(UINSGD.AC.ID)-Nyaris saja dalam menghadapi semua hal, “kita” selalu menggunakan politik pemadam kebakaran. Setelah peristiwa terjadi, barulah “kita” belingsatan menyibukan diri mencari solusi, seolah sangat peduli. Pre-entif dan preventif yang sejatinya masuk pada semua agenda kebijakan, seringkali hanya sebatas konsepsi dan terlupakan dengan berjuta alasan.
Pun dalam kasus data pribadi yang akhir-akhir ini mencuat ke permukaan. Dikabarkan ratusan juta data pribadi warga negara Indonesia (WNI) diduga mengalami kebocoran pada institusi tertentu. Bahkan, kasus yang nyaris sama pun acapkali terjadi pada tahun-tahun sebelumnya. Hal itu memicu Pemerintah, DPR RI, Komisi Informasi, dan pihak-pihak yang terkait bereaksi ramai-ramai berstatement dalam komitmen memberikan perlindungan terhadap kerahasiaan data pribadi WNI.
Padahal sudah sejak lama, ketika teknologi informasi menjadi bagian dari kehidupan warga, baik secara sengaja maupun tidak disengaja, data pribadi warga negara nyaris bukan rahasia lagi. Bahkan, sebagian warga memberikannya dengan sukarela atau paling tidak tanpa komitmen yang jelas dan/atau mereka pahami. Ketika warga membutuhkan sesuatu dan mensyaratkan data pribadinya, seringkali warga dengan iklas memberikannyanya, bahkan dengan dokumen-dokumen pendukungnya.
Filter Terdepan
Oleh karena itu, filter terdepan dalam perlindungan data pribadi berada pada pribadi warga negara masing-masing. Namun, karakter orang Indonesia yang ramahtamah memenuhi ciri kepribadian “ekstrovert”, mempunyai sifat terbuka meskipun terhadap orang baru dikenal; sangat senang menceritakan tentang segala sesuatu pada orang lain; lebih banyak berbagi perasaan, sehingga “budaya” curhat menjadi cerita keseharian, di antara bernilai kebaikan, ternyata juga berdampak pada lemahnya kerahasiahan data pribadi.
Banyak Studi Psikologi menunjukkan orang ekstrovert lebih bahagia dibanding introvert. Ekstrovert adalah tipe kepribadian ceria, sehingga dinilai lebih positif ketimbang jenis kepribadian lain. Bahkan, Teori Self Disclosure (Pengungkapan Diri) yang dikenal dengan Teori Johari Window (1955), mengajarkan, kualitas komunikasi terbentuk karena keterbukaan informasi. Makin terbuka informasi tentang diri pada orang lain, maka makin menunjukkan tingkat kualitas komunikasi yang sehat.
Tampaknya hal itu sangat dipahami oleh para pendiri negara ini, sehingga konstitusi negara UUD NKRI 1945 memberikan perlindungan terhadap hak-hak pribadi warga negara, seperti pada Pasal 28 dan 29. Konstitusi Indonesia lebih fokus pada perlindungan dan tidak mengintervensi. Data pribadi tetap menjadi hak “prerogatif” warga negara. Bahkan, sejumlah undang-undang yang juga memberikan perlindungan terhadap data pribadi warga negara, seperti UU No. 40 Tahun 1999 tentang Pers, UU No. 14 Tahun 2008 tentang Keterbukaan Informasi Publik, dan UU No. 11 Tahun 2008 tentang ITE, baik secara tersirat maupun tersurat juga memberikan hak “prerogratif” yang sama; tidak terkecuali KUHPidana yang menempatikan pada delik aduan.
Hak “prerogatif” dalam konteks ini sejatinya bersifat “absolut” karena data pribadi warga negara adalah anugerah Allah Swt yang dalam konteks duniawi dititipkan menjadi milik personal sebagai khalifah di muka bumi. Apapun yang dilakukan seseorang terhadap data pribadinya secara absolut untuk penghambaan diri kepada Yang Menciptakan, dengan diberikan multiple choce, jika digunakan untuk kebaikan akan berdampak kebaikan dan keburukan akan berefek juga keburukan.
Aturan Data Pribadi
Dalam konteks kehidupan sebagai warga negara, sejumlah teori pembentukan negara mempersepsi warga negara menyerahkan sebagian haknya demi kepentingan bersama membangun negara. Dalam konsepsi negara demokrasi, warga negara diberikan kesempatan untuk memilih eksistensinya melalui kesepakatan bersama dengan merelakan sebagian hak-hak pribadinya diserahkan kepada negara.
Oleh karena itu, sejatinya tidak perlu lagi terdapat aturan yang mendetail menginventarisasi hak-hak warga negara terhadap data pribadi miliknya. Karena makin rinci pengaturan hak warga negara terhadap data pribadinya, maka akan semakin banyak yang terlewati. Kebebasan adalah inti dari hak mutlak seseorang terhadap data pribadinya. Namun, sebagai warga negara kebebasan untuk mendapatkan hak-hak pribadi tersebut tidak boleh mengganggu kepentingan bangsa, negara, dan sesama warga negara.
Yang sangat urgen harus diatur dalam konteks perlindungan data pribadi warga negara sebagai bentuk kepedulian negara adalah perilaku pihak-pihak lain di luar pemilik data pribadi yang berangkutan. Jika benar Pemerintah dan DPR RI konsen pada Perlindungan Data Pribadi, maka logika RUU Perlindungan Data Pribadi harus diubah tidak untuk mengatur hak-hak pemilk data pribadi terhadap data pribadi miliknya, tetapi mengatur pihak lain di luar pemilik data pribadi tersebut.
Yang harus diatur, di antaranya, batasan hak dan kewajiban Negara dan/atau Pemerintah terhadap data pribadi milik warga negaranya; Hak dan kewajiban institusi, lembaga, baik institusi Pemerintahan maupun lembaga swasta dalam memperlakukan data pribadi warga negara; Hak dan kewajiban warga negara terhadap data pribadi warga negara lainnya. Hal itu menjadi sangat penting agar tidak terjadi perlakuan sewenang-wenang dan hanya memberikan keuntungan sepihak sembari dapat merugikan warga negara pemilih data pribadi tersebut.
Sembari setiap pemilik data pribadi pun menguatkan filter melalui literasi kerahasiaan data pribadi dalam kewaspadaan tidak asal menyerahkan, men-share, men-twit, mem-broadcast, meng-up-load, mem-posting. ***
Mahi M. Hikmat, Dosen Fakultas Adab dan Humaniora UIN Sunan Gunung Djati Bandung dan Pengurus Ikatan Sarjana Komunikasi Indonesia (ISKI) Jawa Barat
Sumber Pikiran Rakyat 3 Juni 2021