(UINSGD.AC.ID)-Program Studi Ilmu Politik (Ilpol) Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik (FISIP) UIN Sunan Gunung Djati Bandung bekerjasama dengan Program Studi Kajian Budaya dan Media (KBM) Sekolah Pascasarjana Univeritas Gadjah Mada menggelar Diskusi Buku Gerak Kuasa bertajuk Wacana Diaspora dan Siasat Ruang Ambang: Paul Gilroy dan Homi Bhabha melalui aplikasi zoom meeting, Jum’at (27/11/2020) dari pukul 19.00-21.30 WIB.
Dr. Kris Budiman, Univeritas Gadjah Mada, Dr Ikwan Setiawan, Universitas Jember (Penulis Buku) tampil menjadi narasumber yang dipembahas oleh Asep M Iqbal, Ph.D, Dosen FISIP UIN Sunan Gunung Djati Bandung, Prof Rachmi Diyah Larasati, Dosen University of Minnesota, USA, dipandu oleh Dr. Muslim Mufti, M.Si, Dosen Prodi Ilmu Politik FISIP UIN Sunan Gunung Djati Bandung yang dibuka secara langsung oleh Dekan FISIP, Prof. Ahmad Ali Nurdin, MA., Ph.D.
Dalam sambutannya Prof Ali sangat mengapresiasi kegiatan ilmiah dengan model kolaborasi antar lembaga untuk menjadi tradisi yang baik bagi pengembangan kelembagaan. “Saya memberikan apresiasi yang setinggi-tinginya atas kerjasama antara Program Studi Ilmu Politik FISIP UIN Sunan Gunung Djati Bandung dengan Program Studi Kajian Budaya dan Media Sekolah Pascasarjana UGM. Saya kira ini tradisi bagus kolaborasi antara dua lembaga, mudah-mudahan bisa terus ditingkatkan,” tuturnya.
Prof. Ali menegaskan kolaborasi lembaga ini diharapkan dapat berkontribusi bagi pengembangan keilmuan, termasuk bidang ilmu politik dan ilmu-ilmu sosial lainnya. “Kerjasama ini penting sebagai ikhtiar kita dalam menyebarkan ilmu. Oleh karena itu, kolaborasi ini perlu ditindaklanjuti. Jika kerjasama ini dimulai dengan diskusi buku, maka selanjutnya bisa kerjasama dalam bidang penelitian dan bidang lainnya,” tegasnya.
Dr. Kris Budiman, salah satu penulis buku Gerak Kuasa, dalam pemaparannya menyampaikan bahwa Paul Gilroy adalah keturunan Guyana; kelahiran London, 16 Februari 1956. Tulisan-tulisannya mencakup kajian kulit hitam; sejarah, politik ras(isme) dan resistensi terhadapnya; iklan politik; musik diaspora; video musik; komedi dan karya-karya seni lain; arkeologi sastra dan budaya. Bukunya yang dianggap monumental adalah The Black Atlantic: Modernity and Double Consciousness (1993), yang mengeksplorasi diaspora kulit hitam di Amerika dan Eropa.
Dosen Kajian Budaya dan Media UGM ini, menuturkan diaspora diasosiasikan dengan pergerakan-pergerakan antarlokasi, bahkan dislokasi, dan citra-citra perjalanan yang beragam. “Diaspora: Proses-proses migrasi, baik yang disebabkan oleh keterpaksaan (diaspora politis) ataupun secara sukarela (diaspora kultural) – Homi K. Bhabha,” tuturnya.
Menurut Dr. Kris dalam kajian pascakolonial diaspora mengacu kepada fenomena geografis sekaligus konsep teoretis: suatu cara pandang atas pergerakan manusia, kapital, dan informasi global. “Politika diaspora (diaspora politics): diaspora bukan sekadar perpindahan atau pengembaraan, sebab ada faktor kekerasan (perang, kelaparan, perbudakan, dll.) yang menjadi unsur integralnya. Puitika diaspora (diaspora poetics): dimensi kewacanaan diaspora, seperti tampak pada wacana kesastraan dan ekspresi artistik lainnya, yang menjadi kekuatan budaya ekspresifnya,” tambahnya.
Dalam closing statementnya, pengampu mata kuliah media dan politik representasi ini mengutarakan, diskusi seperti ini sangat baik, terutama bagi civitas yang selama ini berada di jalur yang mono disipliner. Untuk kemudian bisa mengenal dan menengok keluar. Termasuk keluar dari tempurungnya, untuk melihat dunia dengan perspektif inter-displiner. “Siapa tahu dari lingkungan ilmu politik masuk pada kajian-kajian, dalam bahasa Jawa, berani ‘nyempal’ dari mainstream,” paparnya.
Kehadiran buku Gerak Kuasa ini kata Dr. Ikwan Setiawan pada awal presentasinya menyampaikan titik berangkat Homi Bhaba adalah masa lalu kolonial, masa kini: kompleksitas; Keberantaraan, kegandaan, melampaui; Mengganggu kekuasaan berbasis politik perbedaan; Produktivitas teoretis, resistensi, strategi politiko-kultural.
Bagi Bhabha, titik tekan pascakolonialisme sebagai kajian humaniora bukanlah pada proses politik, ekonomi, dan sejarah, melainkan pada kompleksitas dan dinamika kultural—internal maupun eksternal—di negara pascakolonial tanpa meninggalkan keterkaitan dengan proses kolonial. “Pada titik itulah cara kerja pascakolonialisme dalam memahami produk representasional dan praktik sehari-hari bisa digunakan untuk memahami relasi kuasa—neoliberal, misalnya—dalam kompleksitas kultural yang berlangsung, tanpa meninggalkan pertimbangan kontekstual,” ujarnya.
Dosen Universitas Jember ini menyampaikan pascakolonialisme seharusnya memberikan perhatian kepada krisis berkelanjutan yang disebabkan oleh kapitalisme global; strategi kapitalis untuk mengendalikan permainan dari dalam negara pascakolonial dengan menciptakan dan memperkuat sekutu dalam menjalankan mekanisme neoliberal. “Pascakolonialitas menyamarkan relasi kuasa yang membentuk jagat tumpang tindih sembari mengkonsolidasikan hegemoni dan menyubversi resistensi,” ungkapnya.
Pemikiran pascakolonial Bhabha itu menurut Dr. Ikwan telah memperkaya cultural studies untuk isu-isu diaspora, pascakololonialitas sehasi-hari di negara pascakolonial, industri budaya pascakolonial, isu identitas, dan yang lain.
Dr. Ikwan mengajak semua peserta diskusi buku untuk akrab dengan kebudayaan. “Mari kita kemudian memahami detil-detil kebudayaan kita, karena banyak hal yang kita anggap biasa, kita remehkan, yang ternyata bisa memunculkan berbagai macam kompleksitas, dan kita bisa berteori dari hal-hal yang kita remehkan tersebut”, tuturnya.
Dalam kacamata pembahas Asep M Iqbal, Ph.D., secara umum memberikan penghargaan terhadap isi buku Gerak Kuasa. Buku ini dapat menjadi pegangan bagi para pengkaji ilmu sosial dengan pendekatan lintas disiplin ilmu. “In general, telah berhasil menjadi pengantar yang baik bagi cultural studies, dan kajian budaya dan media. Kontribusi bagi khazanah kajian budaya di Indonesia. Buku langka di Indonesia: handbook, reader. In particular, kontribusi Bhabha bagi kajian postcolonial studies. Kontribusi Bhabha bagi kajian diaspora,” ungkapnya.
Namun demikian, Direktur Centre for Asian Social Science Research (CASSR) ini memberikan tantangan sekaligus kritik terhadap isi buku yang dinilainya kurang ada keseimbangan antara konten budaya dan konten media. “Aspek medianya kurang disentuh; hanya ada dua artikel (Ratna Noviani, “Politik Representasi di Era Serbamedia”; Suzie Handajani, “Perempuan-perempuan di Internet: Membahas Gender Bersama Angela McRobbie”). Bhabha diperkenalkan dengan baik. Tapi, konsep Bhabha dalam memahami budaya dan media kurang elaborasi. Konsep Bhabha dijelaskan dalam topik diaspora, namun sekilas,” tandasnya.
Secara khusus, apresiasi juga diberikan kepada pemikiran Homi K Bhabha. ”Kontribusi bagi postcolonial studies, or cultural studies in general. Konsep “ambivalence”, “mimicry”, “mockery”, “fixity”, “hybridity”, “third space”. Culture is not something static or essentialist— it is hybrid, dynamic, productive— not a noun, but a verb,” tuturnya.
Di balik semua itu kata Asep setiap karya tentu ada tantangan dan kekurangan. “Tulisan Bhabha susah dipahami, tidak konsisten, kedua setelah Judith Butler (American philosopher and gender theorist). “Study on Indonesian diaspora: sedikit, fokus pada exiles korban 1965; Masih sedikit lagi tentang Indonesian diaspora yang non-politis: sukarela, alasan ekonomi, studi, dsb,” ujarnya.
Bagi Prof Rachmi Dyah Larasati menilai buku ini ada keunggulan dan memiliki kekuatan tersendiri dari pemikiran Paul Gilroy maupun Homi K Bhaba. Tentunya, dijumpai juga titik-titik kelemahannya.
Profesor University of Minnesota, USA ini memberikan masukan bahwa konteks keaslian adalah mengenai pertanyaan bagaimana dedikasi kepada apa yang diperjuangkan. “Hal ini akan menandai bagaimana konteks perbedaan, atau politics of difference, yang disampaikan oleh Paul Gilroy dan Homi Bhabha,diranahkan kepada registrasi hal-hal yang dianggap mampu berbicara balik kepada kekuasaan, entah itu di sekeliling kita, entah itu dalam relasi kolonial, entah itu dalam pikiran kita sendiri. “Diaspora Indonesia dan diaspora dunia membutuhkan sebuah konteks kontribusi dan berbicara langsung tentang bagaimana kesejarahan yang tidak melahirkan kekerasan,” jelasnya.
Digelarnya buku buku Gerak Kuasa secara virtual ini, Dr. H. Asep A. Sahid Gatara, M.Si, Ketua Program Studi Ilmu Politik, menyampaikan dasar dan sasaran diselenggarakannya kolaborasi diskusi buku Gerak Kuasa. Dr. Sahid Gatara menyampaikan sampai saat ini praktik kolonisasi masih beroperasi pada sejumlah bidang kehidupan, termasuk bidang kehidupan produksi pengetahuan. “Keberhasilan perjuangan kemerdekaan atau dekolonisasi politik pasca perang Dunia II bangsa-bangsa Asia dan Afrika ternyata belum merata pada praktik-praktik produksi pengetahuan, termasuk ilmu politik. Dekolonisasi hanya sebatas pembebasan tubuh dan ruang-ruang geografis atau teritorial. Kolonisasi senyatanya masih terus menancapkan kuasa-kuasanya di keseluruhan cara hidup yang dilakoni manusia. Hal itu terutama berlangsung di negara-negara pascakolonial, termasuk negara Indonesia,” ungkapnya.
Dr. Sahid Gatara menegaskan praktik kolonisasi ini harus diakui juga sesungguhnya beroperasi dalam ilmu politik. “Ilmu politik sebagai produsen sekaligus produk pengetahuan belum bisa benar-benar terbebas dari kolonisasi. Padahal produk-produk ilmu politik telah banyak digunakan dalam berbagai kehidupan berbangsa dan bernegara. Suatu cara bagaimana hidup bersama dengan dasar pengetahuan ketuhanan, kemanusiaan, kesatuan, permusyawaratan, dan keadilan,” paparnya.
Oleh karena itu, kehadiran diskusi buku Gerak Kuasa ini bertujuan untuk membuka sinergi penguatan dekolonisasi produksi pengetahuan yang selama ini tengah terus digulirkan oleh Kajian Budaya dan Media Sekolah Pascasarjana UGM.
Dengan mengutip pandangan Muto (2010) dalam Budiawan (2020), lulusan S2 Ilmu Politik Universitas Indonesia (UI) ini menyampaikan bahwa dekolonisasi terutama ditujukan terhadap kuasa-kuasa imperial. Kuasa yang bukan sekedar penaklukan politik dan ekonomi, melainkan juga penaklukan pikiran dan budaya. Kuasa yang bermuasal dari Eropa sebagai benua yang dihuni sejumlah negara-negara penjajah. Benua yang tidak hanya dilihat sebagai ruang geografis semata, namun juga sebagai suatu kerangka berpikir yang menempatkan Eropa atau Barat sebagai kacamata dominan—jika bukan tunggal—atas “semesta realitas”, termasuk “realitas diri kita”. Di situ, Barat menempatkan diri sebagai pencipta standar universal.
Tentu sinergi seperti ini menurut Dr. Sahid Gatara sangat bermanfaat, baik secara praktis maupun secara teoritis. Secara praktis sinergi ini diharapkan dapat memproduksi ruang-ruang pengetahuan bagi rujukan bagaimana merumuskan dan menetapkan kebijakan dalam segala usaha pembangunan manusia yang seutuhnya, baik dalam ekonomi dan politik maupun dalam hal pikiran dan budaya. Kebijakan yang terbebas dari bayang-bayang kolonialisme, hantu yang hegemonik serta anti-humanis.
Sedangkan secara teoritis, sinergi ini diharapkan bisa menghadirkan sekaligus melanjutkan tradisi-tradisi multi-disiplin ilmu pengetahuan dalam membaca penomena-penomena yang berdimensi politik. Baik politik dalam pengertian beroperasinya kuasa-kuasa tertentu dalam keseluruhan cara hidup yang dilakoni umat manusia, maupun politik dalam pengertian perihal yang berhubungan dengan bagimana kepentingan publik atau kebaikan bersama diperhatikan, ditegakan, dan dilakoni.
“Alhamdulillah, kegiatan diskusi buku yang didukung penuh oleh Centre for Asian Social Science Research (CASSR) itu diikuti pendaftar lebih dari 350 orang. Semoga dengan adanya kegiatan ini dapat meningkatkan atmosfir civitas akademik yang lebih baik. Suasana pandemi Covid-19 tidak menjadi penghalang untuk melakukan tradisi bedah buku dalam rangka meningkatkan proses pembelajaran dan mutu akademik,” pungkasnya. []