Ilmu Politik, KBM dan ICRS UGM Gelar Bedah Buku Melintas Perbedaan: Suara Perempuan, Agensi dan Politik Solidaritas

(UINSGD.AC.ID)-Program Studi Ilmu Politik Fakultas Ilmu ISIP UIN Sunan Gunung Djati Bandung bekerjasama dengan Program Studi Kajian Budaya dan Media (KBM) Sekolah Pascasarjana Univeritas Gadjah Mada dan ICRS menggelar Webinar Diskusi Buku Melintas Perbedaan: Suara Perempuan, Agensi dan Politik Solidaritas. Topik yang dibahas mengenai Saba Mahmmood: Feminisme Non-Liberal dan Kritik atas Sekularism, pada Kamis (11/11/2021, Pkl 13.00-15.00 WIB).

Acara yang diikuti lebih dari 200 peserta ini menghadirkan narasumber dari UGM, yaitu Dr. Zainal Abidin Baqir (Direktur Indonesian Consortium for Religious Studies_ICRS /Ketua Program Studi S3 Interreligus Studies UGM), dan pembahas dari UIN Sunan Gunung Djati Bandung, yaitu Dr. Neng Hannah, M, Ag dan Dr. H. Asep A. Sahid Gatara, M.Si. Jalannya acara dipandu oleh moderator dari UIN Sunan Kalijaga, Yogyakarta, Dr. Witriani, M.Hum.

Dr. Zainal Abidin Bagir dalam pemaparannya menyampaikan bahwa Saba Mahmood, sebagai antropolog, menyajikan model studi agama yang khas. Pendekatannya tidak normatif, tekstual; agama tidak dilihat dari sisi ajarannya, tetapi sebagai lived religion, yang embodied dalam kehidupan pemeluknya (dalam hal ini perempuan-perempuan majelis ta’lim di Mesir). Tidak memberikan judgement keagamaan; kategorinya bukan benar-salah, halal-haram. Tetapi lebih terfokus pada deskripsi fenomena secara mendalam.

Saba Mahmood dikategorikan oleh Zainal Bagir sebagai feminis kritis. Ia mengkritik feminisme dan juga sekularisme (termasuk ide kebebasan beragama) secara cukup radikal. Namun demikian, Saba tidak sama sekali mengingkari adanya patriarki dalam tafsir keagamaan. Ia juga menunjukkan keberpihakan pada minoritas keagamaan. Di sini Saba dinilai ingin menghindari simplifikasi, dan menunjukkan kompleksitas permasalahan. Saba tidak mau masuk dalam salah satu dari dua kutub yang terpolarisasi, tetapi mendekonstruksi polarisasi pandangan binner.

Sementara itu, Dr. Neng Hannah menyatakan pesan paling penting secara politik adalah panggilan Saba Mahmood kepada para feminis untuk tidak mengotot dalam ideologinya sendiri sampai-sampai memusuhi para perempuan yang konon dibelanya. Mahmood mengakhiri dengan bertanya kepada dirinya sendiri sebagai feminis: “Apakah saya memang sepenuhnya mengerti cara hidup yang dengan begitu semangat ingin saya gantikan?

Dr. H. Asep A Sahid Gatara, M.Si, menyebut Saba Mahmood selain sebagai antropolog juga sebagai “politisi”. Saba dalam berpikir dan bertindak dinilainya banyak berdimensi politis. Dimensi yang menekankan pentingnya perubahan masyarakat secara keseluruhan. Perubahan yang melintas perbedaan dari yang tidak baik menjadi baik, dan dari yang baik menjadi lebih baik. Selain itu, Asep Gatara melihat dengan posisi politik Saba yang non liberal dan kritik atas sekularisme (sebagaimana dikategorisasi Zainal Abidin Bagir), dan dengan peminatan riset empati serta etnografi pada komunitas perempuan beragama (di Mesir), dapat menunjukkan bahwa Saba tidak hanya sekedar radikal atau pun progresif tetapi juga profetik. Yaitu, melihat adanya faktor liberasi, humanisasi, transendensi (kepercayaan), dan agensi dalam setiap fenomena dan perubahan, termasuk fenomena keagamaan di Mesir. Faktor yang disebut terakhir menjadi pembeda dengan profetik lainnya.

Asep Gatara juga menyampaikan Saba Mahmood berhutang budi pada Zainal Abidin Bagir yang telah ikut serta mengadvokasi sekaligus mengumandangkan gagasan-gagasan feminismenya di Indonesia. Gagasan-gagasan yang mengkritik segala bentuk hegemoni (baik hegemoni keagamaan maupun hegemoni sekular/liberal/ feminis); dan memecahkan polarisasi.

Pada bagian akhir artikel yang telah didiskusikan terdapat sejumlah catatan pelajaran penting. Di antaranya, bahwa berpikir bersama Saba berarti adalah menahan kecenderungan untuk mendapatkan jawaban; yang biasa diharapkan adalah belajar mengajukan pertanyaan yang berguna untuk melakukan analisis yang lebih baik dalam kerangka baru. Karya-karya Saba, dengan demikian, adalah teman percakapan yang tak selesai, dengan kata lain, ia terus membantu kita menemukan cara pandang yang lebih baik.

WhatsApp
Facebook
Telegram
Print
Twitter

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *