[www.uinsgd.ac.id] Keberadaan Program Studi (Prodi) Perbandingan Madzhab dan Hukum (PMH) di Perguruan Tinggi Keagamaan Islam Negeri (PTKIN) sangat krusial. Karena, selain sebagai jurusan misi, juga berperan sebagai pengawal dan penjaga identitas hukum di negeri ini.
Demikian kira-kira kesimpulan hasil seminar menjelang Kongres Persatuan Perbandingan Madzhab dan Hukum Se-Indonesia (PPMHSI) yang digelar di Auditorium Fakultas Syariah dan Hukum (FSH) UIN SGD Bandung, Kamis (08/02/2018). Seminar menghadirkan narasumber Prof Dr KH Ma’ruf Amin (Ketua MUI); Prof Dr H Juhaya S Praja (Pendiri Prodi PMH); dan Abdul Muta’ali, MA, MIP, Ph.D (Kepala Pusat Kajian Politik Timur Tengah pada Universitas Indonesia).
Seminar, yang bertajuk “Peran Hukum Islam dalam Mengawal Konstitusi” ini, juga dihadiri oleh Wakil Rektor III UIN SGD Bandung Prof Dr H Mukhtar Solihin, M.Ag; Dekan FSH Dr H Ah Fathonih, M.Ag; Wakil Dekan III FSH Dr H Dudang Gojali, M.Ag; Ketua Jurusan PMH FSH UIN SGD Dr H Ayi Yunus Rusyana, M.Ag dan sekretaris H Yayan Khaerul Anwar, M.Ag; pengurus Sema FSH, HMJ PMH FSH, dan para peserta kongres dari 30 PTKIN (UIN, IAIN, STAIN) se-Indonesia.
Dalam sambutannya, Prof Mukhtar Solihin menegaskan, keberadaan PMH di lenghkungan PTKIN dipandang sebagai jurusan misi. Keberadaannya tetap dipertahankan bahkan harus didukung secara maksimal, antara lain dengan memprioritaskan beasiswa bagi para mahasiswa PMH. “UIN tanpa PMH, sama dengan hilang Islamnya,” kata Warek III UIN Bandung ini.
Ia juga menganggap peran PMH sebagai pengawal hukum di Indonesia ini. Terutama dalam menjaga eksistensi hukum Islam dari pengaruh hukum barat yang bebas nilai, tidak didasarkan norma dan justifikasi agama.
Sementara Dr Ah Fathoni berharap banyak dari kongres PPMHSI ini mengahasilkan pokok-pokok pikiran sebagai bahan masukan untuk lembaga-lembaga hukum dan penegak hukum. Pertama, isu yang penting diangkat terkait dengan penegakan hukum dan keadilan. “Masyarakat kita sangat merindukan keadilan, karena produk hukum lahir bukan dari kebutuhan masyarakat,” ujar Dekan.
Kongres PPMHSI harus bisa merumuskan, bagaimana Hukum Islam bisa masuk ke wilayah hukum Nasional? Bukan sekadar persoalan ekonomi dan perdata, melainkan juga aspek pidana. “Kenapa tidak? Buktinya Nangroe Aceh Darusaalam bisa menerapkan hukum Islam!” tegasnya.
Kedua, Kongres PPMHSI juga harus bisa merekomendasikan point penting untuk mempercepat terbitnya Undang-undang Jabatan Hakim. RUU-nya masih dibahas di DPR RI, karena masih ada pasal-pasal yang masih dipertentangkan (belum disepakati). Dan ketiga, isu yang tak kalah pentingnya adalah persoalan intoleransi di kalangan masyarakat. “Nah PMH harus bisa mencari format dan solusi bagaimana umat Islam tidak kaku dan berkutat pada masalah-masalah khilafiyah,” jelas Dekan.
Ketua Jurusan PMH Dr Ayi Yunus Rusyana berharap Kongres PPMHSI yang digelar dari tanggal 8-11 Februari ini berjalan lancar dan sukses. Sehingga mampu menumbuhkan rasa persaudaraan di antara mahasiswa Jurusan PMH se-Indonesia; mempererat tali silaturahmi antarmahasiswa; terlebih bisa membangun jejaring keilmuan PMH.
Paling tidak, lanjut Dr Ayi, kegiatan ini bisa lebih meningkatkan semangat belajar mereka, terutama dalam menggali berbagai disimplin ilmu terkait dengan PMH, sehingga bisa menguasai ilmu perbandingan madzhab secara komparatif dan komprehensif serta menguasai metodologi yang digunakan. Wawasannya juga luas, toleran dan mampu menghargai berbagai perbedaan pemikiran yang muncul dan berkembang di dalam hukum Islam serta mampu mencari jalan keluar terhadap setiap permasalahan yang muncul di tengah masyarakat.
Dr Ayi juga berharap, lulusan PMH memiliki kemampuan dan keahlian dalam memahami Hukum Nasional dan Hukum Islam secara terintegrasi; menguasai berbagai madzhab dalam hukum Islam secara konfrehensif dan mendalam; memahami perkembangan hukum dan fatwa-fatwa hukum Islam Kontemporer; dan, ahli dalam penerapan hukum positif serta proses litigasi di pengadilan.(Nanang Sungkawa)