Mengandalkan Artis

Sejumlah artis terjun dalam perhelatan pemilihan umum (pemilu) legislatif 2014. Penyanyi dangdut, pemain sinetron, aktor laga, dan, tidak ketinggalan, pelawak ikut meramaikan perebutan kursi parlemen.

Keterlibatan artis di dunia politik menjadi polemik di masyarakat. Bukan hanya di Indonesia, di beberapa negara lain pun, fenomena artis nyaleg menjadi debat publik. Di Amerika sekalipun, negara yang dikenal liberal dalam banyak aspek sosialnya, caleg dari kalangan artis menjadi biantara publik. Pro dan kontra mewarnai keterlibatan artis dalam berebut jabatan-jabatan politik.

Darrell M. West dan John Orman, dalam Celebrity Politics; Real Politics in America (2002), menyajikan hasil riset tentang keterlibatan artis dalam perebutan jabatan politis di Amerika. Menurut Wets dan Orman, dua pertiga masyarakat Amerika menyanyangkan para artis mengubah haluan dari penggiat kebudayaan ke penggiat kekuasaan. Sebelumnya, selain di kegiatan seni, para artis banyak melibatkan diri dalam kampanye kemanusiaan, berupa pengentasan kemiskinan, pendidikan, bencana, pencegahan penyakit berbahaya, dan perdamaian. Ketika mereka masuk ke dunia politik, semua itu segera berganti dengan kampanye kekuasaan.

Menurut catatan West dan Orman dikatakan bahwa mayoritas publik di Amerika menilai, tidak tepat para artis masuk pada aktivitas yang penuh intriks, taktik, dan kelicikan. Selain itu, dicatat oleh dua penulis tersebut bahwa hasil survei menunjukkan, dua pertiga (2/3) masyarakat Amerika Serikat meragukan kemampuan para artis mengelola urusan-urusan yang penuh dengan siasat muslihat.                                                           

Menurut saya, ada dua kemungkinan partai politik di Indonesia memanfaatkan artis untuk perhelatan politik. Pertama, penghematan biaya politik. Kemampuan finansial partai-partai sekarang, kecuali partai besar, sulit untuk mampu mendanai biaya perhelatan politik yang jumlahnya selangit. Untuk membeli suara para pemilih diperlukan dana yang jumlahnya tidak sedikit. Oleh karena itu, cara yang “murah” adalah memanfaatkan artis yang telah memiliki nama tenar. Kalaupun harus membayarnya sebagai jasa vote gater tidak semahal membayar sejumlah pemilih.

Kedua, kualitas juang dan militansi kader partai yang rendah. Partai-partai politik di Indonesia kehilangan mental dan kualitas yang bisa diandalkan untuk memengaruhi para pemilih. Mereka kehilangan kepercayaan diri untuk mengusung calon dari dalam partai dan meyakinkan kepada masyarakat agar memilihnya, sekalipun memiliki fasilitas akomodasi yang memadai.

Saat ini partai-partai politik di Indonesia telah kehilangan kemampuan membentuk militansi kader dan simpatisan. Partai-partai baru kesulitan mencetak simpatisan yang setia kepada partai, sementara partai lama kesusahan memertahankan kesetiaan kader. Tampaknya, partai-partai saat ini kesulitan mencari isue untuk membangun militansi kader. Perang tanding ideologi, yang di awal-awal kemerdekaan berhasil membuat para simpatisan partai memiliki militansi yang kuat, tidak dapat lagi diandalkan.

Partai politik terbawa oleh arus masyarakat yang semakin pragmatis dan, dalam kadar tertentu, oportunis. Akibatnya, partai-partai politik di Indonesia kehilangan “akal sehat politik,” sehingga melakukan jalan pintas dengan cara menggunakan politik selebritas, yaitu mengusung artis atau figur-figur telah terkenal tanpa memertimbangkan aspek kualitas.

Politik selebritas yang dipraktikkan oleh partai-partai politik di Indonesia saat ini semakin memperjelas bahwa kekuasaan adalah tujuan utama. Sekencang apapun para pengurus partai politik “mengumumkan” bahwa partainya adalah wadah perjuangan, saluran aspirasi rakyat, dan wahana pendidikan politik, semua itu terbantahkan secara telak oleh praktik politik selebritas.

Partai politik telah kehilangan tenaga dalam meraih kekuasaan. Kemampuan strategi politik untuk mengambil simpatik rakyat sudah redup. Larilah mereka kepada para figur publik terkenal demi kekuasaan.

Selain memertegas bahwa partai politik hanya mengejar kekuasaan, politik selebritas membunuh politik adiluhung (high politics). Untuk menjadi politikus saat ini tidak harus menjadi orang baik dan berkualitas melainkan cukuplah menjadi orang terkenal, apapun cara mengerek keterkenalan. Gejala ini akan melambungkan kultur politik kerdil (low politics), yang menghalalkan berbagai cara untuk meraih tujuan partai, dan memicu sikap masyarakat yang asal-asalan dalam memilih pemimpin. Dalam kultur politik kerdil pengalaman, pendidikan, dan kualitas personal tidak dapat diandalkan lagi untuk membangun sistem politik berkualitas.

Apabila partai politik tidak mampu mereda politik selebritas, yang terjadi adalah pengikisan kualitas sistem politik di negeri ini. Hal ini merupakan ancaman terhadap kualitas kekuasaan dan pemerintahan di negeri ini. Selain itu, akibat politik selebritas akan muncul apa yang disebut oleh Douglas Schuler (2013) dengan istilah intervensi media, yaitu media merekayasa orang-orang tertentu untuk dijadikan selebritas atas sebuah pesanan atau kepentingan tertentu. Media berubah dari sebagai penjaja jasa informasi menjadi penjaja jasa politik.

Akibat intervensi media partai politik tidak lagi memusatkan perhatian kepada cara-cara konvensional dalam meraih suara rakyat, melainkan akan memusatkan pada penguasaan media. Peran dan fungsi partai politik yang seharusnya menjadi “sekolah kepemimpinan (school of leadership)” akan tersisihkan total oleh media yang memiliki peran sebagai “jongko kekuasaan (store of power).” Akhirnya, partai politik akan terfokus pada cara-cara mengakumulasi modal (uang), karena semakin menguatnya gejala wani piro. Itulah efek buruk dari gejala politik selebritas.[]

Ija Suntana, Dosen Program Pascasarjana UIN Sunan Gunung Djati Bandung, Wakil Ketua Umum Al-Washliyah Jawa Barat

Sumber, Pikiran Rakyat 13 Februari 2014

WhatsApp
Facebook
Telegram
Print
Twitter