“And I beg of you, do not think of colonialism only in the classic form which we of Indonesia, and our brothers in different parts of Asia and Africa, know. Colonialism has also its modern dress, in the form of economic control, intellectual control, actual physical control by a small but alien community within a nation.”
Kalimat di atas adalah cu- plikan dari pidato Bung Karno pada pembukaan Konferensi Asia Afrika yang diselenggarakan di Bandung, 60 tahun silam, tepatnya pada 18-25 April 1955. Sebuah pidato dengan menggunakan bahasa Inggris fasih selama 40 menit, yang suaranya tak berhenti sebatas dinding Gedung Merdeka, tetapi bergema menggetarkan seantero dunia.
Singa Podium yang sudah terlatih berbicara di hadapan khalayak semenjak menjadi manusia pergerakan itu pesan politiknya tidak saja mampu menghipnotis para kepala negara yang datang dari Benua Asia dan Benua Afrika, tetapi juga menjadi perhatian dua blok Timur dan Barat yang sedang bersengketa. Sekaligus kata-katanya yang penuh rajah telah membangkitkan massa di sejumlah negara yang masih berada dalam sekapan kaum kolonial untuk memperjuangkan takdir gelapnya.
Dasasila Bandung adalah bukti otentik bagaimana si Bung Besar memastikan kehadirannya sebagai sosok yang terampil memainkan peran politik di tingkat internasional. Seakan Sang Proklamator itu hendak berkata, seperti tampak pada butir-butir Dasasila, bahwa segenap perilaku kolonialisasi sama sekali tidak memiliki hak untuk tumbuh dan berkembang di belahan bumi mana pun.
Bahwa kolonialisme adalah bertentangan dengan akal sehat dan sepenuhnya berseberangan dengan hak-hak dasar manusia. Perdamaian abadi seharusnya menjadi misi kolektif dan setiap perselisihan diselesaikan lewat perundingan, persetujuan, arbitrase, ataupun cara damai lainnya, menurut pilihan pihak-pihak yang bersangkutan sesuai dengan Piagam PBB. Menghormati kedaulatan dan integritas teritorial semua bangsa merupakan keniscayaan.
Di Konferensi Asia Afrika, Bung Karno mewujudkan mimpinya tidak saja sebagai penyambung lidah rakyat negeri kepulauan yang baru saja merebut kemerdekaannya, tetapi juga sekaligus penyambung lidah masyarakat Asia dan Afrika yang kebanyakan masih terbelit kaum penjajah. Seperti dalam pengakuan jujur tokoh pemimpin Afrika Selatan, Nelson Mandela, bahwa sosok Bung Karno besar pengaruhnya dalam kemerdekaan bangsa-bangsa Afrika, menjadi ilham bagi perjuangan menghapus politik apartheid yang telah menjebak Afrika Selatan dalam politik kelam diskriminasi sepanjang 1948 sampai awal 1990-an.
Nubuat Bung Karno
Lewat nubuat pidatonya Bung Karno seperti sedang dirasuki kenangan silam ketika menyampaikan pleidoi “Indonesia Menggugat” saat harus mempertanggungjawabkan sikap revolusionernya di hadapan pengadilan Hindia Belanda pada Desember 1929.
Namun, alih-alih gentar, justru semakin menginjeksikan sebuah keyakinan futuristik dan kesabaran revolusioner (Karl Marx) bahwa proklamasi itu sudah “hamil tua” dan hanya tinggal menunggu waktu yang tidak akan lagi terlampau lama. Tidak mustahil bayangan Sang Guru Tjokroaminoto yang disebut-sebut sebagai Raja Jawa tanpa mahkota terus melintas menggedor alam pikirnya, Sang Guru sebagai mentor utama yang menanamkan kesadaran “berbangsa”, keinsyafan pentingnya terbebas dari aneksasi Hindia Belanda.
Bung Karno seolah tidak ingin hanya bangsanya saja yang merdeka. Kemerdekaan itu harus juga dirasakan bangsa-bangsa lain. Sebut saja, misalnya, bagaimana saat itu dari 43 negara di Afrika hanya ada 5 negara yang sudah merdeka, yakni Afrika Selatan (1910), Mesir (1922), Liberia dan Etiopia (1947), Libya (1951). Dan sisanya sebagian besar masih dalam cengkeraman penjajah Inggris, Perancis, Belgia, dan Jerman.
Itulah salah satu kelebihan Bung Karno, kelebihan orang-orang besar yang sudahmakrifat dan maqam-nya tak sekadar presiden, tetapi “menjadi” presiden: lebih memperhatikan khalayak ketimbang diri dan kepentingan sempit partainya sendiri. Seorang pemimpin yang sayap imajinasinya melintasi garis khatulistiwa melanglang buana menjangkau horizon yang sangat jauh, menyentuh Asia, Afrika, dan Amerika Latin.
Bagi Bung Karno, usia kemerdekaan yang baru saja diraihnya bukanlah alasan untuk tidak berbuat kepada negara lain. Justru sebaliknya Bung Karno tampil percaya diri mendorong Indonesia mengambil inisiatif dalam kancah diplomasi pergaulan internasional dengan kepala tegak, percaya diri, berdaulat, dan penuh harkat.
Relevansi
Tak terasa, 60 tahun sudah Konferensi Asia Afrika itu dilangsungkan. Kalau 19-24 April 2015 Konferensi Asia Afrika “dirayakan” kembali dengan mengundang 109 kepala negara, tentu bukan hanya tapak tilas mengembalikan ingatan lampau, melainkan sebagai satu pintu masuk guna menyuntikkan satu kenyataan getir bahwa apa yang dirisaukan Bung Karno tentang kolonialisasi itu benar adanya dan masih terus berlangsung.
“Saya tegaskan kepada Anda semua, kolonialisme belumlah mati. Dan, saya meminta kepada Anda jangan pernah berpikir bahwa kolonialisme hanya seperti bentuk dan caranya yang lama, cara yang kita semua dari Indonesia dan dari kawasan-kawasan lain di Asia dan Afrika telah mengenalinya. Kolonialisme juga telah berganti baju dengan cara yang lebih modern, dalam bentuk kontrol ekonomi, kontrol intelektual, dan kontrol langsung secara fisik melalui segelintir elemen kecil, tetapi terasing dari dalam suatu negeri. Elemen itu jauh lebih licin, tetapi bisa mengubah dirinya ke dalam berbagai bentuk.”
Konferensi Asia Afrika itu memiliki tautan relevansi kuat justru ketika kolonialisasi fisik khatam dan kemudian bermetamorfosis dalam wujud yang tidak kalah getir: penjajahan yang dilakukan bangsa sendiri.
Bung Karno seperti bangkit dari alam kubur dan mengingatkan lewat mikrofon Gedung Merdeka bahwa selama politik dikelola secara partisan dan politisi belum ikhlas mewakafkan dirinya demi kepentingan bangsa ketika diangkat menjadi pejabat negara, relasi sosial gaduh dengan aneka macam kekerasan, intelektualisme dihinakan dalam tata kelola pemerintahan, ekonomi hanya berpihak kepada segelintir orang, dan Ketuhanan yang Maha Esa kian tidak berkebudayaan sementara kekuatan asing semakin leluasa menguasai sumber daya alam kita, selama itu pula sesungguhnya kita sedang mempertaruhkan roh kemerdekaan itu sendiri.
Spirit Dasasila kita terakan sebagai rute menuju jalan keindonesiaan yang merdeka. Semerdeka-merdekanya.
Asep Salahudin Dekan Fakultas Syariah IAILM Pesantren Suryalaya; Peneliti di Lakpesdam Pwnu Jawa Barat dan Dosen UIN SGD Bandung.
Sumber, Kompas, 18 April 2015