(UINSGD.AC.ID)-Wabah virus korona yang menyebar dua tahun belakangan masih membebani psikologis masyarakat dan belum kelar secara tuntas. Sementara itu, tahun politik sudah datang dengan sejumlah aura ketegangan.
Perang urat syaraf politik akan terus menghiasi berita 24 jam. Media sosial akan terjejali broadcast-broadcast politik, baik yang isinya benar maupun palsu. Semua itu akan mendongkrak tingkat stres. Untuk beberapa bulan ke depan kita akan dihadapkan dengan saat-saat penuh ketegangan.
Tampaknya kita harus mempertimbangkan berbagai upaya untuk mengendalikan kecemasan agar kesehatan mental tetap terjaga. Bukan hal mustahil kita akan menuju pemilu nasional yang cukup kontroversial dengan bekas-bekas pandemi yang masih terasa. Pemilu selalu merupakan acara berisiko tinggi yang memiliki implikasi jangka panjang dan konsekuensinya bukan hal enteng.
“Ritual pemilu” selalu membentuk kubu bertentangan. Tidak bisa dihindari. Masing-masing kubu tidak mungkin akan terhindar dari menjelekkan pihak lain. Hukum alam pemilu sudah seperti ini. Tidak akan pernah berubah dengan retorika apapun. Oleh sebab itu, perlu ada literasi resiko psikologis supaya kita memiliki persiapan mengelola stres politik.
Ketika kita merasa cemas berada di sekitar orang-orang tertentu yang Anda kenal memiliki pandangan politik berbeda, tandanya kita sedang dilanda gangguan stres politik. Gangguan stres politik akan mendorong kita melampiaskan perasaan melalui media sosial dengan komentar tentang pemilu, capres, dan hal-hal politik lainnya.
Liputan dan debat media merupakan salah satu faktor yang akan memicu kegelisahan. Ditambah kekhawatiran tentang bagaimana hasil pemilu nanti akan memengaruhi pada kesejahteraan hidup kita. Lengkaplah beban psikologis kita.
Gangguan stres politik semakin kuat mana kala bertemu dengan masalah utama kehidupan, yaitu problem ekonomi. Kehilangan pekerjaan dan kekurangan uang. Semakin akutlah kecemasan kita dan semakin memperburuk kesehatan mental kita. Juga kesehatan fisik. Kita akan dibuat lebih reaktif dan mudah tersinggung. Celakanya, kalau stres bisa dalam jangka waktu tertentu menghilang, namun kecemasan lain lagi. Ia dapat bertahan selama berbulan-bulan, sambil kita masih tetap bertanya-tanya mengapa hal itu terjadi.
Seseram itukah dampak politik terhadap kondisi kejiwaan kita? Mungkin betul begitu. Di saat nulis artikel ini saya sedang merasakan itu. Apakah hanya orang Indonesia saja yang mengalami ini? Tidak. Orang di negara lain pun merasakan keadaan pkologis yang sama ketika ada “hajatan agung” semacam ini. Lebih-lebih ketika ada isu politik lain yang mewarnai perhelatan pemilu, seperti isu SARA.
Karena keadaan ini tidak bisa dihindari, kita siapkan strategi mengantisipasi stres politik. Di antara caranya adalah mengambil jeda digital. Kita membatasi konsumsi media, mengalokasikan waktu bersama keluarga, dan melakukan hal-hal yang kita sukai. Selain itu, usahakan untuk tidak “mati-matian” amat dengan calon dukungan kita. Toh mereka orang lain. Cara lainnya yang penting, rajin ibadah.
Dr. IJA SUNTANA, M.Ag., Dosen Fakultas Syariah dan Hukum (FSH) UIN Sunan Gunung Djati Bandung.