Sebuah survey yang dilakukan melalui pendekatan Focused Group Discussion mengajukan pertanyaan sederhana: ”Bagaimana Anda dapat beragama sebaik ini?” Pertanyaan ditujukan bagi mereka yang telah berusia sekitar 50-an tahun dan diasumsikan telah menjalankan ajaran agama dengan baik berdasarkan indikasi-indikasi keberagamaan yang mudah diamati, seperti dapat membaca kitab suci dengan baik, sisiplin menjalankan shalat, berpuasa, berzakat, dan bahkan telah melaksanakan ibadah haji. Dari sekitar 100 responden yang ditanya, hampir tidak ada yang menjawab: ”Karena saya belajar pendidikan agama Islam sewaktu sekolah, baik di SD, SMP, maupun SMA”.
Hal serupa dilakukan pada kesempatan, tempat, dan responden yang berbeda. Lebih dari lima kali pertanyaan yang sama diajukan pada sasaran orang yang berbeda. Tetapi jawabannya selalu sama. Tak seorang pun menjawab karena pernah mendapat pelajaran agama Islam di sekolah-sekolah yang pernah dilaluinya. Mereka umumnya menjawab, karena memperoleh pendidikan agama dalam pengajian di masjid, di rumah dengan memanggil guru ngaji, di madrasah sore hari, atau bahkan di pesantren. Malah tragisnya lagi, ada yang mengaku telah lupa kalau sewaktu masih di sekolah pernah ada pelajaran agama Islam.
Mungkin ini sangat kasuistik. Tapi terlepas dari mewakili atau tidak fenomena keberagamaan masyarakat muslim khususnya di Indonesia, kasus ini menarik paling tidak untuk dijadikan bahan evaluasi atau sekedar untuk direnungkan. Dari kasus ini secara sederhana kita dapat melihat bahwa pendidikan agama di sekolah ”nyaris” tidak memberikan kontribusi apapun bagi pembinaan keberagamaan masyarakat, alias mubadzir.
Dari kasus yang sama, kita juga dapat memperoleh indikasi sederhana, bahwa lembaga-lembaga pendidikan madrasah, sistem pengajian tradisional di masjid-masjid, termasuk pendidikan informal di rumah-rumah, telah memberikan fungsi yang sangat besar terhadap pendidikan agama Islam.
Lalu bagaimana ke depannya? Apakah pelajaran agama tidak lagi perlu disajikan di sekolah-sekolah? Atau perlu perbaikan kurikulum, penguatan kapasitas guru, atau tetap dipertahankan seadanya agar secara formalitas dinilai masih ada penghargaan terhadap pelajaran agama. Buktinya, ketika dalam sebuah diskusi saya sempat mengusulkan untuk menghapuskan pelajaran agama di sekolah, sejumlah kiai yang hadir marah tak sependapat. Dan yang lebih marah lagi adalah para sarjana PAI yang jumlahnya kini mencapai puluhan ribu orang.
Kompleksitas Pendidikan Agama
Paparan sederhana di atas menggambarkan tidak sederhananya pendidikan agama, khususnya di sekolah-sekolah. Buku Religious Education: A Comprehensive Survey (1960), yang merupakan kumpulan tulisan dari sejumlah pakar pendidikan dan agama, menggambarkan kompleksitas pendidikan agama bagi anak-anak usia sekolah. Marvin J. Taylor, editor buku tersebut, dalam pengantarnya mengilustrasikan begitu rumitnya proses memperkenalkan agama dalam dunia pendidikan. Diawali dengan pembahasan beberapa prinsip pendidikan agama, Taylor merangkai suatu sistematika hingga pembahasan di seputar kelembagaan yang mengajarkan agama. Kesimpulan saya, usaha memperkenalkan agama dengan ajaran-ajarannya memang bukanlah sesuatu yang sederhana.
Buku itu sebetulnya hanya membahas secara khusus usaha-usaha para pemimpin greja dalam mengajarkan agama. Akan tetapi, jika ditelusuri akar permasalahannya, kita akan menemukan peta masalah yang hampir sama dengan usaha-usaha pemeluk agama lain ketika memperkenalkan ajaran agamanya. Kontroversi di seputar pendidikan agama di Indonesia, misalnya, memperlihatkan tidak sederhananya proses pengajaran agama khususnya di sekolah-sekolah umum. Silang pendapat yang hampir tidak pernah berhasil menemukan kata sepakat terus berlangsung mulai dari soal waktu yang dianggap kurang memadai sampai pada masalah kurikulum yang dinilai kurang memberikan jaminan terbinanya perilaku keberagamaan di kalangan anak-anak usia sekolah.
Namun demikian, secara inplisit ada kesepakatan berkaitan dengan pentingnya mengajarkan agama. Agama tetap harus diperkenalkan sejak usia dini. Sebab melalui pengajaran agama seperti yang diberikan di sekolah-sekolah, diharapkan anak-anak dapat menghayati sisi-sisi moral yang hampir tidak tersentuh oleh pelajaran yang lainnya. Bahkan ketika terjadi kasus tawuran di kalangan pelajar pun, ada sebagian pihak yang menghubung-hubungkannya dengan pelajaran agama. Senada dengan pemikiran seperti itu, terhadap rendahnya sikap toleran di kalangan masyarakat pun ada yang menilainya sebagai akibat dari ekslusifisme pola pengajaran agama. Artinya, untuk menumbuhkan sikap toleran, agama harus diperkenalkan secara terbuka, sehingga diperoleh pengetahuan tentang nilai-nilai universal dari agama-agama yang dipeluk umat manusia.
Strategi Pengembangan
Masalah-masalah pendidikan agama yang berkembang di masyarakat seperti disebutkan di atas belum seutuhnya dapat diserap oleh dunia praktis pendidikan. Bahkan para pengambil kebijakan pun seringkali terjebak pada rumusan-rumusan normatif berkenaan dengan sistem pendidikan. Adanya upaya mengadopsi sistem pendidikan sesuatu negara, misalnya, merupakan salah satu contoh betapa semakin melebarnya jarak antara kebutuhan masyarakat di satu sisi dengan konsep-konsep pendidikan yang diaplikasikan di sisi lain. Ini antara lain yang menjadi sumber masalah semakin teralienasinya dunia pendidikan, khususnya pendidiikan agama dari kehidupan umat beragama. Pendidikan agama belum seutuhnya menjadikan umat beragama, beragama.
Di Indonesia, para penyelenggara dan pengambil kebijakan pendidikan tampak semakin latah dengan proses globalisasi kebudayaan yang bersumber pada masyarakat yang telah lebih dulu maju. Secara ironis, diperoleh sejumlah fakta adanya usaha pengadopsian suatu sistem pendidikan dari negara tertentu untuk dijadikan standar penyelenggaraan pendidikan di Indonesia.
Padahal, pendidikan memang berbeda dari bentuk-bentuk fasilitas fisik lainnya. Barang bekas yang telah out of date pada suatu masyarakat, masih mungkin bisa digunakan oleh masyarakat lain yang berbeda. Tapi konsep pendidikan, termasuk pola-pola kebudayaan pada umumnya, tidak bisa secara simplistik dialihgunakan pada sistem sosial lain yang berbeda. Konsep pendidikan hanya mungkin digunakan jika konsep itu dirumuskan dari hasil temuan sendiri atas dasar masalah-masalah dan kebutuhan yang berkembang pada sesuatu zaman dan kebudayaan.
Karena itu, sesederhana apapun, pola implementasi pendidikan yang diberlakukan pada sesuatu masyarakat yang memiliki dinamikanya sendiri seperti halnya Indonesia, tidak bisa “dipaksa” disamakan dengan masyarakat yang memiliki latar belakang kebudayaan lainnya. Dengan alasan apapun, pendekatan struktural yang melihat bahwa kebudayaan masyarakat itu dianggap sama, tidak bisa digunakan dalam konteks pendidikan. Sebab pendidikan adalah kekayaan masyarakat yang tumbuh dan berkembang sesuai dengan masalah dan kebutuhan yang dimilikinya sendiri.
Agama sebagai muatan yang diajarkan bukan semata-mata karena persoalan doktrin. Dan beragama tidak bisa hanya dilihat dalam perspektif ritual formal. Segera setelah shalat selesai, misalnya, lalu berdo’a khusuk, seseorang seolah telah sempurna menjadi manusia beragama. Atau ketika seseorang berkurban dengan menyerahkan seekor kambing untuk disembelih, atau berpuasa pada bulan suci ramadhan dengan amalan bacaan al-Qur’an yang tak pernah terlewatkan, ia juga merasa seolah telah beragama, hanya karena semua tindakan yang dilakukannya merupakan bagian dari ajaran agama yang tertuang dalam kitab suci. Orang beragama (Islam) sering lupa kalau ajaran agama itu tidak hanya sebatas shalat dan puasa.
Dengan demikian, untuk mewujudkan umat yang berwatak dan berkarakter, pendidikan agama sejatinya dapat menyentuh semua dimensi kehidupan dengan pendekatan-pendekatan yang paling mungkin dapat diterima para peserta didik.
Itulah sebabnya, mengapa pesantren dinilai telah berhasil mendidik masyarakat, karena pesantren merupakan salah satu lembaga pendidikan yang berakar pada budaya asli masyarakat muslim Indonesia. Dia tidak mengadopsi sistem pendidikan yang berakar pada budaya masyarakat manapun, termasuk budaya masyarakat Timur Tengah. Lalu bagaimana dengan madrasah? Jika madrasah pun telah melarikan diri dari akar budaya masyarakat, atau telah memisahkan diri dari nilai-nilai pendidikan pesantren, atau telah tergiur mengadopsi sistem pendidikan lain, maka tidak tertutup kemungkinan madrasah pun akan kehilangan jati dirinya sebagai lembaga pendidikan Islam yang dapat mendidik umat beragama menjadi beragama.
Secara teknis, proses pembelajaran agama di sekolah-sekolah sejatinya dapat dilakukan dengan mempertimbangkan faktor-faktor substansi yang akan diajarkan, konteks makro pengembangan keahlian pada suatu satuan pendidikan, serta kondisi individual para peserta didik yang terlibat dalam proses tersebut, baik menyangkut kesiapan intelektualnya maupun latar belakang kulturalnya. Faktor-faktor tersebut berkaitan satu sama lain sehingga perlu dipertimbangkan oleh para pengajarnya.
Dalam hal mengajarkan sesuatu agama, mungkin saja ada yang masih dikategorikan “muallaf”, meskipun yang bersangkutan telah menganut agama itu sejak kanak-kanak bahkan sejak lahir. Karena itu, untuk tahap awal belajar agama, mereka perlu memperoleh pencerahan umum tentang apa itu agama dan bagaimana mempalajarinya. Bahkan, jika mungkin, mereka juga perlu memiliki kesiapan mental untuk menerima perbedaan-perbedaan.
Mereka mulai dibawa memasuki alam obyektif dan terbuka yang mungkin masih dianggap baru, seperti mendiskusikan tema-tema keagamaan yang menarik dan aktual, tetapi jarang tersentuh oleh pemikiran keagamaan yang cenderung sangat fiqh-oriented. Untuk membangun wawasan baru serta menumbuhkan sikap ilmiah anak didik dalam mempelajari agama, dapat digunakan berbagai sumber yang mencerdaskan, fasilitator yang kreatif dan menyenangkan, serta penciptaan suasana pembelajaran yang kondusif dan edukatif.
Di era persaingan global yang semakin menyuburkan sikap permisif masyarakat seperti saat ini, diperlukan guru-guru agama yang lebih kreatif mendisain strategi pembelajaran yang relevan dengan karakter manusiawi para peserta didik; guru-guru agama yang sanggup menghadirkan agama dalam format yang lebih bersahabat; serta mengelola lembaga-lembaga pendidikan agama yang lebih produktif, demokratis, dalam dinamika yang tetap sehat.
Asep S. Muhtadi, Guru Besar Komunikasi UIN SGD Bandung.
Sumber, Pikiran Rakyat 30 April 2013