Dampak terberat dari sanksi FIFA per 30 Mei 2015 adalah menganggurnya para pemain dan dimungkinkan mundurnya sponsor karena kompetisi tidak berjalan. Soal itu, beritanya beredar di Pikiran Rakyat dan media massa lainnya. Persib, klub kesayangan warga Jawa Barat tengah meliburkan pemainnya dua minggu.
Merupakan tugas dari Tim Transisi yang ditunjuk oleh Menteri Pemuda dan Olahraga untuk memastikan kompetisi berjalan. Ada kerugian sosial ekonomi yang cukup besar bila liga profesional tidak berjalan. Kegelisahan bukan hanya milik pemain, sponsor, manajemen dan official, tapi juga pecinta sepakbola Indonesia.
Ada kegembiraan yang akan hilang bila salah satu klub, seperti Persib misalnya, tidak berlaga. Sepakbola telah menjadi alat ampuh untuk memelihara bahagia. Walau di sisi lain ada aspek destruktifnya, dimana supporter yang tidak bisa mengendalikan diri bersikap anarkis dan melakukan kebrutalan. Kematian pendukung dan kerusakan fasilitas umum sering terjadi ketika tim kesayangan kalah. Di atas itu semua, ada teriakan bahagia, sejenak melepas kesedihan dan beratnya kehidupan, saat tim kesayangan memenangkan pertandingan. Oleh karena itu, beratnya sanksi FIFA itu dirasakan pula oleh rakyat Indonesia.
Sepakbola bukan saja soal sebelas pemain lawan sebelas lawan. Ada banyak sekali variabel terlibat, pendidikan, sosial budaya, politik, ekonomi dan teknologi. Ada pelajaran tentang kerjasama, kemenangan bukan ditentukan oleh pemain bintang, tapi kerjasama tim yang saling mendukung satu sama lain. Individualisme kerap menjadi biangkerok kekalahan. Latihan dan kerja keras akan menjadi buah kesuksesan. Banyak sekali nilai pendidikan yang ada dalam sepakbola yang tak bisa semuanya dideskripsikan.
Sepakbola juga menggambarkan kondisi sosial budaya. Ada Brazil yang hingga kini dikenal sebagai negara sepakbola. Naiknya derajat sosial anak Brazil karena faktor kesuksesannya di sepakbola. Bagi klub Persib, selalu identik dengan warga Jawa Barat, dimanapun mereka berada.
Jika pun kini banyak pemain asing atau non Jawa Barat, namun fakta multikultual itu tidak menghalangi kecintaan kepada Persib. Sebuah pesan bahwa tak cukup “pituin” orang Sunda, tapi juga harus memiliki kualitas. Sebuah pesan bagi generasi muda, bahwa persaingan global tak lagi melihat identitas kultural, prestasi harus menjadi pegangan utama. Hanya saja, di mana langit dipijak, di situ langit dijunjung. Bagaimana itu digambarkan Firman Utina (kapten pertama) ketika memberikan kesempatan pertama mengangkat tropi kepada Atep (kapten kedua), karena Atep adalah orang Sunda pituin.
Sepakbola juga erat kaitannya dengan politik. Alat untuk mempromosikan tokoh, sehingga banyak tokoh politik yang memimpin klub. Bahkan kini, kisruh PSSI juga disinyalir karena kuatnya pertarungan politik di belakangnya. Bukan rahasia lagi, PSSI selama ini dikuasai oleh kelompok politik tertentu.
Secara ekonomi, sepakbola menyedot sumber daya ekonomi yang luar biasa. Di Eropa, sepakbola telah menjadi industri. Harga kontrak pemain bintang dapat mencapai triliunan rupiah. Di Indonesia, baru Persib yang menjadi klub mandiri secara keuangan karena dukungan sponsor yang luar biasa. Bobotoh dan sponsor itu satu kesatuan, magnet ekonomi dan pasar besar bagi sebuah produk.
Manajemen Persib dengan jeli melihat potensi itu dan menjadikan Persib klub non APBD. Sehingga tak ada lagi berita pemain Persib tidak dibayar gaji. Sepakbola telah menjadi magnet ekonomi. Kita mendengar suap digunakan untuk mendapatkan hak menjadi tuan rumah penyelenggaraan turnamen sepakbola terbesar se jagat, piala dunia. Ada beberapa pengurus FIFA yang kini ditahan karena kasus suap.
Dengan kecanggihan teknologi, sepakbola bukan saja menghibur, atau sekedar bakat, namun telah menjadi profesi. Bagi kita fans yang tidak sempat menonton, ada youtube yang dapat diakses. Begitulah sepakbola, membuat mata dunia tertuju dan menjadi industri yang menghasilkan uang yang berlimpah ruah. Bagi klub yang menang, kebahagiaan terpancar luas, bagi yang kalah, tangisan sedih menyertai.
Daya Kohesif Kultural
Sepakbola adalah olahraga rakyat. Setiap klub memiliki pendukungnya masing-masing. Untuk Jawa Barat, Persib merupakan icon dan tim kebanggaan. Bobotoh, begitulah pendukung Persib disebut. Di Jawa Barat memang pernah ada klub lain, tapi belum mengena di hati warganya. Bahkan, kecintaan kepada Persib itu diwariskan oleh orang tua kepada anak-anaknya dan seterusnya. Boleh jadi, di level kompetisi sepakbola liga-liga top Eropa, anak dan generasi muda Indonesia memiliki klub favorit, namun bagi warga Jawa Barat, Persib “mah nu aing” (yang saya). Slogan yang menggambarkan betapa cintanya warga Jawa Barat kepada Persib.
Persib memiliki daya kohesif kultural dan kepentingan. Memang domisilinya di Bandung, namun Persib mampu menjadi “rumah” bagi pecinta bola di Indonesia. Walaupun gagal dalam AFC Cup, Persib tetap dicintai. Masih ingat, 2014 lalu, seluruh Bandung macet total karena pesta perayaan kemenangan. Beberapa kawan dalam media sosial berkicau, atasnama kebahagiaan tersebut, nikmatilah macet total tersebut.
Sepakbola Indonesia beberapa dasawarsa ini memang tidak terlalu mengkilap prestasinya. Namun kita juga tidak dapat menutup mata bahwa sekelas Qatar National Bank (QNB) mau menjadi sponsor, beberapa pemain kita juga dapat bersinar di kompetisi luar Indonesia dan lainnya. Penulis masih ingat saat pertandingan Timnas Indonesia melawan Korea Selatan menonton langsung di stadion Gelora Bung Karno di Piala Asia tahun 2007, kumandang lagu Indonesia Raya mampu membuat cucuran air mata tanpa terasa.
Kini, sangat mendesak untuk segera memastikan nasib kompetisi, jawaban atas kegalauan pemain, manajemen, sponsor, pendukung dan official tim. Terlalu mahal harganya membiarkan nasib kompetisi menjadi tidak jelas. Sekali lagi bukan hanya persoalan kompetisi, tapi sebagaimana filosofi bola. Bola yang tidak memiliki sudut, menyiratkan bahwa faktor-faktor dalam sepakbola menjadi saling berhubungan satu dengan lainnya. Pemerintah harus sungguh-sungguh melakukan perubahan. Bila sekedar mengubah rezim PSSI, untuk apa? Apalagi sekedar mendudukkan orang-orang tertentu, membagi kue kekuasaan. Bukan hanya PSSI, lapangan, pembinaan kepada pemain muda, kompetisi di level muda harus menjadi fokus perhatian.
Sepakbola adalah nafas rakyat jelata. Membiarkan olah raga ini mati perlahan adalah pengkhianatan. Bagi warga Jawa Barat, membiarkan Persib mati perlahan adalah bentuk bunuh diri massal. Tidak perlu mencari kambing hitam, kini semua pihak harus duduk bersama, mengesampingkan kepentingan kelompok, dan membuka diri atas kelebihan dan kekurangan masing-masing.[]
Dindin Jamaluddin, Bobotoh Persib, Dosen Fakultas Tarbiyah dan Keguruan UIN Bandung.
Sumber, Pikiran Rakyat 5 Juni 2015.