Pembangunan Kebudayaan

Budaya Indonesia sudah lama tak menjadi paradigma pembangunan bangsa. Pangkal sebabnya karena identitas budaya yang tak pernah terumuskan. Tugas utama Presiden-Wakil Presiden 2014 terpilih, untuk melakukan musyawarah anak bangsa, melibatkan budayawan daerah, akademisi lintas negara, menyusun konsensus nasional tentang budaya Indonesia.

Mengapa harus kebudayaan? Karena manusia bertindak ditentukan oleh budayanya. Memang, di era globalisasi, cukup sulit untuk mengidentifikasi budaya asli, karena telah mengalami akulturasi. Namun bukan berarti identitas budaya Indonesia tak dapat diidentifikasi.

Budaya meng-Indonesia dan meng-global harus merupakan penggabungan nilai budaya daerah dan kemodernan yang mendorong pada cita-cita kemajuan. Rumusan kebudayaan Indonesia dirumuskan bersama terus menerus, bersifat dinamis dan mencoba merespon tantangan kemanusiaan. Basis nilainya Pancasila, ruh seluruh proses berkebudayaan dan pembangunan.  

Fokus pengembangannya pada nilai dan norma, karena artefak atau atribut yang menjadi tampilan budaya itu adalah turunan dari nilai. Sebegitu pentingnya nilai, Bryant dan Kazan dalam bukunya , Self Leadership: How To Become a More Successful, Efficient and Effective Leader from The Inside Out, bahwa core value, menyatakan bahwa yang menentukan pikiran adalah nilai yang dianut, sementara perbuatan ditentukan oleh pikiran. Nilai menentukan ketulusan dan niat baik dalam semua tindakan dan itu membentuk jati diri seseorang.   

Apabila nilai dan norma budaya bangsa Indonesia telah disusun, jati diri manusia Indonesia akan dengan mudah terumuskan. Di era global, manusia adalah penggerak utama suatu kemajuan (human capital). Keunggulan demograpi yang kini dimiliki, harus disertai dengan pembangunan kebudayaan yang mengenalkan jati diri. Seperti bangsa Jepang, China dan India yang tetap teguh dengan nilai budaya, namun berhasil meraih kemajuan.

Rumusan jatidiri manusia Indonesia mesti menyertakan nilai kesukuan sebagai budaya asli. Misalnya manusia Muslim-Sunda yang meng-Indonesia dan mengglobal. Tidak akan ada benturan nilai, karena nilai universal tak pernah berlawanan, lahir dari ketulusan (being authentic).

Tentang kesadaran budaya, di berbagai daerah saat ini mulai banyak kebijakan yang mewajibkan penggunaan uniform khas daerah. Bahkan kini berkembang arsitektur bangunan budaya tertentu dan berbagai perayaan kebudayaan, dihadiri dengan antusias oleh rakyat dan turis. Tentu saja, harapannya tidak sebatas atribut, kulit luar, tapi merupakan implementasi dari nilai (values) yang dianut. Menurut Rhenald Kasali (2012), nilai pada dasarnya adalah kepercayaan yang dianut dengan teguh, dapat berupa alat dan tujuan yang secara individu dan bersama-sama dijadikan pegangan.  

Di era multikultural, yang sangat penting  bukanlah atribut budaya, namun nilainya. Misalkan jilbab atau kerudung, kini mendapatkan istilah baru, hijab. Nilai dasarnya sama, pakaian yang menutup aurat. Modelnya begitu ragam dan  Indonesia kini menjadi negara terbesar industri pakaian muslim. Siapa yang membentuknya? Bukan tokoh agama, tapi pasar dan kalangan industri. Jika pun ustadz-selebriti itu menjadi model, mereka hanya  icon, pemain utamanya tetap saja pasar.

Dibutuhkan program stratejik dan  integratif untuk membangun manusia Indonesia yang peringkatnya di dunia hanya ke 121. Stratejik dimaksudkan suatu agenda jangka panjang, berkesinambungan, namun memiliki tahapan jangka pendek dan menengah yang jelas sebagai rangkaian menuju suatu tujuan.

Harus integratif agar kebijakannya tidak berjalan sendiri, tapi didukung bidang lainnya. Sebagai contoh, jika pendidikan sebagai upaya membangun jati diri manusia Indonesia yang jujur, mengapa masih harus ada ujian nasional, padahal telah terbukti mendorong kecurangan sistematis?

Kecerdasan Berbudaya

Pendidikan merupakan alat untuk mentransformasikan budaya antar generasi. Hanya saja, peran mendidik kini bukan lagi monopoli keluarga, sekolah dan pesantren. Daniel Miller dalam bukunya berjudul The Dialectics of Community, telah mengingatkan bahwa pembentukan nilai bukan lagi monopoli orang tua, tetapi juga pada institusi lain seperti media, teman sebaya, bahkan pasar.

Agar memiliki jati diri ke-Indonesiaan, bekal utama bagi generasi muda adalah kecerdasan berbudaya. Ibarat ikan di laut, tidak ikut asin, memiliki prinsip hidup berdasarkan nilai, kukuh dengan kebaikan dan kebenaran, tanpa terpengaruhi lingkungan negatif. Kini kita hidup dalam kebudayaan yang dihasilkan dari negosiasi dengan seluruh interaksi sosial. Dalam bahasa Irwan Abdullah, kebudayaan yang diinternalisasi, eksternalisasi dan objektivikasi bukan lagi yang bersifat generik, namun sudah telah menjadi budaya diferensial. 

Karena itu, bukan hanya kemampuan melakukan interaksi lintas budaya dengan harmonis, kecerdasan budaya adalah kesadaran terdalam tentang pentingnya menyaring budaya yang tidak sesuai dengan nilai dan norma dasar bangsa Indonesia dan mengambil budaya yang mendorong kemajuan. 

Sebuah ikhtiar untuk tetap berpegang teguh kepada kearifan lokal namun mampu untuk tetap modern dan menjadi pelaku aktif bagi tumbuhkembangnya keberadaban dalam masyarakat. Sebagai strategi penguatan sistem, budaya dan individu, ada beberapa hal yang harus dilakukan: pertama, menguatkan peran keluarga sebagai pilar utama pengembangan kebudayaan.  Di rumah lah, anak akan belajar menjadi manusia beradab, bertanggungjawab dan mengerti moralitas.  Orang tua dengan teladannya menjadi guru terbaik agar anak taat beragama dan hukum, peduli sesama dan memiliki keinginan hidup bersama dengan manusia yang berbeda. Kedua, sekolah, tepatnya di ruang kelas, tempat belajar dan terjadinya pertukaran nilai antara guru dengan siswa dan antara siswa itu sendiri. Ketertiban, kedisiplinan, kejujuran, kepedulian dan nilai hidup terbaik disemai dan ditumbuhsuburkan. Ketiga, penguatan peran kelompok masyarakat sipil. Tentu saja, masyarakat sipil yang mendukung keberadaban, bukan gerombolan preman yang berkedok organisasi sosial kemasyarakatan.  Keempat, peran elit politik, agamawan birokrasi dan aparat hukum untuk memberikan teladan. Seperti diingatkan Rhenald Kasali, bahwa transformasi nilai itu berpusat pada para pemimpin, yang merangkai serakan nilai di masyarakat menjadi utuh, cracking values. Merekalah yang dengan kekuasaan dan aparat hukumnya dapat melakukan intervensi di bidang penyiaran, institusi pendidikan dan keluarga sebagai alat penyebaran nilai budaya bangsa.

Berharap kepada Presiden-Wakil Presiden terpilih agar menjadikan pembangunan kebudayaan sebagai “ragi” dan rantai pengikat bagi seluruh bidang pembangunan tiada salahnya.  Mereka pun telah menyatakan pembangunan budaya dalam visi-misinya. Semoga saja bukan sekadar basa-basi. []

Iu Rusliana, Pengajar Filsafat Fakultas Ushuluddin UIN Bandung, bergiat di Mien R Uno Foundation Jakarta

Sumber, Pikiran Rakyat 23 Mei 2014

WhatsApp
Facebook
Telegram
Print
Twitter