(Catatan Workshop Kurikulum Merdeka Belajar; Kampus Merdeka)
Terminologi “Merdeka Belajar; Kampus Merdeka” bisa dibaca dalam satu helaan nafas. Sekalipun begitu, dalam gagasan ini terkandung intensi yang tidak bisa dianggap sepele. Gagasan yang disampaikan Menteri Nadim Makarim ini seumpama interupsi di tengah krisis akibat pandemi yang melanda negeri ini. Sekilas, ada spirit dan muatan berbeda yang bisa ditemukan di dalamnya, sekalipun tak bisa dipungkiri ada juga “kemusykilan” yang menyertainya.
Pada dirinya, Merdeka Belajar adalah hak setiap pembelajar. Seumpama hak azasi, merdeka belajar adalah irisan-irisan pengetahuan, keterampilan dan sikap pembelajar yang ingin atau harus dicapai dalam rentang waktu tertentu dan dibuktikan kemudian ketika seorang pembelajar terlibat di kehidupan yang sesungguhnya.
Jika Merdeka Belajar adalah “hak azasi” setiap pembelajar, maka “Kampus Merdeka” adalah lintasan resmi yang “menampung” praktek merdeka belajar itu. Apa yang dirumuskan dalam Kampus Merdeka? Sebagai lintasan resmi, yang kelahirannya ditopang oleh peraturan Negara, maka Kampus Merdeka memiliki kewenangan yang otonom untuk mengatur, merencanakan dan membuat managemen terukur yang menyediakan kebijakan, aturan dan kesempatan yang seluas-luasnya bagi setiap pembelajar untuk beroleh pengetahuan dan keterampilan (kompetensi) lebih yang relevan dan menopang di luar disiplin ilmu yang digelutinya.
Sebagai manajemen yang merumuskan dan menata Merdeka Belajar, maka Kampus Merdeka dalam pemahaman saya, meminjam istilah Martin Heidegger, sedang membuat masa depan autentik bagi setiap pembelajar. Masa depan otentik adalah strategi antisipasi. Apa maksudnya? Dalam masa depan yang otentik, manusia menghadapi segala kemungkinan yang bakal tiba dengan sikap antisipasi. Startegi antisipasi adalah “Ja Sager” dalam bahasa Nietzsche, yaitu sikap “iya” terhadap hidup beserta seluruh kegetiran dan kemungkinan-kemungkinanan lain yang menyertainya.
Harus dikatakan, jika masa depan otentik itu “is revealed in resoluteness“. Berada dalam keteguhan hati. Masa depan otentik harus dibedakan dengan masa depan inotentik. Karakter dasar masa depan inotentik adalah “menunggu” (awaiting). Artinya, kemungkinan-kemungkinan di masa depan tidak diantisipasi, melainkan ditunggu: manusia pasif.
Merdeka Belajar adalah kesadaran manusia sebagai makhluk menyejarah yang dituntut untuk memunculkan eksistensialitasnya. Mengarahkan dirinya pada kemungkinan-kemungkinan yang bakal datang menghampirinya. Dan sekaligus melakukan antisipasi atas semua kemungkinannya. Itulah pembelajar autentik.
Maka, pembelajar otentik dalam rumusan Merdeka Belajar bukanlah das Man (Heidegger): manusia impersonal yang tenggelam dan larut dalam rutinitas kesehariannya dan begitu saja hidup sebagaimana manusia-manusia lainnya, melainkan Dasein, sosok manusia yang dapat cemas dengan Adanya, sehingga melecut dirinya untuk melakukan antisipasi dan membuka diri dengan mengatakan “ya” terhadap segala kemungkinan yang ada di depannya.
Demikianlah. Merdeka Belajar adalah kesadaran tentang kemenjadian-diri (self-becoming) manusia pembelajar bersama sang Ada di dalam temporalitas waktu. Dipadatkan, dalam Merdeka Belajarlah manusia selaku pembelajar mewaktu. Ia adalah sosok yang tidak hanya pasif berada dalam lingkaran waktu, tetapi juga aktif mewaktu.
Tabik.
Dr. Radea Juli A. Hambali, M.Hum,. Wakil Dekan I Fakultas Ushuluddin (FU) UIN Sunan Gunung Djati Bandung.