UINSGD.AC.ID (Humas) — Dalam perjalanan awal November 2024, saya kembali diberikan izin untuk bertugas membimbing umrah. Bersama rombongan terdapat satu jemaah kecil kami bernama Harsyad usia 9 tahun. Bersama Ayah dan Bunda nya, ia terlihat bahagia menikmati perjalanan, ibadah umrah dan ibadah-ibadah lainnya.
Ada fenomena menarik saat thawaf wada’ sebelum melanjutkan perjalanan ke Madinah dan meninggalkan Mekkah. Pada putaran thawaf terakhir Harsyad naik ke pundak ayahnya dan melambaikan tangan seraya berteriak “bye bye… kabah”. Sontak teriakan itu mengundang perhatian jemaah termasuk saya. Setelah selesai, kami segera mencari tempat kosong yang leluasa untuk shalat dan berdo’a. Harsyad kembali mencuri perhatian karena menangis sejadi-jadinya hingga tersedu-sedu, saat ditanya kenapa nangis, ia menjawab “sedih mau meninggalkan kabah”.
Fenomena ini nampaknya menjadi pelajaran berharga kita orang dewasa. Betapa konektifitas ruhani disyaratkan memiliki kejernihan hati seperti yang dimiliki Harsyad. Pengakuan dari orang-orang yang sering umrah dan haji, kesyahduan masing-masing perjalanan umrah ataupun haji beda-beda. Biasanya yang pertama lebih syahdu daripada perjalanan kedua dan seterusnya. Menyikapi ini, Umar bin Khattab memerintahkan: “Evaluasi lah diri kalian sebelum kalian dievaluasi!”. Perintah inilah yang berkembang menjadi konsep muhasabatunnafs yang dalam bahasa pendidikan menjadi istilah evaluasi. Dengan demikian, evaluasi diri bertujuan untuk melihat, mempelajari, dan menilai kualitas diri.
Diantara bahan evaluasi setiap diri yaitu bahwa tangisan syahdu penuh rindu saat melaksanakan ritual ibadah merupakan fenomena ruhani yang terindikasi bersih dari dosa dan berbagai penyakit hati lainnya seperti ingin terpandang dihadapan makhluk (riya), ingin didengar dan diikuti pendapatnya (sum’ah), kehilangan rasa empati dan simpati (hasad), dan puncaknya kesombongan (takabur). Jika dibiarkan, penyakit-penyakit tersebut akan membuat ruhani kotor bahkan “korosif”.
Dalam kitab Muqodimah Hasyiah Ibnul Abidin jilid ke-1 halaman 67 dikisahkan Imam Abu Hanifah melihat seorang anak kecil yang sedang bermain-main lumpur, lalu beliau menghampirinya dan berkata: “Wahai anak kecil, hati-hati nanti kamu jatuh terpeleset ke tanah”. Anak kecil tersebut menjawab perkataan sang Imam: “Hati-hati juga dirimu dari jatuh (ke dalam kesalahan), karena jatuhnya seorang alim akan bisa menjadikan jatuhnya dunia. Maka semenjak mendengar ucapan tersebut Imam Abu Hanifah enggan untuk memberi fatwa kepada manusia melainkan setelah terlebih dahulu mempelajari isi pertanyaan dan mendiskusikan bersama murid-muridnya selama sebulan penuh.
Pada usia yang berbeda jauh antara anak kecil dan orang tua akan menemukan satu kondisi ruhani yang sama-sama peka terhubung kepada Allah SWT. Dalam Al-Quran, Nabi Ibrahim As berdo’a: “Ampunilah ayahku! Sesungguhnya dia termasuk orang-orang sesat. (Yaitu) pada hari ketika tidak berguna (lagi) harta dan anak-anak. Kecuali, orang yang menghadap Allah dengan hati yang bersih.” Q.S. As-Syu’ara: 87-89.
Jasmani, ruhani, dan pikiran yang bersih merupakan dambaan setiap insan dengan pancaran pada sikap dan tutur kata yang sopan selalu dapat menerima kebenaran tak pandang atasan, teman, ataupun bawahan. Setiap peristiwa diposisikan sebagai guru dan sebaik-baik guru ialah pengalaman. Anak yang menasehati Imam Abu Hanifah dan Harsyad sejatinya guru kecil yang memberi nasehat besar agar setiap orang senantiasa belajar bahwa setiap detik dalam kehidupan senantiasa menjadi pelajaran. Wallahu a’lam.
Rohmanur Aziz, Pembimbing Tours & Travel Mumtaaz Group Khalifah Bandung dan Ketua Program Studi Pengembangan Masyarakat Islam (Islamic Community Development) FDK UIN Sunan Gunung Djati Bandung.