(UINSGD.AC.ID)-Penandaan demokrasi bagi sistem politik sebuah negara telah memproduksi beragam makna (heteromakna). Misalnya bagi masyarakat kapitalis demokrasi dimaknai sebagai kebebasan (liberty); bagi masyarakat komunis atau sosialis demokrasi dimaknai sebagai kesetaraan (equality); dalam masyarakat komunitarian demokrasi dimaknai sebagai persaudaraan (fraternity); dan bagi masyarakat welfare state demokrasi dimaknai sebagai kesejahteraan.
Dalam kehidupan aktual sulit ditemukan negara yang seratus persen menjalankan demokrasi sesuai dengan makna yang diproduksinya itu. Bahkan kerap bertolak belakang antara makna yang diproduksi dengan sistem demokrasi yang dijalankan. Ataupun lebih dari itu demokrasi acapkali ditampilkan dengan menjauhkan makna dari realitas yang dirujuknya (referent).
Bila dilihat dari perspektif Cultural Studies, gejala di atas dapat dikatakan sebagai gejala quasi-democracy, atau demokrasi semu (Robert Dahl), semi-demokrasi (Case (1993), demokrasi yang dimodifikasi (Crouch, 1993), posdemokrasi (Piliang, 2010), dan demokrasi nothing (Gatara, 2016).
Dalam kasus tertentu, meminjam pandangan Yasraf Piliang (2010), demokrasi seperti itu adalah demokrasi yang tidak berjalan melalui dua wajah sekaligus, yaitu realitas demokrasi dan citra demokrasi. Hal ini mengakibatkan demokrasi menjauh dari kata “sempurna”, yakni demokrasi yang dikonstruksi oleh situasi di mana kedua wajah demokrasi itu berjalan selaras secara kontinum.
Mediasi, Simulasi dan Komodifikasi
Fenomena quasi-democracy dapat dengan mudah kita jumpai ketimbang demokrasi sempurna. Hal itu dimungkinkan ketika segala event politik telah didominasi praktik politik citra ketimbang politik kerja. Di tambah lagi, fenomena politik citra ini telah bersua-mesra dengan dahsyatnya perkembangan media internet. Melalui dan pada media internet, dimungkinkan terproduksinya banyak hal, termasuk cybermedia.
Terdapat sejumlah karakteristik dari cybermedia, di antaranya intractivity, konvergen, re-mediasi, dan simulasi. Demokrasi yang beraliansi dengan internet tentunya akan lekat dengan karakteristik-karakteristik tersebut. Oleh sebab itu demokrasi yang hadir pun menjadi lebih interaktif secara online, terkonvergensi, terre-mediasi, dan tersimulasi.
Dua karakteristik yang disebutkan terkahir, mediasi dan simulasi, baik disadari atau tidak, merupakan variabel yang paling memungkinkan terputusnya hubungan antara makna demokrasi dengan fakta demokrasi, atau hubungan antara realitas demokrasi dengan citra demokrasi. Di sinilah dapat dipahami bahwa demokrasi yang tengah berada di puncak gelombang ketiga ini bukanlah demokrasi yang sesungguhnya, namun demokrasi seolah-olah.
Demokrasi model ini memiliki ciri khas, yakni demokrasi yang termediasi di satu sisi, dan demokrasi yang tersimulasi di sisi berikutnya. Ciri khas yang pertama dimungkinkan terjadinya komodifikasi demokrasi (demokrasi yang terkomodifikasi). Artinya, demokrasi dijadikan komoditas yang memiliki nilai tukar (exchange value) belaka.
Lebih dari itu, demokrasi dengan segala makna adiluhungnya hanya dijadikan etalase pemanis, tempat di mana produk ekonomi dijajakan dan ditransaksikan. Sedangkan ciri yang berikutnya dimungkinkan terjadinya manipulasi demokrasi. Di sini demokrasi dalam segala praktiknya dimanipulasi melalui mekanisme simulasi dalam wadah simulakrum.
Simulasi (simulation) oleh Jean Boudrillard (1981) diartikan sebagai “penciptaan model-model kenyataan dengan tanpa asal-usul dan realitas; a hyperreal”. Di sini model realitas memang sepintas nampak nyata, namun sesungguhnya ia tidak mencerminkan kenyataan yang sebenarnya.
Sebaliknya ia menyembunyikan kenyataan yang hakiki. Kenyataan ditutupi oleh tanda kenyataan (the sign of real) sedemikian rupa, sehingga antara tanda dengan kenyataan tidak lagi bisa dibedakan.
Di era media baru ini praktik simulasi yang paling sempurna berlangsung di internet. Hal itu terkait dengan kemampuan luar biasa internet dalam menciptakan sesempurna mungkin realitas kedua, yang disebut realitas virtual (virtual reality), dari realitas pertamanya. Lantaran itu, kiranya wajar bila belakangan mayoritas aktor politik lebih banyak memanfaatkan internet dalam mendongkrak citra guna menggapai kursi kekuasaan.
Dengan politik citra itu, mereka dijadikan seolah-olah manusia ideal. Padahal di balik itu tersimpan kealfaan dan sekaligus kekhilafan. Oleh sebab itu simulasi citra sejatinya dilihat sebagai praktik pendistorsian dan pemalsuan realitas demokrasi. Politik citra itu tak lain adalah ketidakaslian politik, karena di dalam realitas itu seseorang bertindak secara berpura-pura (pseudo) atau seolah-olah (quasi). Dalam konteks itulah kita sesungguhnya tengah berada dalam ayunan arus gelombang quasi-democracy. Wallahu’alam bi shawab.
Asep Sahid Gatara, Dosen Ilmu Politik FISIP UIN Sunan Gunung Djati Bandung; Wakil Ketua Umum Asosiasi Program Studi Ilmu Politik Indonesia (APSIPOL)