Lepas dari itu, kehadiran politik, baik dalam sistem demokrasi maupun dalam sistem otoriter, selalu dirongrong dari kesejatiannya. Salah satu rongrongan itu kerap bersumber dari niat atau motif individu-individu atau kelompok individu dalam berbicara atau terlibat dalam politik.
Terkait dengan motif dalam politik ini, terdapat sebuah penelitian disertasi yang menarik pada awal tahun 2013 ini. Di mana, salah satu temuan penelitiannya menegaskan, bahwa motif pertama dari mayoritas orang terlibat dalam politik, terutama menjadi anggota legislatif, adalah motif ekonomi. Disertasi ini dipertahankan oleh Pramono Anung Wibawa (Wakil Ketua DPR RI) pada Sidang Terbuka Universitas Padjajaran (11/1).
Hasil penelitian itu menarik untuk disimak lebih jauh. Terutama, bila dikorelasikan dengan perwajahan politik Indonesia dewasa ini.
Sebagaimana diketahui publik, sejauh ini wajah politik Indonesia terus-menerus dijejali kegaduhan, kecarut-marutan dan berbagai korupsi politik. Hal itu paling tidak misalnya dapat terlihat sejak tahun 2011 hingga tahun 2013 ini, yang disebut-sebut rangkaian tahun kegaduhan politik menjelang Pemilu 2014.
Memang harus diakui bahwa wajah politik Indonesia, sejak gerakan Reformasi bergulir, masih mengkhawatirkan. Politik yang sejatinya memberikan sumbangan positif terhadap bagaimana cara mengelola negara yang baik dan memelihara segenap rakyat yang beradab, malah terjerembab pada kubangan praktik pelemahan negara serta peminggiran kepentingan rakyat. Padahal hakikat politik (siyasah, dalam ilmu politik Islam) itu adalah mengelola dan memelihara kepentingan ummat (umum).
Tidak tampak berperannya hakikat politik itu, bila berpijak pada disertasi di atas, sesungguhnya tak bisa dilepaskan dari kuatnya motif ekonomi orang-orang yang hendak dan atau telah berada di dalamnya. Mereka cenderung lebih mencari hidup dari politik (off politic) ketimbang menghidupkan politik (for politic). Politik oleh mereka semata dijadikan ajang rent seeking (perburuan rente).
Dengan motif ekonomi itu, logika yang digunakan dalam berpolitik pun adalah logika bisnis. Seperti logika mengenai penggunaan modal yang sekecil-kecilnya dengan mendapatkan keuntungan yang sebesar-besarnya, atau modal sebesar-besarnya dengan mendapatkan keuntungan yang tak terbatas.
Hal demikian makin menguat ketika secara sistemik, seperti melalui paket peraturan perundang-undangan, politik dikapitalisasi dan menjadi industri politik. Di sini politik dijadikan komoditi serta dikondisikan mahal. Konsekuensinya adalah uang menjadi semacam ‘rukun politik’, yang siap atau tidak siap harus terlebih dahulu terpenuhi oleh setiap orang yang hendak memasuki ranah politik.
Alur Money, Power and More Money
Dengan ‘rukun politik’ itu, politik seolah dipaksa harus bertekuk lutut dalam alur logika MPM (Money, Power and More Money). Artinya ketika orang berpolitik harus dimulai dengan uang. Dengan uang itu kekuasaan akan mudah didapatkan. Lalu, melalui dan dalam kekuasaan itu mudah pula untuk mengembalikan (atau melipatgandakan) kekayaan uang.
Dalam alur yang terakhir ini, More Money, merupakan puncak praktik penyandraan motif ekonomi terhadap politik. Banyak modus yang dilakukan dalam alur terakhir ini, yang kerap berujung pada praktik-praktik ‘perampokan’ uang rakyat. Antara lain dalam bentuk penggiringan rancangan anggaran dari mulai pengusulan sampai pada penentuan nominal dan peruntukkannya, penentuan sejak awal pemenang tender proyek, pencucian uang, broker, dan lain-lain.
Di negeri ini, celakanya modus-modus itu telah menjadi lingkaran setan. Berlingkar-lingkar dari mulai Badan Anggaran (Banggar) DPR sampai pada badan-badan negara pelaksana (pemerintah) di pusat dan daerah, lalu kembali lagi ke Banggar. Dalam konteks itu wajar bila banyak pihak yang mengkatagorikan Indonesia sebagai negara kleptokrasi, pemerintahan para maling.
Membumikan Fitrah Politik
Berpijak pada gambaran tersebut, wajah politik Indonesia nampak tidak berdaya ketika harus berhadapan dengan sandra yang disebar oleh para rent seeking, koruptor dan pihak-pihak lainnya yang menunggangi politik guna mendapatkan keuntungan ekonomi. Oleh sebab itu, dibutuhkan gerakan bersama untuk melakukan ‘pembebasan’ lingkungan politik dari segala bentuk sandera motif ekonomi. Salah satu caranya adalah dengan kembali membumikan fitrah politik.
Pertama, politik harus dijalankan tidak hanya sekedar berkaitan dengan prosedur-prosedur kekuasaan, bagaimana ia diraih dan dijalankan, melainkan juga berkaitan dengan pendakwahan nilai-nilai kebaikan bersama. Sebut saja misalnya nilai-nilai siddiq, amanah dan ‘adalah.
Kedua, politik sejatinya harus dipandang sekaligus dijalankan sebagai perjuangan bukan sebagai sarana mencari uang. Ketika politik sebagai perjuangan, meminjam pemikiran politik Albert Camus, maka berpolitik itu dibutuhkan pengorbanan, keterlibatan tanpa henti, dan ketabahan dalam perjuangan.
Lantaran itu, menjadi indah kiranya jika segala pihak yang melakoni kehidupan politik, seperti para pasangan calon serta segenap tim suksesnya yang terlibat dalam Pilgub Jabar 2013, tidak untuk mencari keuntungan ekonomi, tetapi dengan penuh keberanian, keikhlasan dan ketabahan semata untuk memperjuangkan, mengelola dan memelihara kesejahteraan rakyat.
Sumber: Republika, 06 Pebruari 2013