam perkara ini yang harus kita tinggalkan jika menginginkan keselamatan di dunia dan di akhirat:

Pertama, tinggalkanlah kemarahan, niscaya di akhirat kita akan bertetangga dengan Allah. Artinya, jika pandai menahan amarah, kita akan dekat dan bersahabat dengan Allah. Berkenaan dengan ini, Rasulullah SAW jauh-jauh hari sudah mengingatkan kepada kita semua:

لَيْسَ الشَّدِيْدُ بِالصُّرَعَةِ ، إِنَّمَا الشَّدِيْدُ الَّذِي يَمْلِكُ نَفْسَهُ عِنْدَ الْغَضَبِ

Artinya, “Orang kuat itu bukan yang kuat bergulat, melainkan orang kuat itu yang mampu mengendalikan nafsunya di kala marah,” (HR. Al-Bukhari).

Menurut hadits ini, ternyata orang hebat dan kuat, bukan yang teriakannya keras dan lantang, melainkan yang mampu mengendalikan hawa nafsu dan kemarahannya.
Begitu indahnya balasan Allah bagi orang yang mampu menahan emosi dan kemarahannya, sebagaimana diungkap dalam hadits berikut ini.

مَنْ كَفَّ غَضَبَهُ كَفَّ اللَّهُ عَنْهُ عَذَابَهُ

Artinya, “Siapa saja yang mampu menahan kemarahannya, maka Allah akan menahan azab-Nya dari orang itu,” (HR. Ath-Thabrani).

Kedua tinggalkan tipu daya dunia dan perkara yang haram, niscaya kita akan aman dan selamat pada hari Kiamat. Bukan berarti kita harus menolak dunia, karena tanpa dunia kita tidak akan bisa sampai ke akhirat. Namun, jangan jadikan dunia sebagai sebagai tujuan dan orientasi hidup. Justru jadikanlah sebagai fasilitas dan jembatan meraih kemuliaan akhirat.

Ingatlah bahwa kehidupan akhirat itu lebih bagus dan lebih kekal dari kehidupan dunia, sebagaimana difirmankan Allah dalam Al-Quran:

وَالْآخِرَةُ ‌خَيْرٌ وَأَبْقى

Artinya, “Dan akhirat itu lebih baik dan lebih kekal,” (QS. Al-A’la [87]: 17).

Mengapa kita tidak boleh menjadikan dunia sebagai tujuan? Sebab, sikap demikian hanya akan mendekatkan kita kepada sifat-sifat tercela seperti rakus, tamak, dan berani mengambil perkara syubhat, makruh, bahkan yang haram. Sementara jika kita sudah berani mengambil yang haram, maka dampaknya sangat banyak, seperti jauh dari terkabulnya doa, berat melaksanakan ibadah, hingga mendapat siksaan di akhirat. Ingat pesan Rasulullah SAW dalam haditsnya.

كُلُّ لَحْمٍ ‌نَبَتَ مِنْ حَرَامٍ فَالنَّارُ أَوْلَى بِهِ

Artinya, “Setiap daging yang tumbuh dari perkara haram maka neraka lebih utama baginya,” (HR. At-Tirmidzi).

Ketiga tinggalkan sifat sombong, niscaya di akhirat kita akan mulia di hadapan Allah Sang Maha Raja. Sungguh Allah tidak menyukai orang-orang yang sombong. Mengapa tidak menyukainya? Sebab, kesombongan adalah pakaian kebesaran-Nya. Makanya pantas jika orang yang memiliki sifat ini, di akhirat akan berjumpa dengan Allah dalam keadaan murka kepadanya. Demikian sebagaimana penuturan Rasulullah dalam haditsnya.

مَا ‌مِنْ ‌رَجُلٍ ‌يَتَعَاظَمُ فِي نَفْسِهِ وَيَخْتَالُ فِي مِشْيَتِهِ إِلَّا لَقِيَ اللَّهَ وَهُوَ عَلَيْهِ غَضْبَانُ

Artinya, “Tidaklah seorang laki-laki yang menyombongkan diri dalam hatinya dan bergaya congkak dalam gaya berjalannya, kecuali akan berjumpa dengan Allah dalam keadaan marah kepadanya,” (HR. Ahmad).

Pantas dalam hadits lain disampaikan, tidak akan masuk surga orang yang dalam hatinya masih ada kesombongan walaupun sebesar biji sawi. Apa yang mau kita sombongkan? Semuanya hanya sekadar titipan yang akan diambil dan kita pertanggung-jawabkan.

Keempat, tinggalkan  sikap berlebihan dan tidak ada maknanya, niscaya kita akan dikumpulkan bersama orang-orang baik. Sikap berlebihan ini, menyangkut dalam segala hal, baik dalam pembicaraan, perbuatan, makanan, tidur, bahkan dalam ibadah sekalipun. Pantas Allah mengingatkan dalam Al-Quran:

وَّكُلُوْا وَاشْرَبُوْا وَلَا تُسْرِفُوْاۚ اِنَّهُ لَا يُحِبُّ الْمُسْرِفِيْنَ

Artinya, “Makan dan minumlah, tetapi jangan berlebih-lebihan. Sungguh, Allah tidak menyukai orang yang berlebih-lebihan,” QS. Al-A’raf [7]: 31).

Begitu pun dengan sikap sia-sia tanpa makna. Rasulullah sudah memberi isyarat kepada kita bahwa tanda baiknya keislaman seseorang dilihat dari seberapa jauh dia meninggalkan hal-hal yang tidak ada maknanya.

مِنْ حُسْنِ إِسْلَامِ الْمَرْءِ تَرْكُ مَا لَا يَعْنِيْهِ

Artinya, “Di antara tanda baiknya keislaman seseorang adalah meninggalkan hal-hal yang tak bermakna baginya,” (HR. At-Tirmidzi).

Kelima, tinggalkanlah permusuhan dan persengketaan, niscaya selamat dan beruntung pada hari Kiamat. Kewajiban meninggalkan permusuhan dan perintah berdamai ini sudah disampaikan dalam Al-Quran:

اِنَّمَا الْمُؤْمِنُوْنَ اِخْوَةٌ فَاَصْلِحُوْا بَيْنَ اَخَوَيْكُمْ وَاتَّقُوا اللّٰهَ لَعَلَّكُمْ تُرْحَمُوْنَ

Artinya, “Sesungguhnya orang-orang mukmin itu bersaudara, karena itu damaikanlah kedua saudaramu (yang bertikai) dan bertakwalah kepada Allah agar kamu dirahmati,” QS. Al-Hujurat [49]: 10).

Melalui ayat ini, Allah menegaskan bahwa sesama mukmin itu adalah bersaudara, sehingga tidak boleh berseteru dan bermusuhan. Sebab, boleh jadi jika permusuhan itu tidak diselesaikan di dunia, akan berlanjut di akhirat. Akibatnya, kita bersetaru akan saling sandera dan saling sita amal kebaikan di akhirat.

Keenam, tinggalkanlah kekikiran dan sifat bakhil atau pelit, niscaya kita akan disebut-sebut di hadapan para makhluk. Disampaikan Rasulullah SAW, tidak akan berkumpul antara keimanan dengan kekikiran.

لَا يَجْتَمِعُ الْإِيْمَانُ وَالْبُخْلُ فِي قَلْبِ رَجُلٍ مُؤْمِنٍ

Artinya, “Tidak akan berkumpul keimanan dan kekikiran dalam hati seorang mukmin,” (HR. Ibnu Sa’d).

Jika memperhatikan hadits di atas, sifat kikir bukanlah sifat seorang mukmin. Sebab, tidak akan berkumpul antara sifat iman dengan sifat kikir. Maka sebagai komitmen kita sebagai seorang mukmin, tinggalkanlah sifat itu dan segera menggantinya dengan sifat dermawan dan murah hati.

A. Rusdiana, Guru Besar UIN Sunan Gunung Djati Bandung

 

WhatsApp
Facebook
Telegram
Print
Twitter

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *