Amandemen Inkonstitusional dan Perluasan Kewenangan Mahkamah Konstitusi

(UINSGD.AC.ID) — Saat ini, nyaris terjadi kekosongan hukum mengenai amandemen Konstitusi. Dalam situasi politik tertentu bisa saja amandemen merambah nilai-nilai fundamental dari norma Konstitusi. Apakah ideologi dan bentuk negara, atau hal fundamental bernegara lainnya, bisa dijamin tidak akan diamandemen? Perlu disiapkan “barikade yuridis” untuk melindungi nilai-nilai fundamental bernegara dengan cara merumuskan kewenangan hukum yang akan menilai bahwa suatu amandemen dinyatakan inkonstitusional.

Salah satu asas hukum yang terkenal berbunyi actio popularis. Makna umum asas ini mengajarkan bahwa setiap anggota masyarakat memiliki hak untuk mengambil tindakan hukum demi membela kepentingan publik. Banyak ilmuwan Hukum Tata Negara, melalui asas actio popularis, mendalilkan bahwa rakyat memiliki hak untuk menentang amandemen yang inkonstitusional. Melalui asas tersebut pula mereka mendudukkan amandemen sebagai jenis Undang-undang produk legislasi yang dapat ditinjau ulang. Lalu, institusi apa yang merefresentasikan hak rakyat untuk melakukan tindakan hukum dalam menentang amandemen inkonstitusional?

Perluasan Yurisdiksi Mahkamah Konstitusi

Secara fungsi, kita telah bersepakat bahwa Mahkamah Konstitusi (MK) berperan sebagai penjaga supremasi Konstitusi. Supremasi Konstitusi yang sebenarnya adalah terlindungi nilai-nilai fundamental bernegara di dalamnya agar selalu ajeg menjadi pedoman. Oleh karena itu, MK memiliki kewenangan dan peran perlindungan tersebut dilihat dari sisi terminologi sebagai Mahkamah yang menjaga Konstitusi dari amandemen inkonstitusional. Tanpa Undang-undang yang mengatur yurisdiksi khusus pun, MK sejatinya telah memiliki kewenangan melekat, dari sisi nama institusinya, untuk menentang atau meninjau amandemen yang cacat substansi, yaitu amandemen yang mengancam nilai-nilai fundamental bernegara. MK (seharusnya) berwenang untuk menguji konstitusionalitas amandemen UUD, menilai bahwa sebuah amandemen tidak sesuai dengan semangat konstitusionalitas Konstitusi, dan menyatakan bahwa sebuah amandemen cacat substansi, tanpa menyatakan cacat prosedural.

Kalau tidak diberi kewenangan secara otomatis dari identitasnya, kita harus mengupayakan perluasan yurisdiksi MK untuk mengadili amandemen inkonstitusional. MK harus dijadikan berdaya secara yuridis untuk memastikan bahwa prinsip-prinsip demokrasi, kebebasan, hak asasi manusia, dan hal-hal fundamental lainnya tetap terjaga dalam Konstitusi. Amandemen apapun yang bertentangan dengan norma-norma fundamental konstitusionalitas dapat dinyatakan inkonstitusional oleh MK.

MK (mestinya) diberi ruang lebar untuk membuat norma yang membatasi amandemen Konstitusi. Amandemen tidak boleh dilakukan, antara lain, terhadap ideologi dan bentuk negara. Dalam situasi politik tertentu, ideologi dan bentuk negara bisa saja diganggu oleh aktor negara yang ingin “panjat politik (political climb)” atau oleh aktor politk ideologist yang bernafsu agar agenda ideologisnya melenggang ke dalam tatanan bernegara.

Argumentasi Peninjauan dan Hambatan Perluasan

Secara akademik, peninjauan amandemen dapat didasarkan pada tiga argumen, yaitu argumen delegasi, argumen pragmatis, dan argumen stabilitas. Argumen pertama menegaskan bahwa segala jenis peninjauan terhadap teks konstitusi asli harus ditutup, tidak diberi ruang, karena konstitusi asli merupakan hasil karya dari kekuasaan konstituen (rakyat). Argumen kedua menegaskan bahwa amandemen atau penggantian konstitusi perlu dicegah untuk menghadang ancaman realistis terhadap ideologi negara melalui konstitusionalisme yang menyimpang. Argumen ketiga menegaskan bahwa jika pengadilan membatalkan amandemen maka tidak akan ada gangguan dari para aktor politik terhadap norma dan status quo Konstitusi.

Tiga argumen di atas dapat dijadikan aras perluasan yurisdiksi MK dalam meninjau amandemen, untuk memagari Konstitusi dari “gangguan” pragmatis dan ideologis. Kemunculan aktor-aktor non-negara yang memiliki “kekuasaan konstitusi” merupakan tantangan terhadap supremasi Konstitusi. Organisasi internasional dan perusahaan transnasional, termasuk kekuatan sosial semi-politik yang memiliki agenda ideologis, dapat muncul sebagai aktor berpengaruh yang dapat memengaruhi, bahkan mengubah, konstitusi suatu negeri. Sementara itu, cita rasa kekuasaan yang terasa “manis” dan menggiurkan membuai pikiran pragmatis para aktor politik untuk terus menggenggamnya melalui berbagai cara, salah salah satunya membidik arena Konstitusi melalui amandemen.

Perluasan atau otomatisasi yurisdiksi MK dalam meninjau amandemen memang akan menimbulkan risiko dan berbiaya politik cukup mahal. MK harus menghadapi Kekuatan Super sebagai kelompok mayoritas yang telah susah payah meloloskan amandemen. Bisa saja Mayoritas Super ini akan menghukum MK dengan menentang keputusannya, mengebiri yurisdiksinya, dan—buruk-buruknya—bisa membubarkannya. Sebagai cabang yudikatif, MK merupakan cabang kekuasaan yang tetap lemah karena bergantung pada cabang lainnya, dalam hal ini cabang legislatif.

Selanjutnya, sebagai negara yang menganut uji materi model Eropa, kompetensi MK untuk meninjau konstitusionalitas amandemen Konstitusi (memang) harus secara eksplisit disebut dalam Undang-undang. Berdasar model Erofa, sebagai peradilan khusus, MK tidak memiliki “yurisdiksi umum”, hanya memiliki “yurisdiksi khusus dan terbatas”. MK tidak mempunyai yurisdiksi untuk meninjau seluruh norma dan tindakan hukum, hanya yurisdiksi eksplisit yang diberikan oleh Undang-undang.

Konstitusi kita tidak memberi secara tegas kewenangan yurisdiksi kepada MK untuk meninjau amandemen, tapi juga tidak melarangnya. Seolah-olah MK tidak berdaya karena tanpa dibekali kewenangan eksplisit melakukannya.
Sebenarnya, ada celah doktrinal dalam salah satu asas Hukum Tata Negara Islam klasik, yang menyatakan “segala sesuatu boleh dilakukan sampai ada ketentuan yang melarangnya.” Asas ini, dan beberapa asas hukum ketataannegaraan lainnya, dapat digunakan oleh MK sebagai penyandang identitas Pengadilan Konstitusi—sebelum mendapatkan kewenangan eksplisit dari Undang-udang—untuk melakukan peninjauan amandemen. Melalui doktrin ini MK memiliki “yurisdiksi umum” yang berhubungan dengan seluruh tindakan hukum pada Konstitusi, sehingga kewenangan MK untuk meninjau konstitusionalitas amandemen tidak bersifat eksepsional melainkan inklusi dalam statusnya sebagai “Mahkamah untuk Konstitusi”.

Prof. Ija Suntana, Guru Besar Ilmu Hukum Tata Negara UIN Sunan Gunung Djati Bandung

WhatsApp
Facebook
Telegram
Print
Twitter

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *