Suatu ketika ada seorang pemuda melarikan diri dari kejaran orang-orang di pasar. Sang pemuda itu mendatangi seorang ulama saleh, dan ia memelas, “Sembunyikanlah aku dari orang-orang yang mengejarku!”
Ulama saleh itu berkata kepada sang pemuda,”Tidurlah disini,” sambil melemparkan kepadanya penutup dari pelepah kurma.
Maka ketika orang-orang yang mencarinya mendatangi ulama saleh dan bertanya tentang pemuda itu, orang saleh menjawab, “Ini dia di bawah pelepah kurma.”
Namun, sayangnya, mereka mengira ulama saleh itu sedang mempermainkannya, dan mereka pun segera meninggalkan sang ulama.
Selamatlah sang pemuda dari kejaran mereka berkat kejujuran lisan orang saleh tersebut.
Penggalan cerita di atas sangat relevan dengan kondisi kehidupan di negeri ini. Misalnya, rekomendasi lembaga KPK dalam seleksi jabatan pemerintahan sebagai fakta integritas publik, selalu tidak ditanggapi serius. Kejujuran dalam mengemukakan integritas pejabat publik, yang dilakukan KPK ini, seperti halnya ungkapan jujur sang ulama dalam kisah di atas.
Kepentingan politik, seakan meniadakan kejujuran dalam laku dan kata, karena tarik ulur berbagai kepentingan kelompok ditempatkan di atas segala kebijakan. Negeri kita seolah membalikkan persepsi masyarakat, kebohongan adalah kejujuran yang mendapatkan legitimasi. Kebohongan mengalahkan kejujuran sebagai bukti betapa kejujuran tidak akan dipersepsi sebagai kejujuran bila si pemersepsi dipenuhi nafsu kekuasaan yang begitu kuat dalam diri.
Kejujuran – meskipun jujur dikatakan seorang yang beriman dan saleh – akan ditempatkan sebagai kebohongan oleh orang-orang yang selalu berprasangka buruk. Inilah yang disebut dengan anomali sistemik kejujuran. Sebagai tanda keberimanan seseorang, kejujuran ditempatkan sebagai sesuatu yang tidak munkin dilakukan seseorang, karena secara kultural dan struktural, kejujuran ditiadakan dalam kamus kehidupan.
Lantas, pertanyaannya, apakah tindakan politis itu merupakan lawan keimanan? Sebab, secara sederhana iman merupakan keyakinan dan kepercayaan. Terma iman berakar dari kata amana yang mengandung banyak arti diantaranya: aman sentosa, mempercayakan, berpaling kepada, keyakinan yang baik, ketulusan, ketaatan dan kesetiaan.
Di dalam Al-Quran kita akan mendapatkan ayat-ayat lain yang membahas arti iman, di antaranya: rasa tenteram dan kepuasan hati (QS. 16:112), perlindungan terhadap ancaman dari luar (QS. 4:83, QS. 2:125), menyerahkan sesuatu pada seseorang untuk disimpan (QS. 2:283) dan kepercayaan (QS. 33:72). Arti iman ini, mengindikasikan bahwa kejujuran merupakan bagian dari keimanan seseorang.
Iman merupakan kesadaran diri (self consciousness) dan dorongan untuk berbakti yang tertanam kuat di lubuk hati yang sangat dalam. Ia mempunyai kemampuan luar biasa, yakni dapat mengguncangkan perasaan jiwa, mencairkan rohani, menggetarkan hati, dan menundukkan anggota badan untuk selalu memegang kepercayaan Allah dan sesama manusia.
Kejujuran merupakan tanda berfungsinya sisi keimanan seseorang seperti yang konsisten dilakukan sang ulama saleh tersebut. Tetapi, ketika kejujuran tidak dipercayai sebagai kejujuran, bukan berarti keimanannya tidak berfungsi. Sebab, kepentingan politik seseorang bisa menempatkan kejujuran sehingga dipersepsi sebagai kebohongan. Wallaahu’alam
Dadang Kahmad, Guru Besar Fakultas Ushuluddin UIN SGD Bandung dan Direktur Pascasarjana UIN SGD Bandung.
Sumber, Republika 21 Mei 2015.