Seluruh rangkaian ibadah ramadhan yang dilaksanakan satu bulan penuh, bagi Dadang Kahmad, mengandung spirit pencerahan baik secara individual maupun kolektif.
Hanya saja harus diakui bahwa hingga kini, arus nilai konsumeristik lebih mendominasi dibandingkan semangat pencerahan. Acara televisi, paket-paket ramadhan di berbagai tempat perbelanjaan telah menyilaukan mata manusia untuk berfokus kepada pemenuhan hasrat jasmani semata dibanding kebutuhan ruhani. “ Meski demikian, itu semua harus dipahami sebagai ujian dan semoga kita semua dapat melewati ujian tersebut, tak terlena oleh godaan kenikmatan duniawi,” tegas Dadang Kahmad saat ditemui Republika di kantor PP Muhammadiyah Jakarta, kemarin.
Akibatnya formalisme kehidupan beragama lebih dominan dibandingkan esensinya. Padahal esensi dari praktik beragama yang salah satunya menjalankan ibadah shaum adalah mencerahkan manusia. Bagi Dadang, spirit pencerahan itu akan mendorong semangat menjalankan Islam yang berkemajuan, menjadi rahmat bagi kehidupan. Pencerahan itu mengandung makna membebaskan, memberdayakan dan memajukan kehidupan umat manusia.
Saat menjalankan ibadah shaum, dari mulai sahur hingga kembali tidur, tak ada sedetikpun waktu tanpa makna, semuanya penuh nilai pendidikan dan pencerahan. Sahur mengandung makna memelihara jasmani agar sanggup menjalankan aktivitas normal seperti biasa. Ritme dan metabolisme tubuh dalam menerima asupan makanan itu harus disesuaikan, jangan berlebihan menerimanya atau pun sebaliknya, karena merasa kuat tidak mau sahur. “Pada titik itu kita harus sadar betapa Allah Swt telah mengaruniakan rezeki yang banyak dalam kehidupan. Sementara masih ada saudara kita yang sahur alakadar, atau bahkan karena sakit, dan mungkin juga karena tidak ada makanan sama sekali, hanya sahur dengan seteguk air minum. Rasa syukur dan kepedulian akan tumbuh dalam prosesnya,” tegas Ketua PP Muhammadiyah periode 2010-2015 tersebut.
Shaum bukan halangan untuk beraktifitas. Kita memulai pagi dengan penuh gairah dan optimisme. Semangat untuk beribadah dan bekerja seproduktif mungkin. Tentu saja, sebelas bulan kemudian, harus tetap dipelihara semangat itu. “Kita isi semua rangkaian kegiatan bekerja sebagai ibadah. Suami yang bekerja mencarikan nafkah adalah ibadah, mereka yang sedang mencari ilmu adalah ibadah dan seluruh kebaikan yang mengandung manfaat lainnya,” jelas Guru Besar Sosiologi Agama tersebut.
Bila kita telah mengisi waktu dengan padat untuk ibadah, pada titik itu, akan terbebas dari kungkungan nafsu duniawi. Pada level aksi sosial, akan mendorong kepedulian dan terjadinya pembebasan akan kemiskinan, penindasan dan ketidakadilan. Lahirlah individu yang saleh secara individual-vertikal dan sosial. Mukmin yang lidah dan hatinya tak lalai dari zikir kepada Allah Swt dan hidupnya secara sosial memberikan manfaat luas bagi masyarakat, penolong, tidak menyakiti hati saudara, tetangga dan teman kerjanya.
Tentu saja, tidak cukup dengan membebaskan secara individu, harus dilanjutkan dengan aksi memberdayakan. Setelah dibebaskan dari kemiskinan, jangan kembali miskin. Untuk itu harus diberdayakan agar mampu hidup mandiri. Begitulah Islam mengajarkan dan saat ibadah shaum ini, zakat ditunaikan. “ Bulan ini, banyak sekali yang memberikan infaq dan sedekah. Mereka yang tak sanggup berpuasa karena sakit yang bertahun-tahun atau telah tua renta, diharuskan memberikan makan kepada orang miskin (fidyah),” kata Direktur Program Pascasarjana UIN Bandung tersebut.
Kemanusiaan, Ilmu dan Spiritualitas
Selain membebaskan dan memberdayakan, shaum adalah bulan yang mendorong kemajuan. Kemajuan hanya mungkin tercipta bila seluruh tindakan manusia berbasiskan pada kemanusiaan, keilmuan dan spiritualitas. Shaum mendorong kesadaran untuk mengakui dan memperlakukan manusia sesuai dengan harkat dan martabatnya yang dimuliakan oleh Tuhan. Dari sini berkembang konsep tentang persamaan derajat, persamaan hak dan kewajiban asasi manusia. Tanpa membeda-bedakan berdasarkan suku, keturunan, agama, kepercayaan, jenis kelamin, kedudukan sosial, warna kulit dan sebagainya.
Selain spirit kemanusiaan, basis kemajuan dalam peradaban Islam adalah ilm (ilmu). Al-Quran misalnya menjelaskan bahwa “Allah akan mengangkat derajat orang-orang yang beriman dan berilmu” (QS. Al-Muzadilah [28]: 11). Bahkan wahyu pertama itu sendiri adalah perintah iqra (membaca, menelaah, mendalami, meneliti dan menggali ilmu pengetahuan). Sementara dalam sejumlah riwayat dijelaskan tentang kedudukan ilmu, proses mencari ilmu dan ilmuwan dalam posisi yang sangat agung.
Kemajuan juga harus berbasiskan spiritualitas. Kecintaan kepada Allah Swt membuat setiap Muslim rela untuk haus dan lapar. Shaum adalah ibadah yang penuh dengan latihan spiritual. Tak ada yang tahu apakah kita menjalankan ibadah shaum atau tidak selain kita dan Allah Swt. Begitulah kesadaran spiritual terbangun dan saya pun menyaksikan semangat yang luar biasa dalam menjalankan ibadah shaum di berbagai negara. “Saya pernah menjalankan ibadah shaum di Australia. Saat itu diundang menyampaikan ceramah. Sungguh sangat terharu melihat kaum Muslimin begitu memanfaatkan ramadhan untuk beribadah kepada Allah Swt. Masjid Hijrah di Australia saat itu penuh oleh jamaah yang melaksanakan shalat tarawih. Bahkan mereka mendatangkan qori dan ulama dari Indonesia untuk imam shalat dan penyampaian tausiyahnya. Sepuluh hari terakhir ramadhan, banyak yang itikaf, sengaja mengambil cuti dari tempat kerja agar bisa itikaf penuh sepuluh hari. Setiap malam, terutama Jumat malam berdiskusi soal agama, bahkan sampai sahur tiba. Sebuah pembinaan spiritual yang luar biasa,” urainya.
Dengan demikian, bagi Dadang, bulan ramadhan harus menjadi momentum bagi kebangkitan umat yang berbasiskan pada kemanusiaan, pengembangan keilmuan dan meningkatnya nilai spiritualitas seluruh umat Islam. []
Sumber, Republika 6 Juli 2015