Mengapa Filsafat?

“Hidup yang tidak diuji, tak layak untuk dijalani” (Socrates)

Ketika kehidupan hari ini digerakkan oleh benda-benda, oleh hasrat memiliki banyak hal, oleh kecenderungan untuk tampil seelok dan segenit mungkin di media social, apakah filsafat masih relevan untuk dibicarakan?

Ketika hari ini ruang-ruang perjumpaan di dunia digital disesaki oleh umpatan, hinaan, saling menundukkan dan kabar bohong, apakah filsafat bisa bermanfaat menjadi alat untuk menemukan kebajikan?

Ketika kekosongan batin dan ketidakjelasan identitas yang diam-diam menggelisahkan banyak orang, lalu tergila-gila pada tafsir kaum agamawan yang seolah-seolah final dan meneguhkan kepastian, apakah menyoal filsafat yang seolah menteror dan memorak-porandakan keyakinan masih diperlukan?

****

Pusat gravitasi kehidupan manusia hari ini, rasanya, tidak lagi didasarkan pada tradisi. Sebagian besarnya ia digerakkan oleh reflektivitas individu. Oleh kesanggupan manusia mengolah kemampuan akal budinya. Lalu muncullah critical thinking, sejenis kemampuan untuk siaga dan ketidakbolehan pasrah pada banyak hal yang dihadirkan. Di hadapan critical thinking seluruh pernyataan disangsikan, segenap keyakinan dapat dibatalkan, segala sesuatu yang dianggap benar bisa diguncang dan bahkan diguyahkan.

Filsafat sebagai refleksi pribadi adalah strategi dari critical thinking itu. Ia memapah setiap individu untuk mampu berpikir mandiri dan mendalam. Ia bisa membawa individu menyelam ke dasar keyakinan untuk menemukan kontradiksi dan ketidakjelasan. Ia bisa memampukan siapapun untuk kemudian menyusun ulang sendiri pegangan diantara sekian tafsir yang mungkin membingungkan. Filsafat memampukan orang yang menikmatinya untuk merumuskan sendiri makna pengalaman.

Critical thinking sebagai penjelmaan dari filsafat adalah cara merawat dan mengasah kepekaan tentang adanya yang paling inti dalam setiap persoalan, tentang adanya yang pokok dan tidak; tentang adanya yang layak untuk dibela dan dipertahankan!

Kerja filsafat seluruhnya adalah rasional. Ia digerakkan oleh mesin kemampuan untuk menyusun argumen-argumen yang masuk akal. Meski begitu, filsafat sebenarnya adalah pengetahuan untuk memuaskan rasa haus dan kebutuhan jiwa manusia. Kebutuhan yang paling pokok atas makna dan arah kehidupan. Kebutuhan tentang bagaimana rahasia dan selubung misteri kehidupan bisa diangkat ke permukaan untuk dijelaskan dan dipahami, kebutuhan untuk mengerti apa yang sesungguhnya diinginkan oleh batin dan jiwa manusia agar terisi.

Sekalipun kehidupan hari ini dikepung oleh segala hal yang materi dan seolah kepemilikan atas benda-benda bisa memuaskan manusia, senyatanya batin dan jiwa tidak dapat disentuh dan terisi oleh itu semua! Jiwa tidak bisa dipuaskan oleh kekuasaan dan kedudukan, bukan juga oleh karir dan popularitas, melainkan oleh pemahaman batin, keharuan, keheranan, rasa ingin tahu atau kekaguman yang sering terasa abstrak dan misterius. Dengan begitu, filsafat senyatanya adalah sejenis pengetahuan yang merangsang dan membimbing manusia menemukan dasar kebutuhan itu.

Ada anggapan bahwa kerja filsafat adalah memperumit kenyataan. Ia sejenis pengetahuan yang membingungkan. Namun senyatanya, pemikiran yang dikemukakan para filsuf itu membantu siapapun untuk melihat dan mengenali struktur kenyataan dasar yang tadinya terselubung atau tersembunuyi di balik permukaan gejala sehari-hari yang seolah sudah kita anggap sebagai kenormalan. Ibarat kamera foto rontgen, filsafat bisa menampakkan apa yang tersembunyi untuk terlihat secara jelas. Argumen-argumen filosofis yang dikemukakan para filsuf itu senyatanya menghadirkan keterkaitan-keterkaitan baru antar berbagai hal.

Marx misalnya, ia menjadi “candu” para penyuka filsafat karena berhasil membantu membukakan mata untuk melihat kemungkinan lain bahwa segala konsep dan keyakinan kita tentang nilai dan makna sangat boleh jadi dbentuk dan ditentukan oleh peristiwa dan hubungan ekonomi. Begitupun dengan Sartre, yang sering dituduh sebagai seorang atheis, ia malah menyadarkan para penikmat filsafat untuk melihat kemungkinan baru, bahwa jangan-jangan hidup ini sebenarnya tak lebih dari “gairah sia-sia” (useless passion).

Bagi dunia keilmuan, filsafat bisa berguna sebagai mata untuk jeli melihat dan kritis terhadap asumsi-asumsi dasar yang biasanya digunakan begitu saja tanpa dipertanyakan ulang. Filsafat seumpama resi yang menekankan tentang pentingnya sikap waspada terhadap konsekuensi-konsekuensi lebih jauh, lebih abstrak dari temuan-temuannya. Bagi dunia keilmuan, kehadiran filsafat terasa penting untuk menghindarkan dari bahaya kenaifan-empirik-tekhnis: Seakan kehidupan dan manusia hanyalah soal data dan teknis belaka.

Begitupun untuk dunia keagamaan, filsafat dapat membantu penganut keyakinan terhindar dari dogmatism yang sempit, picik dan berbahaya. Ia memampukan setiap penempuh iman untuk menerobos ke hal-hal yang esensial. Dengan kebijaksanaannya, filsafat membantu untuk berpikir arif dalam menyelesaikan perkara-perkara baru yang tak bisa dirujuk ke kirab suci, bahkan juga membantu mengenyahkan sisi-sisi ilusoris agama, yang jika dibiarkan akan berbahaya dan menjadi kontraproduktif bagi agama sendiri.

Dengan seluruh kelebihan filsafat, apakah ia lantas dapat ditahbis sebagai hero? Adakah konsekuensi dan resiko yang ditanggung?

Memelihara filsafat secara tidak langsung menjadikan pikiran dan daya kritis manusia tetap berdenyut. Akibatnya, segala hal bisa digugat dan dipertanyakan ulang. Berada dalam atmosfir filosofis sama artinya membuat hidup menjadi “nomadic”. Sebuah hidup yang terus bergerak. Tak pernah ajeg dan stabil. Kebenaran yang dicari bukanlah jenis kebenaran yang final, selesai dan mengikat, hanya saja pemahaman jadi luas, kaya dan semakin kompleks.

Filsafat adalah disiplin ilmu yang berhasrat menjajagi tersingkapnya kemungkinan-kemungkinan baru untuk memahami kehidupan. Ukuran kebenaran daam filsafat hanyalah: agumentasinya lebh mendalam ketimbang argumentasi lainnya, atau daya penjelasannya lebih besar, atau lebih mampu menjelaskan kompleksitas suatu masalah ketimbang faham lainnya.

Supaya tubuh tetap sehat dan bugar dibutuhkan olah raga, begitupun kehidupan batin (nalar dan jiwa). Ia perlu dilatih dan ditempa supaya bisa menaik menembus ke langit yang lebih tinggi. Filsafat adalah cara cerdas bagi jiwa untuk tetap waras dan tumbuh berevolusi. Terutama ketika dunia semakin sakit oleh tarikan materialisme dan ketenaran dan mabuk kekuasan. Allahu a’lam.[]

Radea Juli A. Hambali, Wakil Dekan I Fakultas Ushuluddin UIN Sunan Gunung Djati Bandung

WhatsApp
Facebook
Telegram
Print
Twitter

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *