(UINSGD.AC.ID)- Pandemi Covid-19 akan senantiasa dimaknai lebih dalam. Setelah lebih dari 1 tahun, hampir seluruh umat manusia di bumi secara massif melakukan protokol kesehatan. Bahkan pelaksanaan ibadah yang sangat sakral sekalipun -ibadah haji- dilakukan sangat terbatas dan dengan protokol kesehatan yang sangat ketat. Ibadah haji tahun 2020 M/1441 H tahun lalu, hanya diikuti oleh warga negara Arab dan ekspatriat dari berbagai negara yang tinggal di Arab Saudi.
Sebagaimana contoh, 8 protokol kesehatan saat pelaksanaan haji 2020: 1) Jumlah jemaah yang diizinkan untuk melakukan ibadah haji dalam satu waktu hanya 1.000 orang. 2) Semua jemaah yang melaksanakan ibadah haji akan diperiksa sebelum memasuki berbagai situs suci. 3) Batas usia yang diizinkan melakukan ibadah haji adalah di bawah 65 tahun. 4) Setelah pelaksanaan ibadah haji semua jemaah akan diminta mengkarantina diri mereka. 5) Semua pekerja dan relawan akan dites corona sebelum ibadah haji dimulai. 6) Status kesehatan semua jemaah akan dipantau setiap hari selama ibadah haji. 7) Pemerintah telah menyiapkan rumah sakit untuk keadaan darurat jemaah selama penyelenggaraan ibadah haji. 8) Jemaah diminta mematuhi kondisi jaga jarak.
Pandemi Covid-19 “mamaksa” umat manusia untuk menyesuaikan dalam beragama -atau dalam istilah Glock and Stark disebut religiusitas. Religiusitas merupakan komitmen religius (yang berhubungan dengan agama atau keyakinan) seseorang yang dapat dilihat melalui aktivitas atau perilaku individunya. Maka, dalam sikap beragama umat Islam misalnya, musofahah atau merapatkan shaf shalat tidak dapat dilakukan lagi sebagaimana biasa. Termasuk dalam konteks ibadah haji dan atau umrah, dimana hujjaj dan mu’tamirin -misalnya- tidak dapat merapat dan berdoa di Multazam.
Demikian pula hal-nya di negara kita, sikap beragama seorang muslim menjadi dibatasi. Apalagi jika ada diantara kita yang terkena musibah positif Covid-19. Komitmen beragamanya semakin menemukan kontekstualisasi. Kita telah sering membaca, mendengar, melihat dan memperhatikan diantara saudara kita yang positif Covid-19, selalu saja ada “pertarungan” batin dalam dirinya. Siapapun dia, dengan latar agama dan atau keyakinan apapun selalu menunjukkan sikap beragama yang jauh lebih esoteris.
Sejatinya, Islam melalui Nabi Muhammad mengajarkan kepada manusia untuk mampu memilah dan memilih mana yang dhoruriyah, haajiyah dan tahsiniah -mana yang primer, sekunder dan tersier-. Dan juga sangat tergantung pada kondisi orang tersebut. Sebagai contoh, ibadah shalat adalah bagian dari rukun Islam, dan pelaksanaan bagi orang sehat dan orang sakit tentu berbeda. Demikian pula ibadah-ibadah lain, apalagi ibadah yang tidak inti. Terkadang manusia, lebih banyak bercengkerama pada dimensi-dimensi yang bukan substansi, berdebat pada hal yang eksoteris, atau berperilaku yang bertolak belakang dengan keyakinannya, sehingga ia lupa yang jauh lebih substantif -misalnya memberi makan yang baik kepada yang membutuhkan, bekerja sesuai tugas, pokok dan fungsinya.
Melalui pandemi Covid-19 ini, mudah-mudahan manusia diingatkan betapa Allah Swt telah memberikan ni’mat begitu sangat banyak. Setiap orang dapat dengan sadar merekonstruksi, memproporsikan komitmen beragamanya sesuatu pada bagiannya. Tidak selalu hitam putih, atau serta merta menjustifikasi pihak lain. Walaupun memang sangat sulit, karena sebagaimana Q.S Ali Imran: 14 “Dijadikan indah pada (pandangan) manusia kecintaan kepada apa-apa yang diingini, yaitu: wanita-wanita, anak-anak, harta yang banyak dari jenis emas, perak, kuda pilihan, binatang-binatang ternak dan sawah ladang. Itulah kesenangan hidup di dunia, dan di sisi Allah-lah tempat kembali yang baik (surga).”
Dindin Jamaluddin, Wakil Dekan I Fakultas Tarbiyah dan Keguruan (FTK) UIN Sunan Gunung Djati Bandung, Pembimbing Haji Plus dan Umrah Qiblat Tour.
Sumber, Pikiran Rakyat 23 Maret 2021