Tahun ke tahun, dunia akan berputar sampai pada apa yang semestinya datang. Dalam peribahasa Arab kerap disebutkan fakullu maa hua aatin-aatun.
Ramadhan hadir setelah Sya’ban, dan senantiasa doa yang diajarkan adalah permohonan keberkahan di bulan Rajab dan Sya’ban serta mohon disampaikan pada Ramadhan. Ramadhan pasti berlalu, demikian pula halnya momentum lain.
Nabi Muhammad SAW mengingatkan kita di hari-hari terakhir Ramadhan, sebagaimana hadis yang diriwayatkan oleh Jabir radhiyallahuanhu,: “Ketika datang akhir malam bulan Ramadhan, langit dan bumi, serta para malaikat menangis karena merupakan musibah bagi umat Nabi Muhammad SAW. Sahabat bertanya: Wahai Rasulullah, musibah apakah itu? Rasulullah menjawab: lenyaplah bulan Ramadhan karena sesungguhnya doa-doa di bulan Ramadhan dikabulkan, dan sedekah diterima, kebaikan dilipat gandakan, dan adzab ditolak.”
Makhluk-makhluk lain begitu sangat sedih ditinggalkan Ramadhan, sebagaimana digambarkan Nabi Muhammad. Hal tersebut menunjukkan keutamaan Ramadhan yang sudah menjadi taken for granted. Di akhir Ramadhan juga terdapat malam yang lebih baik dari seribu malam, Lailatul Qadar.
Beberapa tahun terakhir, muncul fenomena menarik di lingkungan Muslim kita, ditambah dengan derasnya arus teknologi. Begitu masif upaya saling mengingatkan antarsesama Muslim untuk memaksimalkan ibadah di bulan Ramadhan.
Bukan saja orang tua yang memang “telah masanya” untuk dekat dengan masjid, akan tetapi anak-anak muda dengan style-nya masing-masing berburu iktifaf di malam-malam ganjil Ramadhan, ditambah dengan kajian-kajian yang up to date. Maka, di malam-malam ganjil kita menyaksikan undangan untuk menghadiri berbagai upaya menggapai momentum istimewa di bulan Ramadhan.
Identitas kelompok menunjukkan jati dirinya, seolah-olah ingin mengaktualisasikan “kami-lah yang mungkin dekat dengan Ramadhan dan mungkin mendapatkan Lailatul Qadar”.
Saling berebut pengaruh dan menunjukkan identitasnya, itu potret lain yang penulis lihat. Pada beberapa kesempatan Islam juga mengajarkan untuk menunjukkan identitas Muslim kita, misalnya dalam Surah Ali ‘Imran ayat 64.
Identitas Muslim harus muncul pada saat yang tepat. Miris jika selalu menghidupkan identitas diri di hadapan sesama Muslim. Memberikan identitas Muslim kepada non-Muslim, telah banyak dilakukan dan berdampak sangat positif dalam mensyiarkan Islam.
Sebagai contoh, para pemain sepak bola Muslim di liga Inggris. Identitas Muslim mereka menginspirasi dan mendorong pemahaman Islam yang lebih komprehensif serta mendorong rasa ingin tahu. Bahkan tahun 2020 populasi menembus 3 juta orang.
Sejatinya Ramadhan pasti berlalu, bagaimana kita mengisinya menjadi sangat penting. Dan tentu harus dengan ilmu untuk mendapatkan keutamaan Ramadhan.
Wallahu a’lam.
Sumber, Republika 8 Mei 2021